Davin meraba-raba kulkas, ia membukanya dan berhasil mendapatkan sebotol air dingin. Cuaca sore ini sangat panas, Davin meletakan gelas yang telah ia ambil ke meja di samping kulkas tapi ternyata posisinya nggak pas sehingga membuat gelas itu terjatuh dan pecah. Hari Ini sudah kedua kalinya Davin nggak sengaja memecahkan gelas, Shene yang mendengar itu segera berlari ke dapur sebelum Davin menginjak sepihan-serpihan beling itu seperti beberapa hari yang lalu. Kepala Shene terasa sedikit pusing karna kaget, ia nggak sengaja tertidur di sofa kamar Davin setelah memasak dan akhirnya menemani pria itu.
Shene menemukan Davin yang akan berjongkok untuk memunguti pecahan beling itu. "Davin, Davin, jangan, biar saya yang membersihkannya."
Davin kembali berdiri Shene akan menuntunnya karna takut Davin salah melangkah dan menginjak serpihin beling. "Lepaskan saya! Saya dapat melakukannya sendiri!" Davin menangkis tangan Shene dengan kasar.
Shene hanya terdiam, amarah Davin sudah menjadi makanannya sehari-hari. Sepertinya nggak ada satu hari tanpa teriakan di apartemen itu, tapi untungnya apartemen Davin di pasangi wallpaper kedap suara karna pria itu butuh ketenangan ketika melukis dan mengumpulkan inspirasi. Jadi Shene nggak perlu menerima segala protes dari penghuni lain karna suara bising. Ia membiarkan Davin yang mencoba berjalan sendiri mencari kursi meja makan dan Shene kembali fokus pada pekerjaannya yaitu membersihkan kekacauan yang Davin buat.
"Akhh, sialan!" Umpat Davin saat tangannya menyentuh sesuatu yang panas, Shene yang baru saja selesai membersihkan serpihan beling itu langsung menghampiri Davin. Ia lupa jika panci di kompor masih panas dan Davin yang sedang meraba-raba benda di sekitarnya nggak sengaja memegangnya.
"Panas ya? Ayo kesini kita siram air dingin." Shene sedikit panik dan segera membawa Davin ke wastafel membasuh luka di telapak tangan kanan Davin yang mulai memerah. Shene membawa Davin untuk duduk di kursi meja makan ia segera berlari ke kamarnya dan kembali membawa kotak p3k. Shene menarik kursi dan duduk di sebelah Davin, ia mulai mengolesi luka itu dengan salep.
"Perih ya?" Tanya Shene karna melihat wajah Davin yang hanya terdiam. Pria itu nggak mengatakan apapun tapi Shane mencoba lebih lembut, dengan telaten ia mengoleskan salep itu sambil meniupnya agar nggak terasa perih.
"Apa yang anda lakukan!" Bentak Davin saat Shene akan memasang kain pembalut medis.
"Luka ini harus di tutup,"
"Lalu bagaimana saya bisa melukis?! anda telah menutup mata saya sekarang anda ingin menutup tangan saya!" Davin mengayunkan tangannya membuat kotak P3k yang ada di depannya terlempar. Dengan sabar Shene melepas kembali kain medis tersebut dan memungut kotak p3knya.
Shene sudah menunjukan muka yang masam, ia mengambil air dingin dari kulkas untuk Davin dan menyiapkan semangkuk sup yang telah Shene masak dengan susah payah, syukurnya rasanya lumayan enak. Ramma bilang itu adalah makanan kesukaan Davin jadi ia berusaha mencoba untuk belajar membuatnya.
"Ini, coba kamu cicipin. Saya mencoba memasak sup kesukaan kamu," Shene melekan semuanya di depan Davin sambil tersenyum, pria itu meraba-raba meja dan berhasil memegang gelas berisi air dingin.
"Sshhh," tapi Davin meringis kesakitan karna luka di tangannya. Tanpa banyak kata-kata Shane mengambil gelas itu dan membantu Davin untuk minum, pria itu nggak menolak mungkin karna dia sudah sangat kehausan dan hampir menghabiskan semua air di gelas.
Shene menarik mangkuk sup itu lalu mulai menyuapi Davin, pria itu dengan ragu membuka mulunya. Tapi belum ada seperkian detik Davin memutahkannya kembali, "hoek! Apa yang anda masak? Ini sangat tidak enak! Anda memang tidak becus!" Shene meletakan kembali mangkuknya, ia mencoba mengalihkan pandangannya dari Davin dan memutar matanya busaha untuk nggak menangis. Shene menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan tapi itu nggak membuatnya merasa lega.
Shene membiarkan Davin yang bangkit dan berjalan mencari-cari ruangan kerjanya yang berada persis di samping kamar Davin sendiri. Shene terprejap saat Davin berhasil menemukan letak ruangan tersebut dan membanting pintunya dengan keras. Ia membereskan semua sambil menahan tangis, usahanya yang nggak pernah di hargai terasa sangat menyakitkan Shene merasa setiap hari Davin seperti sedang menghukumnya.
Di dalam ruangan itu Davin berusaha mengingat-ingat tataan ruangannya ia mencari kursinya untuk duduk, setelah berhasil Davin terdiam sejenak, ia mencoba meraba-raba meja yang ada di depannya dan menemukan salah satu kuasnya. Tapi ketika Davin mencoba mengengam kuas itu menggunakan tangan kanannya ia merasakan perih yang luar biasa. Tapi Davin justru mengeggam kuas itu semakin erat.
"Davin anda luar biasa,"
"Davin anda orang yang sangat berbakat,"
"Saya sangat bangga padamu, Davin."
"Karya anda sangat luar biasa,"
"Kau adalah seniman yang sangat jenius, Davin."
"Sayang selamat atas keberhasilan pameranmu, aku mencintaimu!"
Semua kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di telinga Davin saat ia mecoba untuk melukis kembali. Davin melempar kuas yang di genggamnya, nafasnya memburu menahan amarah pada dirinya sendiri, ia teringat apa yang dikatakan Sabrina dalam mimpi Davin setiap malam bahwa 'Davin seorang yang nggak berguna'. Kehidupannya yang semula hampir sempurna kini hancur berkeping-keping tanpa belas kasian.
"Arghhh! Hahahah!" Davin menghamburkan semua benda yang ada di depannya tubuhnya luruh kelantai lalu menangis.
Ramma yang sudah datang nggak lama setelah Davin masuk ke ruangan itu hanya duduk terdiam di sofa, mendengarkan teriakan dan suara benda yang terlempar dari ruangan Davin. Ramma hanya berniat mampir untuk memberikan makanan pada Davin tapi sekarang ia mendapatkan lebih.
Ramma menatap tajam Shene yang hanya terdiam di depannya. "Kenapa Davin bisa semarah itu? Apa yang anda lakukan?" Tuduh Ramma pada Shene yang hanya menunjukan ekspresi datar.
"Tangannya terluka,"
"Kenapa bisa?"
"Dia nggak sengaja memegang panci yang panas,"
"Kenapa anda membiarkannya? seharusnya anda mengwasinya,"
"Davin tidak ingin di-"
"Cukup, tolong jangan berikan alasan apapun." Ramma segera memotong ucapan Shene, dia seperti nggak mau tau apapun yang terjadi dan hanya Shene yang selalu salah. "Saya sudah mengatakan pada anda untuk selalu mengawasinya, jika begini dia merasa dirinya semakin lemah."
"Maafkan saya," ucap Shene dengan lidah yang terasa kelu.
"Lain kali kontrolah ego anda. Anda tidak berhak merasa menderita karna disini Davinlah korbannya." Kata Ramma dengan sinis lalu beranjak masuk keruangan Davin.
Seminggu penuh Ramma selalu mengunjungi Davin tapi belum ada perkembangan yang signifikan pada sikap Davin. Shane rasa ia yang akan mengalami depresi jika berdahapan dengan dua pria itu terus-menerus. Terkadang Shane merasa iri jika menggingat perlakuan Davin pada Sabrina yang begitu lembut, seminggu setelah kecelakaan itu Sabrina selalu mengunjungi Davin dirumah sakit. Dia membuat Davin uring-uringan saat seharian nggak muncul di hadapan pria itu lalu kembali dengan kabar yang nggak menyenangkan.
Hampir satu bulan penuh Shene merawat Davin dirumah sakit, sampai pernikahan ini terjadipun Davin masih belum bisa menghargai apa yang ia lakukan. Haruskah Shene mengemasi barangnya dan pergi dari kehidupan Davin?
***
Davin tiba-tiba berada di ruangan serba putih, ruangan yang selalu muncul dalam mimpinya semenjak kecelakaan itu. Ruangan kosong yang terlihat seperti tanpa batas. Ia melihat penampilannya yang telah rapih memakai jas pengantin berwarna hitam dan matanya dapat melihat dengan normal. Davin mengarahkan pandangannya kesekitar dan ia seperti melihat seseorang di ujung sana.
"Sabrina," panggilnya, Davin segera menghampiri wanita yang berdiri membelakanginya itu. Lalu wanita itu membalikan tubuhnya menghadap Davin, menampakan parasnya yang cantik dia sangat anggun mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang tergerai indah. "Sabrina," Davin bergumam lalu senyumnya mengembang. Tapi itu nggak bertahan lama karna tiba-tiba seorang pria lain muncul di belakang Sabrina menggenakan jas yang sama seperti yang Davin kenakan. Sabrina dan pria itu tersenyum sinis ke arah Davin, membuat Davin seketika kebingungan.
"Kamu tidak berguna, Davin!"
"Kamu tidak berguna, Davin!"
"Kamu tidak berguna, Davin!"
Suara itu terus-menerus terdengar di telinga Davin meleking dan sangat menusuk, membuatnya berteriak marah sambil menutup telinga. "Pergi kalian! Pergi!" Seru Davin dan perlahan suara itu mulai menghilang. Ia kembali melihat kesekelilingnya dan ternyata ia masih berada di ruangan yang sama.
Davin menemukan seseorang yang duduk di ruangan itu sambil menatap kanvas besar yang masih kosong di depannya, ternyata pria itu adalah diri Davin sendiri. Davin hanya terdiam memperhatikan bayangan dirinya sendiri disana, wajahnya disana terlihat amat sedih dan murung. Davin dalam bayangan itu mulai menghamburkan semua cat dan kuas yang ada di depannya sambil menangis dan berteriak menggambarkan perilaku Davin selama ini.
Wanita memakai gaun berwarna hitam selutut menghampiri diri Davin yang lain disana, "siapa wanita itu?" Tanya Davin yang masih mengamati. Wanita itu memiliki kulit yang putih dengan rambut ikal berwarna coklat yang tergerai sepunggung, wajahnya terlihat sangat manis. Wanita itu mencoba memeluk Davin yang terpuruk, tapi Davin yang ada di dalam bayangan itu justru menolak dan mendorongnya hingga wanita itu terjatuh, wajahnya menunjukan ekspresi kesakitan.
Semua refleksi yang Davin lihat saat ini membuatnya teringat pada kejadian beberapa hari yang lalu saat ia mendorong Shene yang berusaha membantunya. Dan apakah wanita dalam bayangan itu adalah Shene? Pikiran Davin berkecamuk ia memang sama sekali belum pernah melihat wajah wanita itu dan sekarang Davin merasa sangat bersalah ketika melihat Shene yang berada dalam bayangan itu tetep berusaha sabar dan tersenyum meyakinkan ke arah Davin, mencoba berbohong bahwa ia nggak terluka. Senyum yang menampakan gingsulnya itu membuat Shane semakin terlihat cantik dan Davin yang sedang memperhatikanya seketika terpana.
Tapi dengan cepat adegan berganti, kini Davin melihat Shene berjalan membawa koper seperti seseorang yang akan pergi jauh, Davin yang melihat itu segera memanggilnya.
"Shene," tapi wanita itu nggak menoleh.
"Shene!"
"Shene, maafkan saya!" Teriak Davin, tanpa sadar ada ketakutan tersendiri dalam dirinya ketika melihat wanita itu pergi meninggalkannya, hingga cahaya hitam menutup mata Davin dan menyeret dirinya seperti terjatuh ke lubang tanpa dasar. "Shene!!!" Teriak Davin yang terbangun dari tidurnya dengan keringat yang bercucuran, nafasnya terengah-engah.
"Davin?" Shane membuka pintu kamar dan menemukan Davin yang sedang duduk terdiam, Shene mencoba mendekat lalu duduk di tepi ranjang. "kamu mimpi buruk lagi?"
"Tolong jangan pergi," Kata Davin dengan tiba-tiba membuat Shane mengeryitkan dahinya heran.
"Saya nggak akan kemana-mana, saya tetap disini."
"Maafkan saya," ucap Davin lirih membuat Shene terdiam, mencoba mencerna ulang bahwa dirinya nggak salah mendengar.
"Kamu nggak perlu minta maaf, saya yang bersalah disini," sejenak mereka terdiam dalam suasana kamar yang remang-remang hanya di terangi oleh lampu tidur. "Mau minum?" Tawar Shene lalu mengambil segelas air putih yang berada di atas nakas lalu memberikannya pada Davin.
"Kamu tidur lagi ya, saya akan kembali ke kamar. Panggil saya jika kamu membutuhkan sesuatu." Davin kembali membaringkan tubuhnya dan Shene menutupnya dengan selimut. "Selamat malam," ucap Shene lirih sebelum benar-benar menutup pintu.
Shene menyandarkan tubuhnya pada pintu kamar Davin, berfikir keras bagaimana Davin tahu jika dirinya telah mengemasi pakaian dari lemari dan menyusunnya di koper. Sebenarnya Shene berniat kembali ke rumahnya di Bandung untuk sementara waktu, menghilangkan rasa stres yang ia alami selama ini. Shene memeriksa Davin ketika mendengar teriakan pria itu, saat ia sedang duduk melamun di meja bar dapur.
Shene mendudukan tubuhnya kembali di kursi meja bar, disaat banyak pikiran seperti ini biasanya ia akan meminum alkohol atau menghisap beberapa batang rokok. Tapi sejak kecelakaan itu Shene nggak pernah menyentuh alkohol lagi karna ia merasa sedikit trauma.
Shene menyesap jus orange yang udah nggak dingin lagi karna ia telah menuangkannya sejak tadi. Jika begini ceritanya maka Shene nggak akan bisa pergi, apa lagi Davin sudah meminta maaf. Shene hanya berharap maaf itu bukanlah kata-kata yang semu.
Dengan pelan Shene bangkit dan melangkah keruang tamu yang nggak terlalu luas itu, ia menyedekapkan kedua tangannya di dada menatap lukisan wanita cantik berambut panjang yang sedang duduk di kursi yang berada di ruangan serba hitam. Wajah wanita itu di hiasi tawa bahagia.
Itu adalah lukisan mantan kekasih Davin, Sabrina. Shene teringat bagaimana wajah marah Davin saat dia tahu bahwa Shene menurunkan dan menyimpan lukisan tersebut. Pria itu memang nggak menyakiti Shene secara fisik, tapi ia menyakiti Shene secara batin. Shene mungkin belum bisa mencintai Davin sepenuhnya, tapi ia mencoba menerima pria itu apa adanya dan bibit kecemburuan lambat laun pasti akan muncul.
ooOoo