Chereads / Fate x Danmachi: The Sword Prince / Chapter 84 - Chapter 84

Chapter 84 - Chapter 84

Shirou dan Lefiya akhirnya selesai memasak sarapan. Mereka membawa beberapa piring ke meja makan yang ramai oleh anggota Loki Familia, lalu duduk di sebelah Aiz. Gadis berambut pirang itu terlihat menikmati snack kentang Jagamaru-kun buatan Shirou, makanan favoritnya yang sudah menjadi tradisi pagi hari. Dengan senyuman kecil, Shirou melirik ke arah Aiz.

"Aiz," tanya Shirou sambil menyendok sarapannya. "Tumben kau ikut sarapan bareng hari ini. Biasanya di jam segini kau masih melatih Bell, kan? Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Aiz menelan gigitan terakhir Jagamaru-kun sebelum menjawab. "Bell minta izin untuk tidak latihan hari ini. Dia sedang sibuk menerima anggota baru di Hestia Familia," katanya dengan nada tenang namun sedikit lembut.

Lefiya, yang duduk di sebelah kanan Shirou, ikut menimpali. "Seharusnya Bell menerima anggota baru lebih sering, ya. Dengan begitu, dia tidak akan terus-menerus merepotkan Aiz," katanya dengan nada bercanda, meskipun wajahnya menunjukkan rasa iri yang samar.

Shirou tersenyum kecil mendengar komentar Lefiya. Tapi kemudian, sesuatu terlintas di benaknya. "Ngomong-ngomong," katanya sambil menoleh ke Aiz, "kenapa Hestia Familia tidak menambah lebih banyak anggota? Kalau dibandingkan dengan Loki Familia, lihat saja ruang makan ini. Penuh sesak. Tapi Hestia Familia sangat kecil jumlahnya."

Aiz mengangkat bahu. "Mungkin karena Loki Familia sudah ada sejak lama, sementara Hestia Familia baru saja dibentuk. Membutuhkan waktu untuk membangun reputasi," jawabnya dengan sederhana.

Namun, Lefiya tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke Shirou dan berbisik pelan, seolah takut ada yang mendengar. "Aku pernah dengar rumor dari beberapa petualang," katanya dengan nada rahasia. "Setelah Hestia Familia menang dalam War Game melawan Apollo Familia, ada sekelompok petualang yang berniat bergabung. Tapi begitu tahu dewi Hestia punya hutang 200 juta valis, mereka semua mundur. Siapa yang mau bergabung dengan Familia yang punya masalah keuangan sebesar itu?"

Shirou menatap Lefiya dengan kaget, lalu mengalihkan pandangannya ke meja, termenung. Hutang 200 juta valis? pikirnya. Temannya, Hestia, sedang menghadapi beban sebesar itu dan tidak pernah mengeluh sedikit pun. Perasaan ingin membantu muncul di hatinya. Mungkin gaji yang selama ini tak aku pakai bisa digunakan untuk menolong Hestia, setidaknya sebagian dari hutangnya. Tapi Shirou tetap diam, hanya menatap piringnya sambil merencanakan sesuatu.

Sambil mengunyah sarapannya, Lefiya melirik ke arah Shirou dengan senyuman penuh rasa ingin tahu. Ia menyikut lengan Shirou pelan, mencoba menarik perhatiannya. "Ngomong-ngomong, aku dengar kabar kalau kamu sudah memperbarui statusmu, Shirou. Aku yakin statusmu pasti naik pesat dengan semua aksi heroik yang sudah kamu lakukan," katanya sambil tersenyum penasaran.

Aiz, yang duduk di sisi lain Shirou, menoleh dengan ekspresi tertarik. Mata emasnya yang tajam menatap Shirou, seolah menuntut penjelasan tanpa perlu berkata apa pun.

Shirou meletakkan sendoknya dan menanggapi dengan tenang, "Ya, statusku memang naik. Sekarang rata-rata berada di rank A atau B."

Mendengar itu, Lefiya hampir tersedak sarapannya. "A atau B? Itu luar biasa! Berarti kamu sudah bisa level up, kan?" tanyanya dengan antusias, matanya berbinar penuh kekaguman.

Namun, Shirou hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Belum. Aku memutuskan untuk mengikuti saran Loki. Dia bilang aku sebaiknya menahan level up-ku dulu karena ada peluang untuk meningkatkan statusku ke rank SSS."

Lefiya mendesah manja, merajuk seperti anak kecil. "Yah, aku juga disuruh menahan level up-ku oleh Loki-sama," keluhnya. "Padahal aku sudah bisa naik ke level 4, tapi dia memintaku untuk meningkatkan status magic-ku ke rank S terlebih dahulu. Tapi, ya, itu sih masih jauh dibandingkan dengan statusmu."

Shirou terkekeh ringan sebelum menambahkan, "Bukan cuma itu. Dengan skill Underdog yang kumiliki, aku hanya bisa mendapatkan excelia maksimal jika melawan musuh yang levelnya lebih tinggi dariku. Sekarang aku di level 4, jadi aku perlu melawan musuh yang selevel dengan Aiz, Riveria, Finn, dan lainnya yang sudah level 6. Kalau aku terburu-buru naik level, aku malah akan menyulitkan mereka."

Aiz tetap diam, tapi ada kilatan emosi dalam matanya saat mendengar penjelasan Shirou. Sebaliknya, kamu yang levelnya rendah justru menyelamatkanku saat aku dalam bahaya, pikir Aiz dalam hatinya. Pahlawanku…

Namun, ia hanya menundukkan sedikit kepalanya, melanjutkan makannya tanpa mengatakan apa-apa, meskipun perasaan hangat menjalari hatinya saat mengingat keberanian Shirou.

Shirou mengalihkan pandangannya dari piringnya yang hampir kosong ke arah Lefiya dan Aiz. "Ngomong-ngomong," ia memulai dengan nada santai, "apakah ada forge di sekitar Manor ini? Development ability forging milikku sama sekali tak pernah berkembang karena, yah, aku belum pernah mencoba menempa besi."

Aiz menghentikan kunyahannya, menatap Shirou dengan ekspresi terkejut. "Kamu mengambil development ability forging?" tanyanya dengan nada penasaran. "Apa kamu serius ingin menjadi seorang blacksmith?"

Shirou menggaruk bagian belakang kepalanya, sedikit malu. "Awalnya aku pikir itu akan berguna di masa depan, jadi aku mengambilnya. Tapi sampai sekarang, aku belum sempat belajar atau mencoba menempa sesuatu."

Lefiya, yang duduk di sebelah kanan Shirou, tersenyum lebar. "Shirou, kamu benar-benar serba bisa, ya? Magecraft, memasak, memanah, ahli pedang, dan sekarang bahkan ingin belajar menempa besi! Aku yakin kalau kamu serius, kamu pasti bisa menjadi blacksmith yang hebat juga."

Shirou merasa sedikit canggung mendengar pujian itu. "Kamu terlalu melebih-lebihkan," katanya pelan, mencoba merendah. "Aku hanya mencoba memanfaatkan apa yang kupunya."

Lefiya terkikik kecil dan berkata, "Oh, ngomong-ngomong soal forge, aku tahu ada satu di sekitar Manor. Tapi tempat itu sudah lama ditinggalkan karena Loki Familia lebih sering menyewa jasa blacksmith dari Familia lain untuk kebutuhan perlengkapan."

Sebelum Shirou sempat merespons, Riveria berdiri dari kursinya di tengah ruang makan. Dengan suara yang tenang namun tegas, ia mengumumkan, "Perhatian bagi semua anggota Fairy Force. Kita akan segera memulai latihan seperti biasa. Kumpul di tempat yang telah ditentukan."

Lefiya membeku sejenak. "Waduh! Waduh! Waduh!" serunya panik sambil buru-buru menyendok sisa makanannya. "Aku lupa kalau kita ada latihan dengan Lady Riveria! Aduh, aku harus cepat-cepat."

Dengan terburu-buru, Lefiya menghabiskan makanannya, lalu berbalik ke arah Shirou. "Maaf, Shirou! Aku nggak bisa bantu cuci piring atau menunjukkan forge sekarang."

Shirou hanya tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Lefiya. Latihanmu lebih penting. Semangat, ya," katanya sambil memberi anggukan penuh dukungan. "Aku bisa pergi ke forge besok saja. Bagaimana kalau kita pergi bersama?"

Mendengar itu, Lefiya berhenti sejenak, tersenyum manis ke arah Shirou. "Benar, ya? Baiklah, besok aku akan menunjukkan tempatnya. Terima kasih, Shirou!" Setelah itu, ia melambaikan tangan dan berlari keluar dari ruang makan, mengejar rekan-rekannya yang lain.

Semua anggota Loki Familia telah meninggalkan ruang makan setelah menyelesaikan sarapan mereka. Shirou tetap berada di dapur, mengumpulkan piring-piring kotor dan peralatan masak, memastikan semuanya bersih sebelum melanjutkan harinya. Aiz, yang masih di kursinya, memandang Shirou yang sibuk bekerja.

Shirou melirik ke arah Aiz. "Kamu tidak perlu tinggal di sini, Aiz. Kalau kamu ada urusan lain, silakan saja. Aku bisa bersih-bersih sendiri," katanya sambil mengisi wastafel dengan air sabun.

Namun, Aiz menggelengkan kepala pelan. "Tidak apa-apa. Aku mau membantu," jawabnya sederhana, suaranya seperti angin lembut yang tenang.

Shirou tersenyum kecil. "Kalau begitu, terima kasih banyak. Kita mulai sekarang, ya?"

Tanpa berkata banyak lagi, mereka berdua mulai membersihkan dapur dan ruang makan. Aiz, meskipun bukan ahli memasak, ternyata cukup cekatan dalam pekerjaan rumah seperti ini. Ia dengan mudah menyeka meja, mengatur kursi, dan bahkan membantu Shirou membilas piring-piring yang sudah dicuci.

Di tengah kesibukan, Aiz berbicara dengan nada tenang, "Shirou, apa kamu punya waktu setelah ini?"

Shirou mengangguk sambil mengelap tangannya dengan kain. "Tentu saja. Ada yang bisa kubantu?"

Aiz memandangnya serius. "Bisakah kamu membantuku berlatih?"

Shirou berhenti sejenak, sedikit bingung. "Berlatih? Bukankah kamu sudah sangat mahir, Aiz? Kamu bahkan salah satu petarung terbaik di Orario."

Aiz menggeleng pelan, menatap lantai dapur dengan tatapan penuh tekad. "Belum cukup. Aku ingin menjadi lebih kuat," katanya, suaranya menunjukkan keinginan yang mendalam. "Revis… Dua kali aku harus diselamatkan darinya. Aku tidak ingin menjadi beban lagi."

Shirou terdiam mendengar kata-katanya. Ia bisa merasakan ketulusan di balik permintaan Aiz. "Kalau begitu, baiklah. Aku akan membantumu dengan senang hati," katanya akhirnya, memberikan senyuman penuh keyakinan.

Di dalam hati, Aiz merasakan sedikit ketenangan, tetapi tekadnya semakin kuat. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa berdiri di sisinya. Bukan sebagai gadis yang terus-menerus diselamatkan, tetapi sebagai rekan yang setara. Pahlawanku… aku ingin menjadi lebih kuat demi kamu.

Setelah membersihkan dapur dan ruang makan hingga bersih, Shirou menghela napas lega. Ia memandang Aiz, yang masih berdiri di dekatnya, lalu bertanya, "Jadi, kita akan berlatih di mana, Aiz?"

Aiz menoleh dan menjawab singkat, "Di bangunan latihan fisik Loki Familia."

Shirou mengangguk, tetapi kemudian menyadari sesuatu. "Bangunan latihan fisik? Uh, itu di mana ya?" tanyanya dengan sedikit canggung. Wajahnya memerah samar karena merasa agak malu tidak tahu tempat latihan di markas Loki Familia.

Aiz menatapnya sebentar sebelum memberikan isyarat untuk mengikutinya. "Aku tunjukkan jalannya."

Mereka berjalan berdampingan melintasi halaman Manor. Aiz tetap tenang, sementara Shirou memperhatikan sekitar, berusaha mengingat jalur yang mereka lalui. Akhirnya, mereka tiba di sebuah bangunan besar di sudut area Manor. Bangunan itu terlihat kokoh, dengan pintu kayu besar yang terukir lambang Loki Familia.

"Inilah tempatnya," kata Aiz sambil membuka pintu.

Saat mereka memasuki bangunan tersebut, Shirou terkejut melihat fasilitas yang lengkap di dalamnya. Ruangan luas itu dipenuhi peralatan latihan seperti boneka kayu untuk latihan pedang, barbel berbagai ukuran, matras latihan, dan bahkan sebuah arena yang terlihat dirancang untuk duel. Semuanya tertata rapi dan bersih, mencerminkan disiplin anggota Familia.

Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian Shirou. "Kok sepi, ya? Aku pikir tempat seperti ini akan selalu ramai."

Aiz menjelaskan sambil melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, "Biasanya, tempat ini penuh saat ada penerimaan anggota baru level 1. Mereka diajarkan dasar-dasar bertarung di sini. Tapi sekarang, sebagian besar anggota Loki Familia sibuk dengan quest mereka atau langsung ke Dungeon."

Shirou merenungkan jawaban itu, menyadari perbedaannya dengan dirinya. Berbeda dari anggota Familia lainnya, ia belum pernah menerima quest wajib dari Guild. Alasannya sederhana: ia masih terdaftar sebagai petualang level 1, meskipun sebenarnya sudah mencapai level 4. Statusnya yang disembunyikan memberikan kebebasan yang jarang dinikmati oleh petualang level tinggi.

"Apa kamu baru saja menyelesaikan quest dari Guild?" tanya Shirou, mencoba memahami keseharian Aiz.

Aiz mengangguk ringan. "Sudah. Itu tugas biasa, tidak sulit." Ia kemudian menoleh ke Shirou. "Bagaimana denganmu? Guild tidak pernah memberimu tugas?"

Shirou tertawa kecil. "Tidak, mungkin karena mereka pikir aku ini masih pemula. Aku cukup beruntung tidak harus menghadapi quest wajib."

Aiz mengangguk lagi, tapi dalam hatinya, ia merasa penasaran bagaimana Shirou yang memiliki kemampuan sehebat itu bisa bertahan selama ini tanpa membuat Guild curiga. Apa Shirou selalu memakai topeng saat ke dungeon? pikirnya. Tapi, daripada bertanya lebih jauh, ia memilih untuk fokus pada tujuan mereka. "Ayo, kita mulai latihan," katanya, berjalan ke arah arena di tengah ruangan.

Shirou mengikuti, senyuman kecil menghiasi wajahnya. "Baiklah, tunjukkan caranya," ucapnya, penuh semangat untuk membantu Aiz menjadi lebih kuat.

Aiz berdiri di tengah arena latihan, tatapannya fokus ke Shirou. "Shirou," katanya dengan nada serius, "bisakah kau mengajariku teknik itu? Teknik yang kau gunakan untuk menyelamatkanku waktu itu... Tsubame Gaeshi."

Shirou tertegun sejenak, mengerutkan alisnya. "Tsubame Gaeshi?" gumamnya sambil berpikir. "Itu teknik yang cukup rumit... Tapi baiklah, aku akan mencoba menjelaskan."

Dengan cepat, Shirou memproyeksikan sebuah nodachi panjang, Monohoshi Zao, di tangannya. Pedang itu berkilauan dengan cahaya magis sebelum berbentuk sempurna. Shirou mengangkatnya, memperlihatkan desain ramping dan panjangnya yang hampir setinggi Aiz. "Ini senjata yang biasa digunakan untuk Tsubame Gaeshi," jelasnya. "Aku mempelajarinya melalui magecraft tracing. Tapi teknik ini dirancang untuk nodachi seperti ini, dan aku tidak yakin bisa mengajarkannya padamu yang menggunakan pedang pendek."

Aiz menatap nodachi itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Bolehkah aku mencobanya?" tanyanya dengan nada penuh harapan.

Shirou mengangguk dan menyerahkan pedang itu dengan hati-hati. "Hati-hati, ini cukup berat."

Aiz menerima nodachi itu dengan kedua tangan, mencoba menyesuaikan pegangan. Ia mengayunkan pedang panjang itu dengan hati-hati, namun gerakannya terlihat kaku. Nodachi hampir setinggi dirinya, dan jelas sekali ia tidak terbiasa dengan senjata sepanjang itu. "Rasanya... berbeda," gumam Aiz, mencoba mengayunkan lagi tetapi tidak menemukan kenyamanan.

Shirou tersenyum kecil, lalu mulai menjelaskan, "Teknik Tsubame Gaeshi sebenarnya sangat unik. Pemilik aslinya, Sasaki Kojirou, melatih teknik ini dengan serius untuk bisa memotong burung layang-layang yang terbang. Itu bukan hanya soal pedang, tapi juga pemahaman mendalam tentang gerakan dan waktu."

Mata Aiz langsung berbinar mendengar cerita itu. Ia menurunkan nodachi, lalu dengan penuh semangat berkata, "Kalau begitu, aku harus berlatih memotong burung layang-layang juga! Aku akan pergi sekarang mencarinya."

Shirou hampir tersedak mendengar ucapan itu. "Eh, tunggu dulu!" serunya, mengangkat tangannya menghentikan Aiz. "Kau tidak bisa begitu saja keluar dan mulai berlatih seperti itu. Sasaki Kojirou membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menguasai Tsubame Gaeshi. Teknik itu tidak hanya soal senjata, tapi juga soal memahami filosofi di balik gerakannya."

Aiz berhenti di tempat, menatap Shirou dengan kebingungan. "Jadi... aku tidak bisa belajar teknik itu?" tanyanya.

Shirou menghela napas pelan dan menggeleng. "Bukan begitu. Tapi kalau kau ingin mencoba teknik itu, kau harus benar-benar memulai dari awal, dan itu akan memakan waktu lama. Selain itu, kau belum pernah menggunakan nodachi sebelumnya. Akan lebih bijaksana untuk fokus pada keahlianmu sendiri dengan pedang pendek."

Aiz terlihat sedikit kecewa, tapi ia mengangguk memahami. "Kalau begitu, aku akan fokus menjadi lebih baik dengan pedangku sendiri," katanya dengan tekad baru.

Shirou tersenyum tipis, merasa lega. "Itu pilihan yang jauh lebih baik. Kau sudah sangat hebat dengan senjatamu. Tidak perlu mencoba sesuatu yang tidak cocok untukmu."

Aiz dengan hati-hati menyerahkan kembali Monohoshi Zao kepada Shirou, matanya penuh dengan tekad yang menggelegak. "Shirou," katanya serius, "gunakan Tsubame Gaeshi padaku."

Shirou terbelalak kaget mendengar permintaan itu. "Apa? Kenapa aku harus melakukannya?" tanyanya, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Aiz menatapnya dengan ekspresi penuh keyakinan. "Revis mampu menghindari dua sabetan dari Tsubame Gaeshi-mu waktu itu," jelasnya. "Aku ingin melatih diriku untuk bisa menghindari tiga sabetannya sekaligus. Itu adalah targetku."

Shirou terdiam sejenak, memproses permintaan itu. Ia bisa merasakan ketulusan dan tekad dalam suara Aiz. Dia ingin menjadi lebih kuat, terutama untuk menghadapi ancaman seperti Revis. Shirou akhirnya mengangguk, meski dengan sedikit ragu. "Aku mengerti, Aiz. Kau ingin lebih siap menghadapi Revis," katanya dengan nada lembut. Namun, ia menatap nodachi di tangannya dengan khawatir. "Tapi Monohoshi Zao ini sangat tajam. Jika aku menggunakannya untuk menyerangmu, itu bisa berbahaya."

Shirou kemudian mendapatkan ide. Ia menutup matanya sejenak, mengaktifkan magecraft Alteration. Aliran prana mengalir ke dalam Monohoshi Zao, dan dalam hitungan detik, bilah tajam itu berubah menjadi tumpul, kehilangan daya potongnya tetapi tetap mempertahankan bentuk aslinya.

"Sekarang, nodachi ini lebih aman," kata Shirou sambil menyerahkan pedang itu untuk diperiksa Aiz.

Aiz menyentuh permukaan bilahnya, mengangguk puas. "Kalau begitu, kita ke arena untuk mengetesnya," katanya sambil mulai berjalan menuju tengah arena.

Shirou mengikuti di belakangnya, mengencangkan genggaman pada Monohoshi Zao. Ia tahu bahwa ini bukan latihan biasa. Aiz benar-benar serius, dan ia harus memberikan yang terbaik untuk membantunya mencapai targetnya. "Baiklah," gumamnya pelan. "Tapi aku tetap akan menahan sedikit kekuatan agar ini benar-benar aman."

Aiz berdiri di seberang arena, memegang pedang pendeknya dengan genggaman kuat. Wajahnya menunjukkan determinasi, meskipun ia tahu tantangan yang akan dihadapinya tidak main-main. Di depannya, Shirou memegang Monohoshi Zao yang tampak gagah dan memancarkan aura tajam meskipun kini bilahnya telah ditumpulkan dengan magecraft.

"Jarakku lebih panjang, Aiz. Kau harus benar-benar siap," Shirou memperingatkan dengan nada tegas, mengarahkan ujung nodachi ke arahnya. Mata emasnya fokus, seperti seorang pendekar yang siap memberikan serangan terbaiknya.

Aiz mengangguk singkat, posisinya sudah mantap dalam kuda-kuda. "Aku sudah siap," jawabnya yakin, meskipun dalam hatinya ia merasa gugup. Ia tahu betapa mematikan teknik ini.

Shirou menarik napas dalam, tubuhnya sedikit condong ke depan, dan aliran prana dalam dirinya terasa menggeliat seperti api yang tak sabar dilepaskan. Ia berencana untuk menahan diri, tetapi ketika kakinya mulai bergerak dan teknik Tsubame Gaeshi mengalir dalam pikirannya, semua energi dan fokusnya terpusat pada serangan tersebut.

"Tsubame Gaeshi!" serunya.

Dalam sekejap, tiga serangan melengkung muncul dari Monohoshi Zao, seolah memotong dimensi itu sendiri. Tebasan pertama melesat ke perut Aiz, di bawah chest plate-nya, sementara dua tebasan lain mengarah ke kedua lengannya. Serangan itu terlalu cepat, melampaui batas manusia biasa.

Aiz mencoba bereaksi, tetapi tubuhnya tak cukup cepat untuk mengimbangi. Dalam hitungan detik, tiga tebasan itu mengenainya. Meski hanya tumpul, dampaknya cukup untuk membuatnya terdorong ke belakang dan terduduk di lantai arena. Pedang pendeknya terlepas dari genggaman dan jatuh beberapa meter darinya. Ia menunduk, mengepalkan tangan dengan frustrasi.

"Aku tidak bisa menghadang satupun," gumam Aiz dengan suara pelan, kecewa pada dirinya sendiri. Napasnya memburu, bukan karena rasa sakit, tetapi karena kegagalannya melawan serangan yang ia tahu akan datang.

Shirou segera bergegas mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Aiz, kau baik-baik saja?" tanyanya, matanya memeriksa apakah ada cedera yang serius.

Aiz mendongak, wajahnya sedikit memerah karena perasaan malu, tetapi ia memaksakan senyuman kecil. "Ini hanya memar kecil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya sambil bangkit perlahan.

Shirou menghela napas lega tetapi mencoba menghiburnya. "Aiz, kau tahu, ketika aku menghadapi Revis, dia sudah level 7. Teknik ini melewati batas level, tetapi lawanku waktu itu jauh lebih kuat daripada sekarang. Kau masih level 6, jadi tidak ada yang perlu kau kecewakan."

Aiz memandang Shirou sejenak, mengamati ketulusan di balik kata-katanya. Namun, ia tidak ingin mencari alasan. Ia melangkah ke arah pedang pendeknya, mengambilnya kembali, dan mengencangkan genggamannya. "Tidak peduli itu, aku ingin mencoba lagi," ujarnya tegas.

Shirou tersenyum kecil, melihat semangat pantang menyerah Aiz. Ia kembali bersiap, mengarahkan nodachi ke posisi awal. "Baiklah," katanya. "Kalau begitu, aku tidak akan menahan diri lagi."

***

Dari dalam bangunan latihan Loki Familia, suara benturan keras terdengar berulang kali. Teriakan Shirou mengumandangkan, "Tsubame Gaeshi!" disusul oleh bunyi mendesing dan pukulan tumpul yang selalu diakhiri oleh teriakan kecil kesakitan dari Aiz. Meski begitu, tidak ada tanda-tanda dia akan menyerah.

Aiz tetap berdiri, meskipun tubuhnya mulai penuh memar. Ia menatap Shirou dengan tekad membara, mencoba memahami pola tebasan mematikan itu. Setiap kali ia tersungkur, ia kembali bangkit, menggenggam pedang pendeknya lebih erat, dan melangkah maju.

"Aku bisa melakukannya," gumam Aiz pelan, lebih pada dirinya sendiri. Kali ini, matanya berusaha membaca setiap gerakan kecil yang dilakukan Shirou, mencoba mengantisipasi tiga tebasan simultan yang menjadi ciri khas teknik itu.

Sekali lagi, Shirou memfokuskan dirinya. "Baiklah, kau siap, Aiz?"

Aiz mengangguk tanpa ragu. "Aku siap."

"Tsubame Gaeshi!" seru Shirou, nodachinya melesat menciptakan tiga tebasan cepat sekaligus, seperti melawan ruang dan waktu. Aiz menahan napas, fokusnya berada di puncak.

Tebasan pertama datang dari arah kanan. Aiz berhasil mengangkat pedang pendeknya tepat waktu, membelokkannya ke samping. Tebasan kedua meluncur ke arah perutnya; ia mundur setengah langkah, menghindarinya dengan gerakan nyaris sempurna. Namun, tebasan ketiga, yang lebih cepat dari dua sebelumnya, masih mengenai bahunya, membuatnya mundur dengan wajah meringis.

Aiz terhuyung, tetapi matanya bersinar penuh kemenangan. "Dua... Dua dari tiga!" katanya dengan napas terengah, tetapi jelas bangga.

Shirou tersenyum kecil, melihat perkembangan pesatnya. "Luar biasa, Aiz. Kau mulai memahaminya."

Namun, tanpa memperdulikan rasa sakit, Aiz kembali mengangkat pedang pendeknya. "Lagi," pintanya, suaranya tegas meskipun tubuhnya penuh luka memar.

Shirou menggeleng dengan lembut. "Maaf, Aiz, tapi aku tidak bisa lagi."

Aiz memandangnya dengan bingung, napasnya masih berat. "Aku masih sanggup. Aku belum menyerah," desaknya.

Shirou tersenyum kecil, tetapi kali ini ia terlihat kelelahan. "Ini bukan tentangmu, Aiz. Energi sihirku tidak cukup untuk menggunakan teknik ini lagi. Tsubame Gaeshi menghabiskan banyak prana, dan aku sudah melakukannya berulang kali sampai mencapai batasku."

Mendengar itu, Aiz menunduk sejenak, merenungkan kata-kata Shirou. Meski kecewa, ia paham. Dia mengangkat wajahnya lagi, tersenyum kecil. "Kalau begitu, kita bisa berhenti untuk hari ini."

Shirou mengangguk, meletakkan Monohoshi Zao di lantai dengan hati-hati lalu ia pudarkan menjadi prana. "Kau sudah luar biasa hari ini. Aku yakin, kalau kau terus seperti ini, suatu hari kau bisa menghadapi Revis dengan percaya diri."

Aiz menyimpan pedang pendeknya kembali, rasa lelah akhirnya mulai terasa di tubuhnya. Tapi dalam hatinya, ia merasa sedikit lebih kuat, dan tekadnya semakin mantap untuk menjadi lebih baik lagi.

Shirou memanggul tubuh Aiz yang lemas di bahunya. Meski nodachi yang digunakan untuk latihan sudah ditumpulkan, latihan intensif itu membuat Aiz kelelahan total, dengan tubuh penuh memar. Shirou melangkah mantap menuju Twilight Manor, berpikir untuk segera merawat luka-luka Aiz dengan potion. Napas Aiz terdengar teratur, meskipun tubuhnya menunjukkan seberapa keras ia berusaha sepanjang latihan.

Saat mereka mencapai taman yang terletak di sekitar Manor, matahari mulai menurunkan dirinya, menyelimuti langit dengan warna oranye lembut. Di sana, duduklah Lefiya di sebuah kursi taman, tampaknya baru selesai dari latihan bersama Riveria. Dia mengangkat kepalanya dan langsung terkejut melihat pemandangan di depannya.

"Aiz! Apa yang terjadi?!" serunya, berdiri dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya beralih dari Aiz yang tampak babak belur ke Shirou, yang hanya terlihat berkeringat ringan. Lefiya tahu betapa hebatnya Shirou, tapi ia tak pernah menyangka idolanya, Aiz, bisa berada dalam keadaan seperti ini karena latihan dengannya.

Shirou berhenti sejenak, tersenyum kecil untuk menenangkan Lefiya. "Jangan khawatir. Kami tidak berduel atau semacamnya. Aiz hanya mencoba menghindari teknik yang aku gunakan," jelasnya, suaranya tetap tenang meskipun tubuhnya juga menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

Lefiya menatap Shirou dengan campuran rasa heran dan kagum. Dia tahu bahwa Shirou memiliki banyak senjata legendaris, tetapi kenyataan bahwa dia mampu melatih Aiz hingga seperti ini membuatnya semakin paham akan kemampuan Shirou yang luar biasa. Dengan segera, Lefiya melangkah mendekat dan menawarkan diri. "Aku akan membantumu. Kalau dia terlalu berat, biar aku juga ikut memanggulnya."

Shirou mengangguk, Bersama-sama mereka menopang tubuh Aiz, masing-masing di satu bahu, perlahan menuju Twilight Manor.

"Maaf... merepotkan kalian berdua," ucap Aiz dengan suara pelan, matanya sedikit tertutup, tapi senyumnya tetap lembut.

Lefiya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. "Ini tidak merepotkan sama sekali, Aiz. Kau sudah bekerja keras hari ini," jawabnya dengan tulus.

Shirou hanya tersenyum pelan, melirik Aiz yang tampak berusaha keras untuk tetap terlihat kuat meski jelas-jelas kelelahan. "Kau benar-benar keras kepala, Aiz. Tapi itu yang membuatmu hebat," katanya sambil mempercepat langkah, ingin memastikan mereka segera tiba di Manor untuk mengobati luka-lukanya.