Setelah serangan terakhirnya menghancurkan Corrupted Spirit, Shirou berdiri dengan napas tersengal, menatap abu yang berhamburan dari makhluk itu. Sekelilingnya mulai dipenuhi teman-temannya yang mendekat dengan wajah lega dan gembira. Tiona bahkan melompat kecil sambil berkata penuh semangat, "Kita berhasil! Kemenangan besar ini berkat Shirou!"
Gareth yang mendekati Shirou dari belakang, menepuk bahunya dengan lembut sambil tersenyum puas. "Anak muda, kau benar-benar mengagumkan. Kau membawa kami ke kemenangan," katanya dengan nada bangga.
Tetapi, Shirou tidak merespons. Pandangannya perlahan menjadi buram. Suara-suara di sekelilingnya terdengar semakin jauh, seperti ditelan oleh kegelapan. Tubuhnya terasa lemah, dan energinya seperti tersedot habis dari tubuhnya. "Maaf... sepertinya aku...," gumamnya sebelum pandangannya sepenuhnya gelap.
Sebelum Shirou sempat terjatuh ke tanah, Gareth dengan sigap menangkap tubuhnya. Menyadari kondisi Shirou yang pingsan, Gareth menggendongnya dengan penuh hati-hati. Dengan suara pelan, ia berkata, "Kau telah berjuang keras, anak muda. Istirahatlah sekarang."
Tione, yang melihat keadaan Shirou, mendekat dengan ekspresi khawatir. "Apa yang terjadi padanya? Apa dia baik-baik saja?" tanyanya, matanya penuh kekhawatiran.
Gareth menghela napas sambil memandang wajah Shirou yang tenang dalam pingsannya. "Dia kehabisan energi. Pahlawan kecil ini terlalu memaksakan dirinya. Tetapi dia akan baik-baik saja dengan sedikit istirahat," jawab Gareth dengan nada menenangkan.
Tiona dan Tione saling pandang, merasa lega meskipun masih ada sisa-sisa kecemasan di wajah mereka. Tiona menambahkan, "Dia benar-benar terlalu keras pada dirinya sendiri. Tapi itu Shirou... dia tidak akan berhenti sebelum memastikan kita semua selamat."
Lalu mereka semua memutuskan untuk mengistirahatkan Shirou dan bersiap membawa kembali kabar kemenangan mereka kepada Loki Familia yang menunggu di luar Knossos.
Gareth memindahkan tubuh Shirou dengan hati-hati ke bahunya, seolah memanggul karung goni. Ia memutar badannya untuk memastikan keseimbangan, lalu dengan suara berat berkata, "Raul, kau pimpin jalan. Pastikan kita keluar dari tempat terkutuk ini." Suaranya tegas, tetapi ada nada kelelahan yang samar.
Raul mengangguk cepat, mengambil posisi di depan. "Baik, aku akan memandu. Jalan ini sudah kuhafal bersama Aki tadi," katanya sambil mulai membuka jalan. Ia mengeluarkan kunci berbentuk bola dari sakunya, dan dengan cekatan membuka pintu Orichalcum yang mereka temui di sepanjang jalan. Setiap kali pintu terbuka, seluruh kelompok bergerak melewatinya dengan cepat, dan pintu itu menutup kembali secara otomatis di belakang mereka, seolah melindungi dari ancaman yang mungkin mengejar.
Sepanjang perjalanan, mereka menemukan bekas pertempuran. Mayat anggota Evilus tersebar di beberapa sudut, bersama dengan magic stone yang dijatuhkan oleh monster Violas yang telah mereka kalahkan sebelumnya. Cruz dan Narvi tanpa ragu memunguti magic stone tersebut, memasukkannya ke dalam tas mereka dengan ekspresi serius. Mereka tahu bahwa setiap sumber daya akan sangat membantu Familia mereka nanti.
Tione melirik mayat Evilus dengan ekspresi tajam dan berkomentar, "Untung saja selama perjalanan ini kita belum menemukan mayat teman-teman kita." Ucapannya terdengar lega, tetapi juga memancarkan kekhawatiran.
Tiona yang berada di dekatnya langsung melompat kecil sambil protes, "Hei! Jangan ngomong hal-hal yang buat sial begitu!" Ekspresinya cemas, tetapi Tione hanya menatapnya dengan datar.
"Itu kan hal yang bagus," balas Tione dengan nada ringan, seolah tidak mengerti kenapa Tiona kesal. Pertengkaran kecil mereka membuat suasana menjadi sedikit lebih santai, walaupun Cruz dan Narvi hanya bisa saling pandang sambil mengangkat bahu, tak ingin ikut campur.
Akhirnya, Raul berhenti di depan sebuah tangga yang menjulang ke atas. Ia menoleh ke arah Gareth dan berkata, "Ini dia, tangga ke lantai atas. Dari sini kita hampir keluar." Wajahnya menunjukkan sedikit rasa lega, meskipun tetap waspada.
Gareth menyesuaikan posisinya, memastikan Shirou tetap kokoh di bahunya. "Akan ada sedikit guncangan, jadi tahan saja. Aku tak bisa menjanjikan perjalanan yang mulus," katanya sambil mulai menaiki tangga. Shirou, yang masih tak sadarkan diri, tetap diam, sementara langkah berat Gareth menggema di lorong itu.
Kelompok itu terus bergerak ke atas, meninggalkan kegelapan Knossos, dengan harapan bahwa mereka akan segera bertemu dengan anggota Loki Familia lainnya yang menunggu di luar.
Perjalanan keluar dari Knossos terasa jauh lebih lancar dibandingkan saat mereka masuk. Meskipun masih harus berhati-hati, tidak ada jebakan yang menghadang, dan semua pintu Orichalcum yang sebelumnya tertutup kini mudah dilalui dengan bantuan kunci berbentuk bola.
Ketika mereka mencapai pintu keluar Knossos, Tione langsung melihat cahaya terang dari luar dan tanpa ragu berlari keluar. Wajahnya terlihat penuh dengan rasa cemas yang telah lama dipendam. "Kapteeeen!" serunya dengan nada penuh emosi, matanya mulai memerah karena air mata.
Di luar, pemandangan yang berbeda dari saat mereka masuk terbentang. Para anggota Loki Familia yang terluka terbaring di tempat-tempat yang telah disiapkan, sementara healer dari Dian Cecht Familia sibuk memberikan perawatan. Riveria berdiri di tengah-tengah, memberikan arahan kepada para healer dari Loki Familia, dibantu oleh Lefiya dan Linne yang mondar-mandir membawa ramuan dan perlengkapan medis.
Tione menemukan Finn duduk menyandar pada dinding batu, wajahnya pucat tetapi matanya sudah terbuka, menatap dengan tenang ke arah keramaian. Tanpa berpikir panjang, Tione langsung memeluknya erat, tubuhnya sedikit gemetar. "Kapten... aku senang kau baik-baik saja," ucapnya dengan suara bergetar, air matanya mulai mengalir deras.
Finn hanya bisa menerima pelukan itu dengan senyuman canggung. "Aku baik-baik saja, Tione. Terima kasih," katanya dengan nada menenangkan, meskipun dari raut wajahnya terlihat bahwa dia menahan rasa sakit.
Airmid seorang healer terkemuka dari Dian Cecht Familia yang sedang memeriksa Finn, langsung berdiri dengan wajah berang. "Hei, pelan-pelan! Finn belum sembuh sepenuhnya!" tegurnya dengan nada keras, sambil melangkah maju untuk memisahkan Tione dari Finn.
Tione segera mundur dengan wajah panik, baru menyadari bahwa pelukannya yang penuh emosi tadi telah membuat Finn kesakitan. "Maaf! Maaf, Kapten... Airmid... aku tak sengaja," ujarnya sambil membungkuk berkali-kali, tampak sangat menyesal.
Airmid menghela napas panjang. "Jaga emosi dan lihat keadaan dulu sebelum bertindak. Kami masih bekerja di sini," katanya dengan nada tegas tetapi tidak bermaksud kasar. Tione mengangguk cepat, mundur ke belakang dengan wajah penuh rasa bersalah.
Finn meskipun kesakitan, hanya tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Tione. Aku tahu kau hanya khawatir," ucapnya, mencoba menenangkan rekannya yang tampak seperti anak kecil yang baru dimarahi.
Tione tersenyum tipis meskipun wajahnya masih sedikit memerah karena malu, lalu bergabung dengan yang lain untuk membantu di tempat perawatan darurat.
Setelah itu, Gareth keluar dari Knossos bersama kelompoknya, memanggul Shirou di bahunya yang tampak tidak sadarkan diri. Mereka bergerak dengan langkah mantap, menandakan kemenangan meskipun wajah-wajah lelah menghiasi kelompok tersebut.
Di luar, Riveria yang tengah memantau kondisi para anggota Loki Familia yang terluka langsung menoleh ketika melihat Shirou yang dipanggul seperti karung oleh Gareth. Wajah tenangnya seketika berubah menjadi panik, dan dia segera menghampiri. "Apa yang terjadi pada Shirou?" tanyanya dengan nada cemas, matanya mengamati tubuh Shirou yang tidak bergerak.
Lefiya dan Aiz juga mendekat, ekspresi khawatir tergambar jelas di wajah mereka. "Shirou baik-baik saja, kan?" tanya Lefiya dengan nada gugup, sementara Aiz hanya diam tetapi matanya tak lepas dari sosok Shirou.
Gareth menenangkan mereka dengan suara beratnya. "Tenang saja, dia hanya kehabisan energi sihir dan mengalami mind down. Tidak ada cedera parah." Gareth menurunkan Shirou perlahan ke atas tandu yang sudah disiapkan oleh Linne dan Raul.
"Mind down?" pikir Riveria dalam hati, alisnya berkerut. "Bagaimana bisa dia kehabisan energi sihir?" Bagi Riveria, itu sulit dipercaya mengingat Shirou smampu memprojeksikan puluhan ribu pedang buatan pandai besi Hephaestus Familia sebelum kehabisan energi sihir. Namun, dia memilih untuk tidak mengungkapkan keraguannya di depan anggota lainnya.
Tiona melangkah maju dengan ekspresi penuh semangat, meskipun tubuhnya tampak lelah. "Riveria, kau tahu? Shirou itu luar biasa! Dia memunculkan tombak merah yang menakutkan! Dan—" Tiona mengambil ancang-ancang dengan meniru gerakan lemparan tombak, lalu dengan nada berlebihan berteriak, "Gae Bolg! Duarrr! Monster banteng itu langsung tamat!" kata Tiona sambil tersenyum bangga seperti anak kecil yang baru selesai menceritakan petualangan.
Airmid yang sedang sibuk mengobati salah satu anggota Loki Familia yang terluka, langsung menoleh dengan tatapan tegas. "Diam sedikit, Tiona! Kami sedang bekerja di sini," tegurnya, membuat Tiona tertawa kecil dan meminta maaf sambil menggaruk kepala.
Riveria menggeleng pelan dan mendekati Tiona. "Sstt... Jangan ribut. Kau lupa Shirou ingin menyembunyikan kekuatannya?" bisiknya sambil melirik ke arah para healer dari Dian Cecht Familia. Beruntung, mereka tampak sibuk dengan tugas masing-masing dan tidak terlalu memperhatikan cerita Tiona.
Setelah memastikan situasi aman, Riveria menghela napas lega, lalu berdiri dengan tangan menyilang, memandang Shirou yang terbaring di tandu dengan ekspresi penuh pertanyaan di pikirannya.
Tidak ada seorang pun dari Loki Familia yang menyadari bahwa cerita Tiona tadi didengar dengan seksama oleh seseorang yang berdiri tepat di belakang Lefiya. Sosok itu tidak menunjukkan ekspresi terkejut atau keterlibatan yang mencolok. Seperti karakter figuran, dia berdiri tenang dengan wajah tanpa emosi, seolah sekadar bagian dari kerumunan.
Namun, sosok itu bukanlah orang biasa. Dia adalah Filvis Challia, kapten dari Dionysus Familia. Tidak banyak yang tahu bahwa Filvis yang berdiri di sana sebenarnya adalah klon yang dihasilkan dari sihir khusus bernama Einsel. Tubuh aslinya, Ein, berada jauh di pusat markas utama Evilus, tepat di tengah-tengah Knossos.
Filvis, klon ini, berfungsi sebagai mata-mata bagi Evilus. Setiap informasi yang dia dengar, terutama sesuatu yang penting seperti kemampuan Shirou yang disebutkan Tiona tadi, langsung dikirimkan ke tubuh aslinya melalui koneksi sihir yang mereka miliki.
Tetapi mendengarkan percakapan ini membawa rasa bersalah yang menusuk ke dalam hati Filvis. Hanya beberapa waktu lalu, dia telah berjanji pada Lefiya untuk mendukung cinta gadis itu kepada Shirou. Sekarang, dengan dingin dan diam-diam, dia memata-matai Lefiya dan orang yang dia sukai demi Evilus. Kepedihannya meluap seperti api dingin yang membakar hatinya.
Merasa kotor, hina, dan penuh rasa bersalah, Filvis menundukkan kepalanya ke lantai. Pikirannya berkecamuk dengan perasaan bersalah yang tidak bisa dia ungkapkan pada siapa pun. Matanya memandang kakinya sendiri, seolah mencari jawaban di lantai berdebu itu. "Lefiya... Maafkan aku," bisiknya dalam hati, suaranya bergetar oleh beban pengkhianatan yang dia bawa.
Tetapi, kewajiban pada Dionysus, kekuatan yang mengendalikan kehidupannya, memaksa Filvis tetap berdiri di sana, berusaha tidak menarik perhatian, meski hatinya berteriak dalam konflik batin.
Filvis menatap Shirou yang terbaring di tandu, wajahnya tetap tenang meskipun berada dalam keadaan pingsan. Ada sesuatu yang mengguncang hati Filvis saat dia memandangnya. Di balik ketenangan itu, Filvis bisa merasakan kemiripan yang mendalam antara dirinya dan Shirou. Mereka berdua membawa beban berat Survivor's Guilt—menjadi satu-satunya yang selamat dari tragedi mengerikan yang telah menghancurkan dunia mereka.
Dia tahu, Shirou yang sekarang tak sadarkan diri itu telah mendorong dirinya hingga batas terakhir. Semua itu dilakukan untuk menyelamatkan orang lain, sebagai bentuk nyata dari janji masa kecilnya kepada ayahnya, Kiritsugu Emiya, untuk menjadi seorang pahlawan yang tak pernah menyerah. Sebuah idealisme yang terlalu indah, tetapi juga begitu menyakitkan bagi yang menjalaninya.
Namun, di sinilah letak perbedaan mereka. Filvis, saat tragedi menghancurkan hidupnya, telah diselamatkan oleh dewa Dionysus. Dia, yang telah menjadi makhluk menjijikkan setengah monster—Creature—tidak ditolak oleh Dionysus. Sang dewa menerima dirinya, bahkan menyebut Filvis cantik di tengah kebencian Filvis terhadap dirinya sendiri. Tetapi Filvis tahu, di balik semua itu, Dionysus bukanlah dewa penyelamat sejati.
Dialah Dionysus, dewa yang, di balik topeng kebaikan dan keramahan, menikmati penderitaan yang dialami oleh mereka yang mengikutinya. Filvis tahu, setiap kata lembut yang keluar dari mulut Dionysus hanyalah sarana untuk melihat orang lain terpuruk lebih dalam. Baginya, penderitaan adalah hiburan.
Sebuah pikiran melintas di benaknya. Bagaimana jika dulu, saat dunianya hancur, dia bukan diselamatkan oleh Dionysus tetapi oleh seseorang seperti Kiritsugu? Akankah dia menjadi seperti Shirou, seorang yang teguh pada idealisme dan berjuang menjadi pahlawan bagi orang lain? Filvis terdiam, membayangkan kemungkinan yang tak pernah ada.
Namun, dengan cepat dia menggelengkan kepala. Itu hanya angan-angan kosong. "Tidak ada gunanya memikirkan sesuatu yang tidak pernah terjadi," gumamnya pada dirinya sendiri. Kenyataannya adalah sekarang dia adalah pelayan Dionysus, seorang alat yang digunakan untuk menjalankan kehendak sang dewa. Tangan Filvis telah ternoda, dan akan terus ternoda, karena itulah jalan yang telah dia pilih.
Dia menarik napas dalam, menenangkan kegelisahannya. Di dalam hati, dia merasa perih, tetapi juga tegas. Tatapannya kembali pada Shirou, yang tetap berbaring dalam keheningan, membawa kedamaian kecil di tengah hiruk-pikuk pertarungan dan pengkhianatan yang selalu mengelilingi Filvis. Dalam hati, Filvis berbisik, "Mungkin kau memang pahlawan sejati… Tapi aku tak punya jalan itu."
***
Sementara itu, jauh di dalam inti labirin Knossos, sosok misterius yang dikenal sebagai Ein bergerak dengan tujuan jelas di pikirannya: menemukan sekutunya, sesama Creature, yaitu Revis. Dengan langkah mantap namun diam, Ein menyusuri koridor sempit dan gelap, di mana udara terasa berat dengan aura kegelapan yang memenuhi tempat itu.
Ein mengenakan Corruption Hiding Heavenly Garment, sebuah mantel panjang berwarna hitam yang mampu menyembunyikan identitasnya sebagai Creature. Wajahnya ditutupi oleh topeng gelap memberikan kesan mengintimidasi. Dialah sosok yang sebelumnya membuka pintu Knossos, memungkinkan Loki Familia untuk masuk ke labirin itu, sesuai dengan rencana yang telah dirancang dengan cermat.
Tapi siapa sebenarnya Ein? Dia adalah bagian lain dari Filvis Challia, sisi tergelap dan paling putus asa dari dirinya. Jika Filvis adalah hasil wujud harapan dirinya yang sebenarnya, masih berpegang pada sedikit cahaya melalui hubungan persahabatan seperti dengan Lefiya, maka Ein adalah wujud dari kehancuran total. Dia adalah perwujudan kebencian, penyesalan, dan kehampaan, yang telah menyerah sepenuhnya pada kegelapan.
Ein tidak memiliki keraguan untuk membunuh siapa pun yang berdiri di jalannya. Perintah Dionysus adalah mutlak, dan meskipun Ein merasakan penderitaan yang mendalam setiap kali dia melaksanakan perintah itu, akan tetap melakukannya tanpa ragu demi melihat senyum dingin dari dewa yang dia layani. "Untuk Dionysus," bisiknya pada dirinya sendiri, seolah-olah itu adalah mantra yang menenangkan, meskipun jauh di dalam hatinya, rasa sakit itu tidak pernah hilang.
"Revis," suara Ein menggema rendah namun dingin, "kau ada di sini, bukan? Apa kau sudah menyelesaikan urusanmu dengan mereka yang disebut pahlawan-pahlawan kecil itu?" Dia melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, mencari jejak pertempuran yang telah terjadi.
Ketika Ein akhirnya menemukan jejak Revis—bekas darah dan pecahan pedang besar—dia menghela napas panjang, bukan karena lega, tetapi karena beban yang dia tahu akan semakin bertambah. Dia memejamkan mata sejenak dan berbisik pelan, "Semua ini hanya demi dia. Demi Dionysus."
Ein melangkah lebih dalam ke sebuah ruang yang dipenuhi dengan pecahan magic stone dan aura gelap yang khas dari Creature. Di tengah ruangan itu, dia menemukan Revis sedang duduk bersandar pada dinding batu, memakan magic stone dengan santai. Tangan kirinya, yang sebelumnya terluka parah, perlahan-lahan mulai tumbuh kembali, meskipun terlihat jelas bahwa proses regenerasinya membutuhkan banyak waktu dan energi.
Creature seperti mereka memiliki kemampuan untuk mengonsumsi magic stone secara langsung untuk pemulihan dan perkembangan kekuatan. Namun, saat luka mereka sangat parah, konsumsi magic stone dalam jumlah besar menjadi keharusan, sesuatu yang terlihat jelas dari tumpukan pecahan yang mengelilingi Revis.
"Kau terluka," komentar Ein, nada suaranya lebih seperti pernyataan daripada keprihatinan. Matanya memperhatikan jari-jari yang sedang beregenerasi, seolah-olah menilai seberapa parah kerusakan yang telah terjadi.
Revis hanya mengangkat bahunya dengan sikap santai, menjawab dengan nada cuek, "Biasa. Shirou Emiya." Nama itu meluncur dari bibirnya, disertai dengan seringai lelah namun penuh antusias.
Ein berhenti beberapa langkah dari Revis, memandangnya dengan tatapan datar dari balik topengnya. "Shirou Emiya, katamu?" Ein berkata, sebelum melanjutkan dengan nada lebih serius. "Aku mendapat informasi dari klonku. Shirou Emiya-lah yang juga berhasil mengalahkan Corrupted Spirit di sini menggunakan tombak merah."
Mendengar nama itu lagi, senyum di wajah Revis berubah menjadi seringai penuh antusiasme. Matanya bersinar dengan kegembiraan yang gelap, seperti seseorang yang menemukan tantangan baru yang tak bisa ia abaikan. "Oh, jadi bocah itu benar-benar hebat," katanya sambil berdiri perlahan, meskipun tubuhnya masih dalam proses penyembuhan. "Sepertinya aku tak bisa menunggu lebih lama lagi untuk melawannya lagi. Kali ini, aku akan menunjukkan padanya apa artinya kekuatan sejati."
Ein tetap diam, tetapi dalam hatinya dia tahu bahwa antusiasme Revis adalah pedang bermata dua. Shirou Emiya bukanlah lawan biasa, dan setiap pertemuan dengan bocah itu hanya akan membuat rencana mereka semakin berantakan. Namun, tugasnya bukanlah untuk mencegah Revis, melainkan untuk memastikan semua berjalan sesuai kehendak Dionysus.
"Kau bisa merencanakan pertemuanmu nanti," kata Ein akhirnya, suaranya dingin dan penuh otoritas. "Tapi jangan biarkan ambisimu mengganggu rencana kita." Dengan kata-kata itu, Ein berbalik, meninggalkan Revis yang kembali bersiap melahap magic stone untuk memulihkan dirinya sepenuhnya.
Ein melangkah masuk ke dalam pusat komando Evilus, ruangan luas yang penuh dengan meja panjang dan kursi dengan berbagai peta serta catatan tersebar di atasnya. Di salah satu sudut ruangan, dewi Ishtar duduk dengan ekspresi tidak puas, melipat tangan di dadanya. "Aku tak percaya kita kehilangan momen itu," keluhnya, menatap Thanatos yang tampak lebih santai, berdiri bersandar di dinding dengan senyum tipis menghiasi wajahnya.
"Kau bilang sebelumnya kita bisa menonton aksi monster banteng itu secara langsung," lanjut Ishtar dengan nada penuh kekecewaan, memelototi Thanatos. "Apa yang terjadi?"
Thanatos hanya tertawa pelan, seolah menganggap keluhan itu tidak penting. "Yah, seseorang telah menghancurkan semua bunga pengintai kita," jawabnya ringan sambil mengangkat bahu. "Jadi, tidak ada lagi tayangan langsung untuk kita nikmati."
Ishtar mendengus keras, membuang muka dengan sikap kesal. "Jadi, kau hanya akan duduk di sini dan menunggu informasi dari anak buahmu?"
"Tentu saja," kata Thanatos sambil meregangkan tubuhnya malas. "Mereka akan segera melapor. Tidak ada gunanya tergesa-gesa."
Tepat saat itu, seorang anggota Evilus masuk dengan tergesa-gesa, napasnya terengah-engah. "Tuan Thanatos, Dewi Ishtar," katanya terburu-buru sambil membungkuk hormat. "Corrupted Spirit telah dikalahkan. Dan... kami menemukan mayat Valletta."
Ishtar membelalak, keterkejutannya jelas terpampang di wajahnya. Namun, Thanatos hanya tersenyum, ekspresinya tetap santai seolah kabar buruk itu tak berarti apa-apa baginya. "Jadi, bahkan Corrupted Spirit tak mampu menahan Loki Familia," gumamnya, mengabaikan kegelisahan di ruangan itu. "Dan Valletta tewas lebih cepat dari perkiraan. Bagaimana ironisnya nasib ini."
Ishtar memandang Thanatos dengan tajam, sementara dewa kematian itu hanya tersenyum lebih lebar, tampaknya menikmati setiap detik dari kekacauan ini.