Davin kembali duduk disana, ruangan bernuasa putih yang berisi banyak kanvas besar dengan lukisan yang indah dan tersusun rapih. Ia meraba meja di dekatnya dan mendapatkan pallet yang sudah terisi penuh dengan cat air. Davin menggengam kuasnya erat, matanya terpejam mencoba mengoreskan kuas itu di kanvas, tapi sialnya ini tetap nggak berhasil.
"Prang!"
Davin melempar pallet catnya sehingga membuat cat air itu menciprati beberapa lukisan. Nafasnya tersegal-segal menahan amarah, pekerjaan yang dulunya terasa sangat menyenangkan bagi Davin kini justru membuatnya begitu tersiksa.
"Arghhh! Sialan!" Davin berteriak dan menjambaki rambutnya yang gondrong dengan frustasi. Seseorang masuk keruangan tersebut, Shene istri Davin wanita itu mencoba menenangkan suaminya.
"Tenang Davin. Hei Davin tolong tenang, saya akan membantu," Shene mencoba menghentikan tangan Davin yang akan melukai dirinya sendiri dengan kuas yang di gengamnya.
"Pergi! Saya tidak butuh bantuan anda!" Pria itu dengan kasar mendorong tubuh Shene hingga terhempas ke dinding.
"Akhh, awww," Rintih Shene meringis sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Mendengar itu Davin seketika terdiam dengan nafas yang masih terengah-engah.
"Kamu nggak perlu khawatir, saya nggak terluka," Melihat wajah bersalah itu Shene mencoba berbohong. Ia memunggut tongkat instisblind Davin dan mendekat ke arah pria itu. Shene mengajak Davin berdiri dari kursinya, menuntun pria itu berjalan kembali kekamar.
Di kamar bernuasa serba abu itu Shene mencoba menyuruh Davin untuk berbaring di kasur lalu menutupi tubuh pria itu dengan selimut. Shene menatap wajah pucat Davin yang masih membuka matanya nggan untuk tidur.
"Sebaiknya kamu tidur, ini udah tengah malam." Ucap Shene dengan lembut.
"Setiap hari selalu malam bagi saya," Jawab Davin dengan ketus tatapannya kosong ke arah langit-langit kamar yang remang, Shene yang duduk di tepi ranjang hanya dapat tersenyum getir.
"Maafkan saya," Shene menunjukan raut wajah yang penuh rasa bersalah.
"Hahah, anda meminta maaf? Itu tidak akan merubah apapun, anda hanya bisa merusak kehidupan saya," ujar Davin dengan sinis.
Perkataan itu benar-benar membuat dada Shene terasa sesak, sulit untuk di terima tapi itulah kenyataan yang sedang ia jalani saat ini. Shene memilih untuk diam, ia nggak mengucapkan apapun lagi. Karna itu hanyalah hal yang sia-sia, ia tau Davin pasti akan terus menjawab dan perdebatan mereka nggak akan selesai dengan mudah seperti hari-hari sebelumnya.
Shene beranjak dari kasur, ia menutup pintu kamar Davin dengan pelan meninggalkan pria itu berkecamuk dalam pikirannya sendiri. Shene memilih untuk pergi ke balkon, ia mendudukan tubuhnya dengan pelan di kursi, menatap langit Jakarta yang suram nggak ada satupun bintang disana karna tertutup mendung. Shene mengusap pipinya yang tanpa sadar mengeluarkan air mata, jika harus jujur ia juga nggak sanggup menjalani semua ini, belum ada satu bulan ia tinggal bersama Davin tapi Shane merasa seperti ingin menyerah dan kabur.
Shene menerka ulang kejadian dua bulan yang lalu ketika ia nggak sengaja memergoki Rafeon pacarnya, berselingkuh dengan sahabat karib Shene sendiri. Padahal mereka sudah menjalin hubungan semenjak SMA, bahkan sudah terikat dengan pertunangan. Tapi semua seperti nggak ada artinya dan hubungan mereka berakhir begitu saja.
Setelah kejadian itu, hampir setiap hari Shene pergi ke klub malam untuk bersenang-senang, menghilangkan rasa gundah dan sakit hati yang nggak kunjung sembuh, mabuk menjadi pelampiasan terakhir yang ia pilih. Tapi, siapa sangka semua bisa jadi serumit ini? Ketika Shene menolak tawaran temannya yang ingin mengantarnya pulang dan dengan keras kepala memilih untuk mengendarai mobilnya sendiri dalam keadaan mabuk. Sampai akhirnya kecelakaan itupun terjadi, Shene memang nggak terluka parah karna mobilnya hanya menabrak trotoar. Tapi Davin, mobilnya menabrak pohon hingga kaca depannya hancur dan serpihan itu mengenai kedua matanya, memang itu bukanlah kebutaan permanen. Tapi, untuk menemukan seorang pendonor mata, itu bukanlah hal yang mudah.
Rasa bersalah semakin menghantui Shene ketika ia tahu bahwa ternyata dua minggu lagi pria itu akan melangsungkan sebuah pernikahan. Tapi karna kejadian itu pihak orang tua wanita menolak dan membatalkannya secara sepihak. Shene merasa dirinya benar-benar seperti iblis pada saat itu. Terlebih, Davin nggak menuntut apapun dari dirinya, sampai nggak lama kemudian pria itu menemuinya kembali dan menawarkannnya sebuah pernikahan. Itu terdengar gila, tapi Shene nggak bisa menolak biarpun ia tahu bahwa pria itu nggak benar-benar serius dengan hubungan ini.
Kedua orang tua Shene nggak pernah mempermasalahkan apapun pilihannya, mereka sudah menganggap Shene dewasa sehingga dapat mengambil keputusannya sendiri. Dan sekarang ia harus terjebak di kehidupan yang seperti ini, neraka yang ia ciptakan sendiri, menerima semua gejolak amarah dari Davin.
***
Pagi ini seperti biasa, Shene harus menyiapkan sarapan dan air hangat agar Davin dapat mandi dengan nyaman. Pekerjaan rumah tangga sama sekali bukanlah keahlian Shene. Apa lagi memasak, karna dulu ia hanya berfokus pada karirnya. Shene seorang dokter gigi, ia mencintai pekerjaannya dan selalu berdedikasi penuh untuk itu. Tapi sekarang ia terpaksa berhenti bekerja untuk menjaga Davin, ia harap ini hanya sementara hingga pria itu benar-benar mendapat pengelihatannya kembali.
Shene membuka kamar Davin pelan dan menemukan pria itu masih tertidur pulas. Mereka nggak pernah tidur bersama sejak hari pertama menikah, tapi Shene nggak pernah mempermasalahkan itu. Shane tidur di kamar lainnya karna apartemen ini memiliki dua kamar. Shene mulai membuka gorden membuat cahaya mulai menyinari kamar Davin yang berada di lantai 18, mereka menempati salah satu gedung apartemen tertinggi di Jakarta.
"Davin bangun," Shene mencoba membangunkan Davin mengoyangkan tubuh pria itu dengan pelan, tapi Davin hanya mengerjapkan matanya dan kembali tidur meringkukan tubuhnya. "Pagi ini Ramma mau datang, kan?" Mendengar itu seketika Davin terbangun. Ia mengucek matanya dan langsung mendudukan tubuhnya, membuat jarak yang sangat dekat antara wajahnya dan Shene yang duduk di tepi ranjang, seketika membuat pipi Shene bersemu merah tapi pria itu pasti nggak menyadarinnya.
Shene membantu menyipkan handuk, pakaian dan keperluan lainnya untuk Davin lalu menuntun pria itu ke kamar mandi karna dia masih belum terbiasa menggunakan tongkat. Sambil menunggu Davin selesai mandi Shane akan pergi membereskan kasur, pria itu biasanya akan nekat berjalan sendiri dan menabrak semua barang yang ada di sekitarnya jika Shene nggak sigap.
"Ramma sudah datang?" Tanya Davin yang sedang duduk di sofa setelah mendengar suara pintu kamar yang terbuka.
"Mungkin sebentar lagi," Shene mencoba melihat jam di atas nakas yang sudah menunjukan pukul 7 lewat. Ia meletakan nampan berisi sandwich dan susu di atas meja.
"Kamu mau kemana? Kita sarapan dulu ya?" Tanya Shene tergesa-gesa menghampiri Davin yang hampir menabrak telivisi karna mencoba berjalan sendiri.
"Saya ingin menunggunya di ruangan saya,"
"Iya, saya akan mengantarkan kamu. Tapi kita makan dulu ya, sedikittt saja." Bujuk Shene. Davin menggelengkan kepalanya, menolak tawaran Shene seperti biasa. Shene nggak ingin memaksa, ia mencoba menuntun pria itu ke dalam ruangan serba putih yang telah di bersihkan dari kekacauan semalam, ruangan khusus dimana Davin dulu melakukan pekerjaannya.
Davin duduk di kursi tengah ruangan kerjanya dengan papan kanvas kosong yang besar di depannya, ia termenung selagi Shene minyiapkan kuas dan cat air di pallet. Setelah selesai Shene meninggalkan Davin sendiri di dalam ruangan itu.
Davin masih nggak bergeriming, ia hanya menatap kosong ke arah kanvas. Nggak ada yang bisa mereka ulang kilas balik pristiwa yang udah terjadi, saat ia memutuskan pulang ke Indonesia untuk melangsungkan perikahannya hingga kecelakaan itu menimpa. Kecelakaan yang merengut semua yang berharga di hidup Davin.
Sebelumnya Davin nggak ingin menuntut apapun dari Shene dan akan memilih menjalani kembali hidupnya dengan damai, tapi ternyata itu nggak semudah bayangannya. Dadanya terasa sesak jika berhadapan dengan cat dan kuas terlebih saat ia mendengar bahwa Sabrina mantan kekasihnya telah menemukan belahan jiwa yang lain. Saat itu pula hidupannya menjadi lebih berantakan, Davin mengalami depresi, amarahnya mengebu-gebu dan memunculkan dendam dihatinya. Membuat Davin memilih untuk menikahi wanita itu agar dia juga merasakan hal yang sama seperti yang Davin rasakan. Rasa tersiksa dan harus berpisah dengan pekerjaan yang dia cintai. Ya, Davin yang memaksa Shene untuk berhenti dari pekerjaannya setelah melalui perdebatan yang panjang.
Davin nggak pernah khawatir masalah uang karna karya-karyanya yang telah ia ciptakan akan selalu menghasilkan uang yang nggak sedikit untuknya, Davin tahu hidupnya telah terjamin tapi ia masih belum bisa menemukan ketenangan batin bahkan setelah melampiaskan semua amarahnya pada Shene, satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya saat ini.
Ramma Hervano, itulah nama yang tertera di handphone Davin ketika Shene mencoba menghubunginya atas permintaan Davin. Laki-laki jangkung berkacamata itu benar-benar terlihat bengis, raut wajahnya dingin dan datar sama sekali nggak cocok dengan gelarnya yang seorang psikolog. Sekarang dengan wajah malas Shene sedang duduk berhadapan dengannya di ruang tamu.
"Davino Wirlaga, saya tidak menyangka dia bisa jadi seperti ini setelah kepulanganya dari Itali," kata Ramma yang tengah duduk di sofa ruang tamu sambil membaca riwayat pemeriksaan Davin. "Dan semua itu karna anda?" Tanya Ramma lebih terkesan menuduh, sorot matanya tajam dari balik kacamata tebal itu menatap Shene dengan sinis. Shene nggak mengatakan apapun, nggak tahu mengapa tapi pria itu terlihat menakutkan baginya.
"Dia nggak mau dibawa ke psikolog lain, jadi saya harap dia bisa sembuh di tangan anda," pinta Shene mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Wajar bila Davin mengalami depresi yang sangat parah," ucap Ramma sambil tersenyum melecehkan kearah Shene.
"Dan itu semua karna saya? Anda puas?" Shene yang paham maksud Ramma mencoba langsung kepada intinya.
"Baguslah jika anda sadar diri," celetuk Ramma dengan raut wajah yang tegas sebelum ia masuk ke dalam ruangan Davin.
Shene mengigit bibir bawahnya merasa begitu terintimidasi, ia tau dirinya bukanlah wanita baik-baik, ia pemabuk, perokok, bahkan sekarang ia seorang kriminal karna membuat seseorang mengalami kebutaan. Tapi harus bagaimana lagi? Menyesalpun nggak akan mengembalikan semua.
Ramma menutup kembali pintu ruangan itu pelan, "Ram?" panggil Davin menerka. Ramma yang melihat keadaan sahabatnya sekarang ini benar-benar merasa nggak tega. Tubuh Davin yang dulu tegap berisi kini terlihat lemah dan sedikit kurus, penampilan Davin yang dulu selalu rapih kini terlihat seperti nggak terurus, rambutnya udah gondrong melewati telinga, berewoknya yang jarang dicukur sudah hampir menutupi wajahnya.
"Iya ini gue Vin," Ramma berjalan kearah Davin dan memeluknya untuk melepas rindu sekaligus melepas beban yang Davin tanggung selama ini.
"Kenapa Ram? kenapa hidup gue bisa kayak gini? Gue salah apa, Ram?" Davin menangis sesegukan di bahu Ramma. "Seharusnya gue mati aja Ram, nyusul orang tua gue," ujar Davin membuat hati Ramma serasa teriris. Ramma hanya diam mengelus pundak Davin, dia nggak pernah melihat sahabatnya sehancur ini setelah perpisahan mereka empat tahun yang lalu, karna mereka memilih untuk melanjutkan karirnya di negara yang berbeda. Ramma kembali dari London ke Indonesia atas permintaan Davin dan sangat terkejut setelah mendengar kabar tentangnya. Davin nggak pernah memberitahu Ramma apapun sebelumnya kecuali kabar jika dia akan kembali ke Indonesia dan menikah dengan Sabrina.
"Tolongin gue Ram, gue nggak bisa kayak gini terus, gue tersiksa, Ram." Davin melepas pelukannya, "gue, gue nggak bisa liat apapun. Gue nggak bisa ngapa-ngapain, semuanya gelap." Davin mengayun-ayunkan tangannya kesembarang arah, membuat pallet dan kuas yang tersusun rapih di meja itu berhamburan. Ramma hanya berdiri terdiam, "Gue nggak bisa ngerasain senengnya ngelukis dulu, cat hitam ini nutupin mata gue Ram!" Davin meraba-raba matanya. "Yang bisa gue liat cuma warna hitam, gue harus gimana, Ram? Gue harus gimana?!" Davin berteriak mulai menjambaki rambutnya lagi mencoba menyakiti dirinya sendiri, Ramma segera mencegahnya dan menenangkannya.
Davin kembali menangis pilu, Ramma memeluk Davin sambil menepuk-nepuk pundaknya, "Sedosa apa gue Ram? Sedosa apa! Sampe tuhan kasih gue cobaan kayak gini? Hahah," tanpa Sadar Ramma mengertakan giginya, merasa nggak terima kehidupan sahabatnya bisa menjadi seperti ini dan itu semua karna wanita itu.
Sheneta Irwandi, dia nggak hanya merusak masa depan Davin tapi dia juga membunuh mimpi, karir, hidup dan mental pria ini. Davin sudah memperjuangkan semua untuk menjadi seorang pelukis profesional, hingga akhirnya dia dapat pergi ke Itali negara kelahiran seniman terkenal Leonardo da Vinci, dia adalah salah satu alasan kenapa Davin ingin menjadi seorang pelukis dan ketika dia mencapai semuanya seketika itu pula sirna.
Nggak lama kemudian Davin sudah mulai tenang, tangisnya mereda, Ramma menarik kursi lain lalu duduk di depan Davin. Mulai mendengarkan segala keluh kesah pria malang itu.
"Tidak adanya dukungan dari keluarga yang membuat depresi Davin semakin parah, jadi saya minta tolong agar anda terus mengawasinya." Ramma kembali duduk di ruang tamu setelah mengobrol lebih dari 3 jam bersama Davin di ruangannya dan saat ini Davin sudah tertidur pulas dikamar karna kelelahan.
Setahu Shene Ibu dan Ayah Davin memang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karna sebuah kecelakaan. Dia teringat kembali pernikahannya yang sederhana dan hanya di hadiri segelintir orang.
"Apakah selama ini Davin melampiaskan amarahnya kepada anda?" Tanya Ramma menerka, Shene hanya terdiam. Reaksinya yang seperti itu telah menjawab pertanyaan Ramma.
ooOoo