Chereads / Fate x Danmachi: The Sword Prince / Chapter 83 - Chapter 83

Chapter 83 - Chapter 83

Aiz menatap Shirou yang berdiri di depan lingkaran sihir dengan tatapan penuh nostalgia. Ia bisa merasakan sesuatu dalam ekspresi pria itu—sebuah kerinduan yang mendalam, sebuah kehilangan yang sulit dijelaskan. Itu adalah perasaan yang sangat dikenalnya. Ia sering melihat wajah seperti itu di cermin ketika memikirkan kedua orang tuanya yang telah lama tiada. Dengan lembut, ia memberanikan diri untuk berbicara. "Shirou... siapa yang kau panggil dengan lingkaran ini di duniamu dulu?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.

Shirou terdiam sejenak, tatapannya tidak beralih dari lingkaran. Kemudian, dengan helaan napas kecil, ia menjawab, "Dia adalah Saber. Servant-ku saat perang Holy Grail." Ia memalingkan wajahnya ke arah Aiz dan Riveria yang tampak mendengarkan dengan penuh perhatian. "Aku sudah pernah bercerita tentang perang itu, bukan? Perang untuk memperebutkan Holy Grail. Saber adalah ksatria yang aku panggil untuk membantuku dalam perang itu."

Riveria mengangguk pelan, mengingat penjelasan Shirou yang dulu. "Lalu... apakah lingkaran ini bisa memanggilnya lagi?" tanyanya, menatap pola di tanah dengan rasa ingin tahu.

Shirou tersenyum lemah, menggeleng pelan. "Tidak. Di dunia ini, tidak ada Holy Grail sebagai media penghubung. Lingkaran ini hanya menjadi simbol. Sebuah kenangan dari masa lalu. Tanpa Grail, ritual ini tak ada gunanya," jelasnya, suaranya penuh dengan campuran kepasrahan dan penghormatan terhadap sesuatu yang pernah ia alami.

Riveria mencondongkan tubuhnya sedikit, rasa penasarannya semakin besar. "Kalau begitu, bagaimana caramu dulu melakukan ritual ini? Apa itu ritual yang rumit?" tanyanya penuh antusias.

Shirou tertawa kecil, menggaruk bagian belakang kepalanya dengan canggung. "Rumit? Sebenarnya... aku melakukannya secara tidak sengaja," jawabnya, sedikit malu. "Waktu itu aku dikejar oleh seorang musuh yang dikenal sebagai Lancer. Dalam keputusasaan, aku terluka dalam lingkaran ini. Dan tiba-tiba, Saber muncul di depanku. Dia bertanya padaku, 'Kutanya padamu, apakah kau Master-ku?' Suaranya begitu tenang, tetapi penuh otoritas."

Aiz menatap Shirou dengan perasaan ingin tahu. "Bagaimana penampilan Saber? Apakah dia seperti ksatria dalam cerita-cerita dongeng?" tanyanya, mencoba membayangkan sosok Saber dalam pikirannya.

Shirou tersenyum, tatapannya dipenuhi rasa hangat saat ia mengingat Saber. "Penampilannya luar biasa. Rambut pirangnya dipotong pendek dan disanggul, seperti seorang prajurit sejati. Dia mengenakan zirah perak dan biru yang terlihat gagah, seolah-olah dia adalah ksatria dari legenda. Tapi ada satu hal..." Shirou melirik Aiz, seolah mencoba membandingkan sesuatu. "Dia... mirip denganmu, Aiz."

Aiz terkejut mendengar itu, meski wajahnya tetap tenang. "Mirip denganku?" tanyanya, menatap Shirou dengan tatapan ingin tahu.

"Ya," jawab Shirou sambil mengangguk. "Wajahnya, rambutnya... sangat mirip denganmu. Hanya saja, ada perbedaan pada mata. Matamu berwarna emas, sementara matanya hijau. Dan Saber memiliki aura yang berbeda. Aura seorang raja. Bahkan dalam kesederhanaannya, dia selalu membawa keagungan dalam setiap langkahnya."

Riveria dan Aiz terdiam sejenak, merenungkan penjelasan Shirou. Dalam hati, masing-masing dari mereka membayangkan sosok Saber yang begitu hidup di mata Shirou, seorang ksatria yang tak hanya menjadi pendamping, tetapi juga simbol dari perjuangan dan kenangan masa lalunya.

Aiz memandang Shirou dengan tatapan penuh tekad. Setelah beberapa saat berpikir, ia melangkah maju dan berdiri di tengah lingkaran pemanggilan yang digambar Shirou di tanah. Dengan penuh percaya diri, ia berkata, "Shirou, aku akan menjadi Saber-mu."

Shirou menatapnya dengan senyum kecil di wajahnya, penuh rasa heran. "Bukankah aku sudah bilang, lingkaran ini tidak berguna di dunia ini?" jawabnya sambil sedikit mengangkat bahu.

Namun, Aiz menggelengkan kepala, wajahnya tetap serius. "Aku tahu," katanya pelan. "Tapi ini hanya untuk memberikanmu sedikit kenangan. Untuk menghiburmu, Shirou."

Riveria yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka, menyisipkan saran dengan lembut, "Kalau begitu, bagaimana kalau kau menggunakan mantra aslinya? Supaya suasananya terasa lebih nyata."

Shirou menghela napas pelan, tampak sedikit canggung. "Mantra asli? Aku sebenarnya tidak pernah benar-benar menggunakannya," ungkapnya, menggaruk belakang kepalanya. "Tapi temanku, Rin, pernah memberitahuku versi mantranya."

Dengan napas dalam-dalam, Shirou berdiri di depan lingkaran. Ia mengangkat tangannya dan mulai melantunkan mantra dengan nada yang dalam dan mantap. Kata-katanya mengalir seperti nyanyian kuno, penuh dengan kekuatan dan tekad:

"Steel and fire to the origin. Blade and the forge of ideals to the cornerstone.

The shadow of the hero echoes through eternity.

The tempered wind becomes a shield. The gates in the four directions close, forming the foundation, the path of steel that leads to the throne resounds.

Seal (forge).

Seal (forge).

Seal (forge).

Seal (forge).

Seal (forge).

Repeat with every strike of the hammer.

Simply, break the chains once tempered.

――――I declare.

Your blade is mine to wield, my resolve is in your edge.

By the call of the Holy Grail, if you hold to this purpose, this vow, then manifest.

Here is my pledge.

I am the one who becomes the sword of the world's salvation,

I am the one who endures as the shield of the world's despair.

You, seven heavens clad in three words of power,

arise from the circle of eternity,

O keeper of the eternal flame ―――!"

Begitu Shirou menyelesaikan mantranya, lingkaran pemanggilan mulai bersinar hijau terang, membanjiri area itu dengan cahaya yang memukau. Asap tipis muncul di sekeliling Aiz, mengelilinginya dengan suasana misterius.

Namun, tak ada apa-apa yang terjadi setelah itu. Meski begitu, Aiz tersenyum kecil. Dengan gerakan anggun, ia menghunuskan pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Dengan nada rendah yang penuh semangat, ia berkata, "Kutanya padamu, apakah kau Master-ku?"

Shirou tertegun. Dalam sekejap, kenangan tentang Saber melintas di benaknya. Sosok Aiz yang berdiri gagah di tengah lingkaran, dengan rambut pirangnya yang berkilauan di bawah cahaya pagi, begitu mirip dengan Saber. Namun, ada perbedaan—mata emas Aiz yang tajam dan penuh tekad menggantikan mata hijau Saber yang dipenuhi keagungan seorang raja. Shirou tidak bisa berkata-kata, hatinya bergetar oleh nostalgia yang mendalam. "Saber..." bisiknya dalam hati, meski ia tahu yang ada di hadapannya adalah Aiz.

Riveria, yang sejak tadi menyaksikan dari pinggir, tersenyum kecil, memahami bahwa meskipun ritual ini hanya sebuah permainan, ia telah berhasil membawa Shirou kembali kepada kenangan berharga yang telah lama ia simpan.

Riveria bertepuk tangan dengan lembut, senyum kecil menghiasi wajah anggunnya. "Menarik sekali," katanya dengan nada puas. "Ini pertama kalinya aku mendengar kau menggunakan mantra sepanjang itu, Shirou. Biasanya kau hanya mengatakan Trace on atau bahkan tidak mengucapkan apa-apa sama sekali."

Shirou menggaruk belakang kepalanya, sedikit tersenyum malu. "Yah, itu karena mantra dalam magecraft berbeda dengan sihir di dunia ini," jawabnya. Ia melipat tangannya, menatap Riveria dan Aiz dengan serius. "Mantra dalam magecraft sebenarnya sangat fleksibel. Setiap magus bisa menyesuaikannya agar sesuai dengan gaya dan kemampuan mereka sendiri. Tidak seperti sihir di dunia ini yang tampaknya sangat terstruktur dan kaku."

Riveria mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. "Jadi, fleksibilitas itu memungkinkan kreativitas, ya?" tanyanya dengan antusias.

Shirou mengangguk. "Benar. Tapi penjelasannya cukup panjang dan mungkin lebih baik kita bahas di pelajaran berikutnya," tambahnya sambil tersenyum kecil. "Aku tidak ingin membanjirimu dengan terlalu banyak teori dalam satu hari."

Aiz, yang berdiri tidak jauh, tiba-tiba mendekat. Wajahnya yang biasanya tenang menunjukkan sedikit rasa ingin tahu. "Aku merasa... sesuatu," katanya pelan. "Saat kau mengucapkan mantra itu, aku seperti terhubung denganmu. Hanya sesaat, tapi rasanya nyata."

Shirou memandang Aiz dengan alis terangkat. "Terhubung?" tanyanya.

Riveria memiringkan kepalanya, tampak berpikir. "Mungkin Aiz benar-benar bisa menjadi servant-mu," katanya sambil setengah bercanda, meskipun ada nada serius di balik kata-katanya.

Shirou langsung menggeleng, tertawa kecil. "Itu tidak mungkin," katanya. "Tubuh makhluk hidup memiliki penolakan alami untuk menjadi familiar bagi orang lain, terutama seseorang seperti Aiz yang sudah level 6. Kemungkinan itu terjadi sangat kecil."

Aiz terlihat bingung. "Kenapa berbeda dengan Heroic Spirit?" tanyanya dengan nada penasaran.

"Karena Heroic Spirit sebenarnya sudah mati," jelas Shirou dengan sabar. "Mereka tidak lagi memiliki tubuh fisik seperti kita. Mereka dipanggil melalui Grail sebagai entitas yang terikat pada kontrak. Jadi, dalam kasus mereka, tidak ada konflik alami antara tubuh dan kontrak tersebut." Ia tersenyum tipis. "Berbeda dengan kita yang masih hidup."

Riveria tertawa kecil, menyadari bahwa penjelasan Shirou sangat logis. "Aku mengerti sekarang," katanya. "Tapi tetap saja, gagasan itu cukup menarik, bukan?"

Aiz menatap Shirou sejenak sebelum tersenyum tipis, meskipun tak banyak yang berubah dari ekspresi wajahnya. "Menarik," gumamnya pelan. "Tapi aku rasa aku lebih suka menjadi diriku sendiri."

Shirou tersenyum lembut. "Dan itu lebih dari cukup," jawabnya dengan nada penuh penghargaan.

Berbeda dengan Aiz, Riveria tiba-tiba mengambil inisiatif. Dengan langkah anggun, ia berjalan ke tengah lingkaran pemanggilan yang telah Shirou buat dan duduk bersila di sana. Mantelnya melambai sedikit sebelum rapi menyelimuti kakinya. Shirou memandangnya dengan bingung, alisnya terangkat.

"Riveria, kenapa kau duduk di sana?" tanyanya dengan nada ingin tahu.

Riveria menoleh padanya dengan senyuman kecil, anggun seperti biasa. "Seperti yang kau bilang tadi, Shirou. Magecraft itu fleksibel. Jadi, bagaimana kalau kau mencoba mengubah mantramu? Fokuskan niatmu untuk menjadikanku servant-mu," ujarnya tenang, seolah-olah itu adalah hal yang sepele.

Aiz yang berdiri di tepi lingkaran tampak ragu. "Tapi… bukankah itu berbahaya?" katanya pelan, nada suaranya mengkhawatirkan.

Di dalam hatinya, Riveria merasakan gelombang rasa penasaran yang membuncah. Inilah alasan kenapa aku meninggalkan hutan kerajaan dan statusku sebagai putri. Aku ingin melihat keajaiban yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Aku ingin merasakan hal-hal yang melampaui batas pengetahuan kita tentang sihir. Ia menarik napas dalam, tekadnya semakin bulat.

"Aku pikir kemungkinan terburuknya hanya aku menjadi servant-mu," ujar Riveria dengan nada ringan, meskipun kata-katanya membawa implikasi besar.

Shirou melipat tangan di dadanya dan memandangnya dengan tatapan ragu. "Kau tidak takut? Seorang Master biasanya memiliki tiga Command Seal, perintah mutlak yang tak bisa ditolak oleh servant-nya. Itu berarti aku bisa menyuruhmu melakukan apa saja," katanya, mencoba membuatnya berpikir ulang.

Riveria hanya menghela napas sambil mengangkat bahu. "Kau itu orang yang terlalu sopan untuk memanfaatkan sesuatu seperti itu, Shirou. Paling-paling kau akan menggunakan perintah untuk mengajakku piknik ke lantai 18, seperti dulu waktu aku kalah taruhan darimu saat lomba memanah monster."

Aiz mengerutkan kening, bingung. "Lomba memanah monster? Piknik? Aku tidak pernah mendengar cerita itu," ujarnya dengan nada penasaran, matanya bergantian memandang Riveria dan Shirou.

Shirou tersenyum malu, kemudian berdehem untuk mengalihkan perhatian. "Baiklah, aku akan mencoba memikirkan mantranya dulu," katanya, mengalihkan pembicaraan sambil mengusap dagunya dengan berpikir serius.

Riveria menutup matanya dengan tenang, menunggu Shirou memutuskan langkah selanjutnya. Sementara Aiz masih berdiri di samping mereka, penuh rasa ingin tahu dan sedikit khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Shirou akhirnya menghela napas panjang dan mulai merapalkan mantra yang telah ia ubah. Suaranya tenang tetapi penuh dengan ketegasan, setiap kata keluar dari bibirnya seperti denting palu di atas besi yang panas.

"Steel and resolve to the origin. Blade and the forge of bonds to the cornerstone.

By my will, the unbroken path of ideals shall serve as the foundation.

The tempered wind becomes a chain.

The circle closes, drawing forth the light of the throne.

Seal (bind).

Seal (bind).

Seal (bind).

Seal (bind).

Seal (bind).

Repeat with each oath made.

Simply, break the limits once bound.

――――I proclaim.

Your life is under my command, your blade is guided by my resolve.

By the bond forged in steel, if you accept this purpose, this pledge, then manifest.

Here is my declaration.

I am the one who will carry your ideals.

I am the one who stands as your anchor to this world.

You, spirit forged in eternity, arise as my blade and shield,

O guardian of this contract ―――!"

Lingkaran pemanggilan di bawah Riveria mulai memancarkan cahaya lembut, seakan-akan memberi respons terhadap mantra Shirou. Riveria tiba-tiba merasakan sebuah tarikan halus di dalam dirinya. Tarikan itu seperti benang tak terlihat yang menghubungkan prana Shirou dengan miliknya.

Ia tidak menolaknya. Sebaliknya, ia mulai mengaktifkan magic circuit-nya sendiri, mencoba memperkuat hubungan itu. Namun, usahanya tidaklah mudah. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, dan tarikan itu semakin terasa kuat, nyaris menyakitkan. Meskipun begitu, ia tidak menyerah, fokusnya tetap pada menjaga benang prana itu tetap utuh.

Namun, seperti seutas benang yang terlalu kencang tertarik, koneksi itu akhirnya putus. Riveria membuka matanya perlahan, napasnya terengah-engah tetapi tetap tenang.

Shirou mendekat, mengulurkan tangannya untuk membantu Riveria berdiri. "Kelihatannya eksperimen kita gagal, ya," katanya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan suasana.

Riveria membuka matanya dan menggeleng pelan. "Tidak sepenuhnya gagal," katanya sambil menyeka keringat dari pelipisnya. "Aku merasakan tarikan yang nyata, Shirou. Seolah ada sesuatu yang hampir terhubung antara kita. Mungkin ada batasan dalam kekuatan makhluk yang bisa dijadikan servant. Jika itu makhluk yang jauh lebih lemah, mungkin saja metode ini berhasil."

Shirou memandang Riveria dengan penuh perhatian, mempertimbangkan kata-katanya. "Jadi, kau pikir, ada kemungkinan metode ini berhasil pada makhluk yang tidak memiliki perlawanan alami terhadap kontrak seperti ini?"

Riveria mengangguk. "Aku rasa begitu. Dan itu adalah sesuatu yang patut kita pelajari lebih lanjut."

Shirou menghela napas dalam, lalu tersenyum kecil. "Aku tidak yakin harus senang atau kecewa. Tapi aku akui, ini pengalaman yang menarik."

Aiz, yang diam-diam mengamati dari samping, hanya mengangguk kecil, meskipun pikirannya terus bertanya-tanya tentang potensi metode ini dan kemungkinan risiko di masa depan.

Matahari pagi semakin tinggi, cahayanya menyinari padang rumput tempat mereka berlatih. Sinar lembut itu menghangatkan tubuh Riveria yang masih berdiri di tengah lingkaran pemanggilan, seolah memberi tanda bahwa waktu latihan mereka telah usai. Shirou melihat ke arah langit yang cerah dan tersenyum kecil. "Sepertinya waktu kita sudah habis," katanya dengan nada lembut namun tegas.

Riveria mengangguk, menyapu peluh di dahinya dengan ujung jarinya. "Latihan hari ini cukup menarik," katanya, puas dengan kemajuan yang telah ia rasakan. "Terima kasih atas waktumu, Shirou. Magecraft benar-benar dunia yang penuh kejutan."

Shirou membalas anggukan Riveria, lalu mulai bekerja untuk merapikan segala sesuatu yang mereka gunakan. Dengan satu sapuan tangannya dan sedikit fokus, magic stones, metallic paint, dan sikat kuas yang mereka gunakan sebelumnya memudar perlahan, berubah menjadi prana yang kembali menyatu dengan udara. Tidak ada jejak yang tersisa, seolah mereka tidak pernah ada di sana.

Aiz, yang memperhatikan proses tersebut, mengangkat alisnya dengan sedikit rasa takjub. "Praktis sekali," ujarnya. "Awalnya aku pikir aku akan melihat Riveria sibuk membersihkan semuanya."

Shirou menoleh ke arah Aiz dan tersenyum kecil. "Itulah salah satu guna Magecraft. Kadang-kadang, ia memang membuat hidup sedikit lebih mudah," jawabnya sambil menyelesaikan pekerjaan terakhirnya. Setelah itu, ia mengalihkan pandangannya ke arah kedua wanita tersebut. "Aku akan ke dapur sekarang. Lefiya pasti sudah menungguku untuk memasak sarapan."

Riveria melirik ke arah Shirou dan tersenyum kecil. "Kalau begitu, mari kita kembali ke Manor bersama. Aku juga ingin bersiap-siap untuk hari ini."

Aiz mengangguk setuju, mengambil posisi di sisi kanan Shirou sementara Riveria berada di sisi kirinya. Ketiganya berjalan bersama, melintasi jalan setapak yang mengarah kembali ke Manor. Suasana di antara mereka terasa nyaman, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang tenang dan cuitan burung pagi yang menemani perjalanan mereka. Meskipun latihan telah berakhir, rasa kebersamaan itu tetap tersisa, menyelimuti mereka seperti pagi yang cerah ini.

Dalam perjalanan kembali ke Manor, suasana santai di antara mereka berlanjut. Namun, Riveria tiba-tiba melirik Shirou dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Shirou," ia memulai dengan nada serius, "kalau Aiz tadi cocok menjadi Saber, menurutmu, apakah aku cocok menjadi Caster?"

Shirou terdiam sejenak, pikirannya langsung teringat pada Caster yang pernah ia lawan di Holy Grail War. Sosok itu memiliki telinga panjang yang menyerupai seorang elf, tapi entah mengapa Shirou merasa bahwa Caster itu bukanlah elf sejati. "Menarik," katanya akhirnya. "Caster yang pernah kulawan memang memiliki telinga seperti elf, tapi aku ragu dia benar-benar seorang elf."

Riveria tersenyum tipis, lalu menjelaskan lebih lanjut. "Yang kumaksud bukan tentang ras atau kemiripan fisik. Maksudku, apakah aku cocok dengan class Caster sebagai seorang servant?"

"Ah," Shirou tertawa kecil, menyadari kesalahpahamannya. "Ya, ya, aku mengerti sekarang. Kalau penyihir terkuat di Orario tidak cocok menjadi Caster, aku tidak tahu siapa lagi yang bisa."

Pujian itu membuat Riveria tersenyum bangga, rona tipis terlihat di wajahnya. "Kalau begitu," lanjutnya dengan nada penuh semangat, "kalau aku dipanggil dalam class lain, menurutmu apa yang cocok?"

Shirou mengerutkan alisnya, berpikir sejenak. "Hmm… Mungkin Archer," jawabnya akhirnya. "Aku tahu kau cukup mahir memanah. Walaupun, tentu saja, kau kalah dariku saat lomba memanah monster sebelumnya."

Riveria tersenyum mendengar komentar itu, tetapi sebelum ia sempat membalas, suara pelan Aiz terdengar dari samping Shirou. "Lebih cocok jadi Berserker kalau sedang marah," gumamnya, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Aiz kemudian terdiam, pikirannya melayang ke masa kecilnya. Ia mengingat sebuah kejadian ketika ia dengan keras kepala memanggil Riveria "nenek tua." Akibatnya, Riveria yang marah melemparnya ke kolam, meninggalkan trauma yang membuat Aiz tidak pernah nyaman berada di air.

Namun, telinga tajam Riveria, yang diperkuat dengan Reinforcement, menangkap bisikan itu dengan jelas. Ia berbalik sedikit, matanya menyipit. Dengan nada tenang tapi penuh ancaman, ia berkata, "Aiz, bisakah kau ulang apa yang barusan kau katakan?"

Wajah Aiz langsung memucat, menyadari bahwa bisikannya didengar. "Ma-maafkan aku, Riveria!" katanya cepat, sambil menunduk dalam-dalam.

Riveria hanya menghela napas panjang, tetapi ada sedikit senyum licik di wajahnya. "Hati-hati dengan kata-katamu, Aiz. Jangan sampai aku perlu mengulang pelajaranmu dulu."

Shirou, yang mendengar interaksi mereka, hanya tertawa kecil. "Sepertinya class Berserker itu bukan ide yang buruk," ujarnya sambil terus berjalan, meninggalkan Aiz dan Riveria yang masih saling menatap dengan campuran perasaan.