1. Masalah para kaum belok.
"Ngroook... Nggoook... " Dengkuran bagai suara babi itu berasal dari kamar seorang wanita. Kei Kiranti Ariana namanya. Panggil gadis itu Kei.
Seorang gadis yang lebih muda datang membuka pintu dengan paksa. Ada sebuah sapu di tangannya dan celemek melingkari tubuhnya. Gadis mungil yang cantik itu datang dengan emosi yang membara di kepalanya.
"Kaaaak! Bangun! Kebluk banget sih jadi orang!"
Kei yang masih mengantuk membalikkan tubuhnya membelakangi Sherin adiknya. "Yah... lima jam lagi..."
"Aaaarrggghhh!" Sherin menggeram marah. Lima menit lalu Kakak perempuannya berkata Lima menit, sekarang ia malah berkata Lima jam. Bagaimana tidak kesal?!
Sherin melihat sapu di tangannya. Seringai muncul di wajah cantiknya. "Heh... Kali ini akan ku buat bangun kamu dari tidur mu itu!" Monolognya.
Tongkat sapu itu di angkat tinggi-tinggi lalu di ayunkan dengan cepat ke perut Kakak 'tercintanya'.
'Buak'
Sapu itu menghantam kasur dan memantul. Kei telah berpindah dengan cepat. Sebagai seseorang yang telah lama bergelut dalam bidang beladiri, kecepatan reaksi dan kewaspadaannya sangat tinggi. Menghindari serangan adiknya bagai upil di ujung jari.
Kei yang matanya setengah terbuka, menunjukkan dua jari lambang perdamaian. Dengan ujung lidah yang melet keluar ia berujar. "Tidak kena."
Tapi Sherin punya kartu as lain di belakang punggungnya. Serin mengangkat tangannya yang lain dan 'Byur!'
Setimba air di siramkan ke wajah Kei. "Kena! Karna sudah basah pergi mandi sana! "
Dengan kekalahan kecil, Kei harus melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sejak mandi tadi telponnya terus berdering. Karna kesal, ia pun memutuskan untuk mandi sat set sat set, asal bersih aja pikirnya.
Dengan handuk melilit tubuh ia melihat nama penelpon. Ah ternyata itu teman Gay-nya. Alvian Gabriel yang akrab di sapa Vian. Pria kecil itu pasti memiliki sesuatu untuk di curhatkan kepada Kei. Karna biasanya begitu. Jika Vian menelponnya berkali-kali, maka akan berujung curhatan panjang.
Padahal ia ingin menghabiskan hari liburnya dengan tidur seharian. Sayang sekali ia harus menjadi tempat curhat Vian hari ini. Kei pun memakai pakaiannya dengan terburu-buru. Karna ia tak menjawab telpon, Vian pasti sudah berada di ruang tamu. Sherin dan Bibinya juga sudah terbiasa dengan lelaki banci itu. Takkan ada yang berpikir lelaki gemulai itu akan mencelakai siapapun.
Kei masih mengantuk karna semalam ia habiskan waktu tidurnya dengan bermain sebuah game online dengan Rangga. Salah satu kawan seperAbnormalnya itu. Si Rangga mah enak tinggalnya sendirian, takkan ada yang memarahinya atau mengomelinya karna tidur terlalu lama.
Baru saja, Kei menguap sambil membuka pintu. Vian telah menerjangnya dengan pelukan dengan air mata yang berserakan. Vian lebih pendek sekitar sepuluh centimeter dari Kei. Terjangan Vian tanpa sengaja menyundul hidung Kei dan membuat Kei harus mimisan beberapa saat.
"Huaaaa! Keeiiii!" Vian masih belum melihat hidung Kei yang melepaskan dua garis merah.
Kei menepuk bahu Vian. "Vianku yang manis, sweety Tiny bancy, duduklah di ruang keluarga, aku akan mendengar segala keluh kesah mu."
Vian menatap Kei yang sedikit lebih tinggi darinya. Saat melihat darah yang mengalir di hidung karibnya, Vian merasa bersalah dengan segera ia mengambil tisu di sakunya untuk menyeka hidung Kei. Kei segera menyumbat hidungnya dengan tisu pemberian Vian. Lalu ia menggiring lelaki cantik itu menuju ruang keluarga.
"Adek! Teh angetnya dua ya!" Setelah berteriak Kei duduk di kursi yang ada di ruang tamu.
Kei masih merasa mengantuk. Bagaimanapun ia bergadang semalaman hanya untuk bermain. Tidurnya tak sampai tiga puluh menit dan alarm paginya telah berteriak memerintahnya untuk mandi. Perasaan pening dan pusing yang di hasilkan dari tidur tanggung, masih terasa di dahinya.
Kei menepuk ruang kosong di sisinya. Vian segera duduk. Kei menatap teman Gay nya itu dengan mata mengantuk. Hidung merah dan bulu mata lentik yang lengket dengan bekas air mata. Penampilan lelaki cantik itu sungguh mirip dengan seorang gadis yang menangis setelah di perkosa. Itu membuat Kei berpikir kemana-mana.
"Katakan siapa yang membuatmu sedih? Nanti akan ku buat ia menyesal, ku ajak Rangga juga nanti." Kei berkata dengan nada serius.
Vian hanya menatap Kei sebentar, lalu menangis seperti seorang gadis yang baru saja di putus cinta. Kei mengusap kepala Vian. Kei tak pandai berkata-kata indah, apalagi memberikan nasihat atau saran. Cara Kei menghibur duka orang lain sangat sederhana, yakni memeluk orang lain atau menepuk-nepuk lawan bicara dengan perlahan. Setelah Kei melakukan itu, Vian akan merasa tenang.
Tapi air mata kesedihan itu takkan pernah surut dari sepasang mata indah itu. "Kei... Aku... Hiks... Hiks... Kei.... "
Vian tak mampu bercerita lantaran kesedihannya teramat besar. Kei menepuk-nepuk bahu Vian lagi. "Tarik nafas yang dalam"
Karna mengantuk, kalimat yang di lontarkan Kei terkesan dingin. Tapi Vian tetap melakukan yang Kei minta. Vian mulai bercerita lagi. "Pacarku mutusin aku... Katanya dia di jodohkan sama seorang perempuan..."
Dan banyak hal lagi yang di curahkan oleh lelaki manis itu. Tapi Kei terlalu mengantuk untuk mendengarnya. Kei tertidur lantaran mengantuknya. Bahkan kewaspadaannya hilang karna kantuk yang cukup berat.
Sherin datang dengan dua gelas teh hangat. Ia melihat duka dalam yang terpancar dari teman Kakaknya. Ia menghela nafas kasihan. Terkadang ia merasa sedikit jijik dengan Kakaknya dan teman-temannya yang tidak normal. Tapi sebagai wanita, sisi keibuannya masih ada. Melihat Vian yang bersedih dengan air mata lara, rasanya Sherin ikut sedih dengan derita Vian. Tapi saat melihat kakaknya yang tidur ketimbang mendengarkan curhatan temannya, rasa sedih Sherin terbakar menjadi marah dan kesal.
Sherin datang dengan langkah terburu-buru. Ia meletakkan teh di meja lantas memukul kepala Kakaknya yang tukang tidur. Wanita jangkung itu tersentak dari tidurnya dan terbangun dengan wajah pucat. "Ada apa! Ada apa? Kebakaran ya? Maling ya?"
Dengan segera Sherin menyiram wajah kebluk Kakaknya dengan ceramah pagi. Kei dengan malas memaksakan sebelah matanya untuk terbuka. Kei sebenarnya adalah tipe yang tidak suka mendengar ceramah atau curhatan. Rasanya kupingnya akan gatal bila mendengarnya.
Vian yang melihat tingkah Kakak beradik itu hanya bisa tertawa kecil. Andaikan ia memiliki adik atau Kakak yang bisa di andalkan seperti dua orang di depannya, alangkah bahagianya hidupnya. Tapi Vian adalah yatim-piatu yang di angkat oleh seorang nenek tua. Dan nenek tua itu sekarang telah tiada. Sama seperti Rangga dan Kei, Vian juga yatim piatu.
Ketiga sekawan ini bernasib sama sebenarnya. Mereka sama sama tidak normal dan sama sama yatim piatu. Di beberapa sifat mereka juga sama. Ahhh... Sepertinya tiga manusia ini di lahirkan untuk memiliki nasib yang sama.
Sherin merasa kasihan dengan lelaki banci teman sang Kakak. Ia memiliki sebuah usulan. "Kedua Kakak, bagaimana jika kita pergi ke suatu tempat.
Kei tidak tau tempat apa yang di maksud Adiknya. Tapi ia merasakan firasat buruk. "Untuk menaikkan mood Kak Vian, mari kita bersenang-senang."
Sherin merangkul bahu Vian. Lalu berbalik menatap Kakaknya dengan mata berbinar. "Kak! Ready dompetnya ya! Aku pengen belanja bareng Kak Vian! "
Kei hanya bisa menghela nafas panjang. Adiknya memang lebih suka kepada Vian dari pada dirinya yang notabenenya adalah Kakak kandungnya. Mungkin karna Vian adalah lelaki banci yang suka dengan hal feminim seperti perempuan. Sebagai perempuan Sherin mungkin lebih suka bergaul dengan Vian yang seorang lelaki berjiwa wanita.
Dengan sebuah mobil tiga manusia itu memulai perjalanan mereka menuju salah satu pusat perbelanjaan di kota itu. Layaknya para wanita uke Gay itu bersenang senang dengan Sherin. Berbelanja pakaian, kue manis, pergi ke salon wajah. Atau kemanapun yang menurut Kei membosankan. Kei sangat ingin pergi ke tempat arcade game yang ia lihat di tengah perjalanan, atau pergi ke toko makanan pedas yang juga ia lihat.
Tapi dia tidak di lepaskan oleh dua manusia yang menyertainya. Selain untuk di jadikan gantungan tas belanja, Kei juga di jadikan ATM berjalan. Setiap hal yang di lakukan oleh dua manusia di depannya, Kei yang harus membayarnya. Hal ini hanya membuat Kei menghela nafas pasrah.
Saat sedang menunggu Sherin dan Vian yang sedang spa, Kei melihat seseorang yang di kenalnya di luar toko. Kei meletakkan barang-barang yang di bawanya di kursi tunggu. Lalu meminta seorang pelayan toko untuk menggantikan dirinya menjaga barang-barang.
"Jeni~" Kei memanggil kekasih imutnya.
"Kak Kei..." Raut wajah Jeni saat itu kelihatan khawatir dan sedih. Jeni melirik ke kanan dan kiri dengan wajah takut dan khawatir.
Air mata menetes perlahan di sepasang matanya. Kei merasakan firasat buruk, seakan memperingatkannya bahwa duka akan datang memeluknya. Kei mendekati Jeni yang menangis. "Je-jeni kenapa?"
"Kak Kei... Hiks hiks..." Jeni memeluk Kei. Pelukannya begitu erat seakan menolak untuk melepaskan Kei lagi. Kei tak bisa menangis bukan karna tak punya hati, tapi ia memang tak bisa menangis begitu saja. Kei tentu juga merasakan perasaan lara yang dikirim Jeni melalui pelukannya.
Kei mengusap rambut Halus Jeni. "Kei Kiranti Ariana. Saya rasa itu kamu bukan?"
Kei ingin berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya. Tapi Jeni menahan Kei dalam pelukannya. "Jeni! Lepasin anak itu!"
Pemilik suara sebelumnya membentak Jeni dengan sedikit kasar. Jeni memeluk semakin erat. "Kak, maafkan Jeni dan selamat tinggal..."
Jeni berbisik lantas meninggalkan Kei dengan air mata dan teriakan tangis. Jeni berlari ke pelukan Ibunya, mengharap kehangatan. Pemilik suara yang menegur Kei sebelumnya menepuk bahu Kei. Saat Kei berbalik, ia bertatapan dengan Ayahnya Jeni. "Saya ingin berbicara denganmu."
Ini bukan kali pertama Kei bertemu atau berbicara dengan Ayahnya Jeni. Tapi ini pertama kalinya Ayahnya Jeni berbicara dengan kalimat formal kepadanya. Kei yakin pembicaraan ini akan serius.
Kei mengirim pesan kepada Sherin kalau ia akan pergi sebentar dan barang-barangnya di titip kepada Pelayan. Lalu Kei segera mengikuti Ayahnya Jeni untuk berbicara. Ayahnya Jeni mengajak Kei ke sebuah cafe yang tak jauh dari mereka. Kei sudah sering mengunjungi cafe ini saat mengawal Nona besarnya.
Setelah duduk, Ayahnya Jeni memesan sesuatu untuk di minum. Kei yakin pembicaraan ini akan cepat berakhir, maka ia tidak memesan apa-apa. Pembicaraan di mulai dengan helaan nafas panjang dari Ayahnya Jeni.
"Saya sangat menyayangkan hal ini. Padahal kamu sangat baik kepada anak saya. Anak saya sampai menganggap kamu sebagai belahan jiwanya. Tapi maaf Kei, maafkan saya... Hubungan menyimpang kalian harus berakhir disini. "
Mendengar kalimat itu dari Ayahnya Jeni, Kei mengerti inti pembicaraan ini. Tangannya mengepal, sebelum semua hubungan ini di mulai, Kei sudah tau akhirnya pasti akan begini. "Anak saya adalah anak tunggal di keluarga saya. Dia penerus keluarga kami, kami tidak ingin generasi kami putus di sini. Saya akan menikahkan Anak saya dengan seorang pria. Maafkan saya Kei... Maafkan saya. Jika saja kamu anak laki-laki, yang menjadi menantu saya pasti kamu. "
Kei merasa nafasnya sesak seakan di tahan seseorang. Kei menarik nafas dalam-dalam lantas menghembusnya perlahan. Sejak awal inilah cobaan cinta yang lazim di antara kaum belok. Masalah mereka selalu sama, andai aku laki-laki atau andai aku adalah perempuan.
"Baiklah, sampaikan rasa terima kasih saya ke Jeni. Terima kasih atas semua pengalaman cintanya. Ah iya, sampaikan juga ke dia, saya bakal kangen sama suara desahan dia." Kei berkata dengan senyum dingin. Ada kesedihan dalam tatapan angkuhnya. Lantas wanita jangkung itu melangkah pergi meninggalkan Ayahnya Jeni yang mengepalkan tangannya marah.
"Cih... Ingin ku hancurkan rasanya dunia ini. Mengapa aku di ciptakan sebagai seorang perempuan? Kenapa tidak ciptakan aku sebagai laki-laki saja. Atau setidaknya buat aku menjadi wanita normal seperti Sherin, agar aku tidak merasakan sakit hati yang selalu sama seperti ini. Ahhh! Dunia Anjing emang!" Kei mengumpat sendirian.