Chereads / Trilogi Langgam Amerta Agni-Widhiwasa Akasa Bhumi / Chapter 22 - Bab 22-Di Pinggang Merbabu

Chapter 22 - Bab 22-Di Pinggang Merbabu

Suatu ketika, puncak gunung meletuskan kesunyian

yang teramat dahsyat

hingga membanjiri lembah-lembah

yang memilih untuk berdiam

dalam keramaian

yang kehabisan konsonan

sedangkan sungai-sungai memilih untuk terus berbicara

dengan vokal yang kehilangan tanda baca

Ratri Geni mengelus leher Sima Braja di sampingnya. Mereka telah melewati banyak lembah dan beberapa gunung hingga sampai di sini. Kaki Gunung Merbabu yang dingin dan sunyi. Gadis itu menatap lurus ke arah puncak gunung yang sepenuhnya tertutup kabut. Indah namun misterius.

Mereka berpisah siang tadi dengan Raden Soca, Pramesti Sarayu dan Jaka Umbara serta Siluman Wulung yang terbang ke udara mengikuti tuannya dari atas.

Pandangan Ratri Geni beralih ke sisi kanan yang tidak terlalu jauh. Puncak Merapi terlihat sangat cerah. Begitu nampak perkasa dan menakutkan. Entah mengapa, Ratri Geni merasa bahwa Merbabu jauh lebih banyak menyimpan rahasia dibanding Merapi. Merbabu yang pendiam dan Merapi yang selalu menggetarkan kemarahan, seperti dua sifat yang sangat berlawanan tapi menunjukkan siapa yang lebih menyimpan teka-teki di antara keduanya.

Gunung Merapi masih dijaga oleh Ki Ageng Merapi yang galak dan berangasan. Sedangkan Merbabu menjadi tanggung jawabnya. Tugasnya sederhana, menjaga agar gunung yang sewaktu-waktu bisa meledakkan kemarahan dahsyat itu jangan sampai dikotori oleh perbuatan para siluman dan manusia durjana. Gunung yang wilayahnya dirambah oleh perbuatan-perbuatan jahat dan hina, bisa tiba-tiba menumpahkan kemarahan tanpa aba-aba. Rakyat kecil lah yang nantinya akan menjadi korban. Karena lava dan awan panas tidak pandang bulu. Siapa saja yang berdiri di jalannya, akan diterjang tanpa ampun.

Ratri Geni saling berpandangan dengan Sima Braja. Suara riuh terdengar jelas sekali dari sini. Suara orang-orang saling bertempur di pinggang Merbabu. Ratru Geni menggerutu kesal. Apalagi telinganya yang sangat tajam bisa menangkap jerit kesakitan dari orang yang tidak punya daya untuk melawan. Rupanya itu bukan pertempuran. Tapi penganiayaan atau lebih tepatnya pembantaian.

Dugaan Ratri Geni benar. Begitu tiba di tempat pertempuran, gadis itu melihat orang-orang yang berbaju petani sedang mempertahankan diri sebisanya melawan gempuran beberapa orang kasar berperawakan gagah dengan baju bertambal-tambalan. Tidak jauh dari situ, terlihat Chandra Abimana berdiri mengamati anak buahnya mempermainkan para petani jagung itu. Ratri Geni menepuk punggung Sima Braja yang terus menguntit di belakangnya.

"Hajar! Tapi jangan bunuh." Bisik gadis itu memberi perintah.

Sosok besar hitam menakutkan itu melompat tinggi menerjang gerombolan Pengemis Tongkat Perak dengan kecepatan tinggi. Terdengar suara gedebukan berulang-ulang saat telapak kaki Sima Braja menghajar orang-orang itu satu persatu. Sesuai pesan Ratri Geni, Sima Braja tidak mengeluarkan kukunya yang setajam pisau cukur. Tetap saja enam orang yang tadinya begitu jumawa menghajar para petani itu babak belur dihajar Sima Braja.

Chandra Abimana terkejut bukan main melihat kedatangan harimau besar berwarna hitam legam yang begitu tiba langsung menghajar anak buahnya yang sedang bersenang-senang. Pemuda itu berteriak marah dengan suara lantang.

"Harimau kurang ajar! Apakah kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa?! Apakah kau tidak sadar aku bisa memecahkan kepalamu dengan sekali pukul!"

Sima Braja marah bukan main mendengar perkataan Chandra Abimana. Tubuh besarnya sudah melakukan ancang-ancang menerkam. Ratri Geni menyentuh halus kepala Sima Braja. Menyuruhnya minggir.

"Hmm, ketua pengemis kaya raya dan jumawa. Sebaiknya hentikan kesombonganmu daripada kau dirobek-robek oleh Sima Braja."

Ratri Geni mengebutkan lengan bajunya. Hawa pukulan panas bukan main menyambar Chandra Abimana. Gadis ini cukup marah juga karena Gunung Merbabu dijadikan tempat untuk kesewenangan Pengemis Tongkat Perak. Pukulan Bayangan Matahari diluncurkan oleh Ratri Geni dengan maksud memberi pelajaran. Tidak dengan niat membunuh.

Chandra Abimana yang telah jatuh hati kepada Ratri Geni sejak pertemuan pertama di Lembah Neraka, ingin menguji langsung seberapa hebat tenaga gadis yang luar biasa ini. Kedua tangannya diayun ke depan. Mengadu ilmu pukulan. Keras lawan keras. Ratri Geni mengerutkan kening. Pemuda ini sombong dan telengas sekali.

Dua pukulan bertemu dengan suara keras. Chandra Abimana yang mengeluarkan hawa sakti terkuatnya, terlempar ke belakang seperti layang-layang putus. Pemuda itu berusaha berdiri dengan tubuh sempoyongan. Beberapa titik darah terlihat di sudut mulutnya. Jelas sekali dia kalah jauh dari sisi tenaga dalam dan ilmu pukulan. Chandra Abimana tidak sadar bahwa Ratri Geni bahkan belum mengerahkan setengah dari hawa sakti Langit Bumi yang dikuasainya.

Sesosok tubuh pendek kecil berkelebat secepat bayangan hantu. Berdiri terheran-heran di hadapan Ratri Geni dengan mata terbelalak.

"Kau, kau hebat gadis kecil! Darimana kau peroleh ilmu pukulan si Bungkuk itu? Apakah kau muridnya?"

Sosok orang tua itu betul-betul aneh. Sangat pendek dengan tubuh yang juga sangat kecil. Perawakannya benar-benar seperti anak-anak umur enam tahun. Perbedaannya hanya terletak pada rambut abu-abu putih dan janggut panjang yang nyaris menyentuh lututnya.

"Guru! Terimakasih atas kehadiranmu." Chandra Abimana berlutut di belakang orang tua aneh itu dengan khidmat.

Orang-orang dunia persilatan pasti tidak menyangka jika orang tua aneh itu ternyata adalah satu dari Raja Siluman Gunung. Chandra Abimana bertemu tanpa sengaja dengan orang tua aneh dan luar biasa sakti itu saat melarikan diri dari Lembah Neraka. Entah mengapa dan dengan alasan apa, orang tua aneh itu menghajar habis semua anggota Perkumpulan Tongkat Perak yang dibawa oleh Chandra Abimana. Termasuk juga membuat babak belur semua orang dari Perkumpulan Malaikat Darah yang sedang bersama mereka.

Malaikat Darah bahkan sampai melarikan diri dalam keadaan terluka. Hanya tersisa Chandra Abimana yang terus berlutut tidak berani melawan. Orang tua aneh yang sesungguhnya adalah Siluman Ngarai Raung itu tidak melukai Chandra Abimana.

"Anak muda, aku tahu kau adalah keturunan dari muridku Hantu Berjubah. Aku tahu apa yang ada dalam kepalamu. Karena itu aku akan mengangkatmu menjadi murid Siluman Ngarai Raung yang kedua setelah ayahmu."

Karuan saja Chandra Abimana senang bukan main. Menjadi murid satu dari Raja Siluman Gunung adalah hal yang didambakannya sedari kecil. Terutama setelah ayahnya banyak bercerita mengenai para siluman itu. Termasuk gurunya sendiri yaitu Siluman Ngarai Raung. Meskipun hanya diajarkan sedikit ilmu saja namun setidaknya Hantu Berjubah merasa bangga pernah menjadi murid dari raja siluman aneh itu.

Begitulah ceritanya kenapa Chandra Abimana menyebut guru kepada raja siluman dari Gunung Raung yang masih memandangi Ratri Geni dengan mata berputar-putar aneh.

Ratri Geni mengikuti putaran mata orang tua aneh itu. Bukan untuk mengolok tapi penasaran apakah dia bisa melakukannya atau tidak. Kepalanya jadi pusing sehingga gadis itu menghentikan upayanya memutar-mutar mata. Siluman Ngarai Raung tertawa terkekeh melihat tingkah Ratri Geni. Orang-orang pasti mengira kakek itu senang hatinya. Tidak ada yang tahu bahwa kekeh tawa Siluman Ngarai Raung menandakan bahwa siluman itu sedang marah besar.

Siluman Ngarai Raung meludah ke arah Ratri Geni. Bukan sembarang meludah karena itu sebenarnya adalah serangan maut yang bisa melukai dan bahkan membunuh. Ratri Geni terperanjat. Serangan ludah itu selain menjijikkan juga mengeluarkan aroma anyir luar biasa!

--**