Shirou berlari kembali ke arah tempat Finn dan yang lain, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak tahu kondisi terkini mereka, terutama Finn yang terluka parah. Langkahnya dipercepat, dan tak lama kemudian, ia melihat sekelompok petualang beristirahat di sudut labirin. Raul tampak berbicara pada teman-temannya.
"Shirou itu benar-benar luar biasa," Raul berkata dengan nada kagum, memegang pedangnya dengan kedua tangan. "Meskipun aku dan Aki sama-sama level 4, bahkan kalau kami berdua melawan Valletta bersama, aku yakin kami tidak punya kesempatan."
Aki, yang duduk di sampingnya, menyandarkan tubuh ke dinding. "Dia kuat karena Magecraft-nya," ujarnya sambil menambahkan dengan nada kesal, "dan juga karena dia terlalu nekat untuk kebaikannya sendiri."
Shirou muncul tanpa suara di samping Raul, membuka topeng tengkoraknya. "Tak baik membicarakan orang lain di belakangnya, Raul," katanya dengan nada menggoda.
Raul melompat kaget, hampir menjatuhkan pedangnya. "Shirou! Berhentilah muncul seperti itu! Kau bisa membuatku mati berdiri!" protesnya dengan wajah memerah.
Aki, Lisa, dan Lloyd tertawa keras melihat ekspresi panik Raul. Bahkan Finn yang berbaring di paha Lisa tampak tersenyum tipis mendengar keributan itu.
Setelah suasana kembali tenang, Aki menatap Shirou. "Bagaimana? Apa kau berhasil menangkap Valletta?" tanyanya penuh harap.
Shirou menggeleng pelan. "Tidak," jawabnya singkat.
Semua orang tampak kecewa, mengira Valletta berhasil kabur. Mereka menghela napas serempak, tetapi sebelum mereka sempat berkata lebih, Shirou melanjutkan dengan nada datar, "Aku membunuhnya. Membawanya hidup-hidup hanya akan menjadi beban tambahan bagi kita." Shirou melirik sekilas pada Finn yang masih terbaring lemah.
Raul menelan ludah, merasakan hawa dingin dari cara Shirou berbicara. "Jadi... kau benar-benar tidak memberi ampun pada musuhmu, ya?" gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Shirou menghela napas. "Aku tidak melakukannya untuk diriku sendiri. Jika aku membawa Valletta sebagai tahanan, risiko kita semua diserang akan lebih besar. Aku tidak mau membahayakan kalian," katanya jujur.
Teman-temannya saling berpandangan sejenak, lalu mereka tersenyum kecil. "Terima kasih, Shirou," ujar Lisa dengan tulus, diikuti oleh yang lainnya.
Shirou hanya mengangguk dan duduk sejenak untuk mengatur napasnya. Di dalam hatinya, ia bersyukur masih bisa melindungi mereka, walaupun ia tahu jalan di depan masih penuh dengan bahaya.
Shirou berdiri di depan kelompok itu, menatap teman-temannya yang terlihat tegang namun tetap penuh tekad. "Kita perlu memutuskan langkah berikutnya," katanya, suaranya terdengar tegas namun tenang.
Lisa menoleh, memandang Finn yang terbaring lemah di pahanya. "Kita harus membawa kapten Finn ke Dea Saint, Airmid Teasanare," katanya dengan nada khawatir. "Dia satu-satunya yang bisa menyembuhkan luka Finn. Potion biasa tak akan berhasil." Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, namun langkahnya tetap kokoh, menunjukkan tanggung jawab yang ia emban.
Lloyd, yang berdiri di samping Lisa, mengangguk setuju. "Kalau begitu, kita harus kembali ke lantai atas secepat mungkin. Satu-satunya pintu keluar ada di sana," tambahnya, seraya memeriksa pedangnya untuk berjaga-jaga.
Aki menyilangkan tangannya, matanya menatap ke lorong yang membentang gelap. "Tapi kita harus berhati-hati. Kita tidak punya peta tempat ini, dan mencari tangga ke atas di labirin ini bukan hal mudah," katanya dengan nada serius, memperingatkan semua orang.
Shirou memikirkan kata-kata mereka. Ia merasa sedikit malu karena ia sendiri tidak mengingat jalur dari tangga yang ia lalui sebelumnya. "Bagaimana kalau kita mengikuti metode sederhana?" usulnya, mencoba terdengar percaya diri. "Kita selalu belok kanan. Itu akan membantu kita mengitari labirin dan menemukan tangga ke atas lebih cepat."
Raul, yang sejak tadi diam mendengarkan, mengangguk antusias. "Itu ide bagus! Dengan cara itu, setidaknya kita punya arah yang jelas," katanya, berusaha menyemangati kelompoknya.
Lisa dengan lembut menyesuaikan posisi Finn di punggungnya. "Baiklah, aku akan menjaga kapten Finn." katanya, meyakinkan yang lain. Finn, sebagai Pallum, memiliki tubuh kecil yang tidak menjadi beban besar bagi Lisa yang berlevel 3.
Shirou mengambil posisi di depan, memimpin kelompok. "Baik, aku akan berada di depan. Aku akan menggunakan Structural Analysis untuk memeriksa perangkap di sepanjang jalan," katanya sambil mulai berjalan perlahan.
Perjalanan mereka dimulai dengan hati-hati. Shirou terus mengaktifkan Structural Analysis untuk mendeteksi jebakan tersembunyi atau tanda bahaya. Di belakangnya, suara langkah kaki teman-temannya terdengar, serempak namun berhati-hati.
"Semua tetap waspada," Shirou memperingatkan, suaranya rendah namun penuh otoritas. "Kita tidak tahu apa yang menunggu di setiap belokan."
Lisa, yang tetap fokus membawa Finn, berbisik pelan pada kaptennya yang masih pingsan, "Bertahanlah, kapten. Kami akan keluar dari sini bersama-sama."
Aki dan Raul saling bertukar pandang, seolah memberikan dukungan tanpa kata. Meskipun lelah, semangat mereka tetap menyala, terpacu oleh tekad untuk melindungi satu sama lain dan membawa Finn kembali ke tempat yang aman.
Di tengah perjalanan yang sunyi, suara Raul terdengar dari belakang rombongan. "Semoga kita bertemu dengan anggota Familia lain di jalan," ucapnya dengan nada penuh harap. Pandangannya menyapu lorong gelap yang terasa seakan tidak berujung.
Aki yang berjalan di tengah kelompok, menghela napas panjang. "Andai saja kita tidak terpisah gara-gara pintu Orichalcum itu," katanya, nada suaranya mencerminkan penyesalan. "Kalau kita punya kunci itu, semuanya pasti lebih mudah." Pandangannya mengarah ke dinding seakan mencari solusi yang mustahil.
Shirou, yang berada di depan kelompok, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dengan gerakan tangan yang tenang, dia memprojeksikan sebuah bola logam kecil—kunci berbentuk bola yang mampu membuka pintu Orichalcum. "Apakah maksudmu seperti ini?" tanyanya dengan nada santai sambil menunjukkan kunci itu kepada teman-temannya.
Mata Raul membesar, sementara Aki dan yang lainnya menatapnya dengan kagum. "Wahhh, kau benar-benar punya itu?" Raul berseru dengan kekaguman yang jelas di suaranya.
Aki mengernyitkan dahinya, lalu tersenyum kecil. "Tunggu... Jangan-jangan kau menyalin ini dari kunci milik Valletta tadi, kan?" tebaknya dengan tepat.
Shirou mengangguk sambil tersenyum tipis. "Benar sekali," jawabnya. "Setidaknya, dia berguna untuk sesuatu," tambahnya dengan nada bercanda sebelum dengan cekatan melempar bola itu ke arah bunga pengintai yang tersembunyi di sudut langit-langit. Bola itu menghancurkan bunga tersebut dengan dentingan tajam yang bergema di lorong.
Teman-temannya mengangguk kagum, sementara Shirou kembali memimpin perjalanan. Mereka melanjutkan perjalanan, bertemu dengan jebakan-jebakan kecil dan beberapa bunga pengintai yang dengan mudah dihancurkan oleh Shirou. Meski suasana tetap sunyi, mereka semua tetap waspada, menyadari bahwa bahaya bisa muncul kapan saja.
Pada akhirnya, langkah mereka membawa mereka ke sebuah tangga yang mengarah ke lantai atas. Raul, yang tampak sedikit lelah, berseru, "Akhirnya kita menemukan jalan ke atas. Tapi aku rasa teman-teman kita pasti ada di lantai lain. Itu sebabnya tempat ini terasa begitu sepi."
Aki menghela napas panjang, menyapu pandangannya ke sekeliling. "Mungkin kau benar," katanya dengan nada serius. "Tapi kita harus fokus dulu untuk membawa Finn ke lantai atas sebelum memikirkan mencari yang lain."
Shirou mengangguk setuju, pandangannya tegas. "Benar. Keselamatan kapten adalah prioritas kita sekarang," katanya sebelum mulai menapaki tangga, diikuti oleh yang lain dengan langkah penuh tekad.
Saat mereka baru saja melangkahkan kaki menaiki tangga, tiba-tiba mereka merasakan hembusan angin lembut menyapu dari arah belakang. Angin itu tidak cukup kuat untuk mengganggu keseimbangan mereka, tetapi cukup untuk membuat mereka berhenti sejenak dengan perasaan aneh.
Shirou menghentikan langkahnya, matanya menyipit. Ia mengenali angin ini, bukan sembarang angin. "Ini kekuatan Aiz," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Shirou tahu betul angin ini biasanya digunakan Aiz dalam pertempuran, tetapi kali ini terasa berbeda, lebih lembut, seolah membawa pesan yang tersembunyi.
Raul menggaruk kepalanya dengan bingung. "Kenapa Aiz menggunakan kekuatannya seperti ini?" tanyanya dengan nada heran, suaranya menggema pelan di lorong sempit.
Aki yang tampak berpikir keras, tiba-tiba tersadar. "Mungkin ini bukan untuk menyerang," ujarnya, matanya berbinar dengan kesimpulan. "Sepertinya Aiz menggunakan angin ini untuk memandu kita. Mungkin dia ingin kita berkumpul di tempatnya."
Lisa yang menggendong Finn dengan hati-hati di punggungnya, langsung memprotes. "Tapi kapten Finn masih terluka parah! Kita harus segera keluar dari Knossos dan membawanya ke Dea Saint. Waktunya sangat berharga!" katanya dengan nada tegas.
Shirou awalnya mengangguk setuju dengan Lisa, tetapi pikirannya mulai dipenuhi kekhawatiran. "Bagaimana kalau ini bukan sekadar petunjuk?" pikirnya. "Bagaimana jika Aiz mengirimkan angin ini sebagai sinyal SOS? Kalau begitu, dia mungkin dalam bahaya besar."
Melihat perubahan ekspresi Shirou, Raul melangkah maju dan menepuk bahunya dengan lembut. "Shirou," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Percayakan kami untuk membawa kapten Finn keluar dari sini. Kau bisa pergi mengikuti Aiz. Kalau dia dalam bahaya, dia butuh kau lebih dari kami saat ini."
Shirou menatap teman-temannya dengan ragu, hatinya penuh pergolakan. Ia memimpikan menjadi pahlawan yang bisa menyelamatkan semua orang, tetapi sekarang ia harus memilih. Bagaimana jika mereka disergap Evilus saat ia tidak ada?
Aki tersenyum kecil, meskipun tubuhnya penuh kelelahan. "Kau sudah menyelamatkan kami tadi, Shirou," ujarnya dengan suara penuh kehangatan. "Sekarang giliran kami untuk menyelesaikan tugas ini. Kau tahu kami bisa melakukannya."
Lisa, Lloyd, dan Raul mengangguk serempak, menyampaikan kepercayaan mereka tanpa perlu banyak kata. Shirou akhirnya menghela napas panjang, matanya menatap mereka satu per satu dengan rasa syukur yang dalam.
"Kalau begitu, ini untuk berjaga-jaga," kata Shirou sambil memprojeksikan beberapa kunci berbentuk bola dan menyerahkannya pada mereka. "Gunakan kunci ini jika kalian menghadapi pintu Orichalcum lagi. Hati-hati dan jangan terlalu mengambil resiko."
Raul menerima kunci itu dengan kedua tangannya, lalu mendekapkannya ke dadanya dengan ekspresi penuh tekad. "Percayakan saja pada kami," katanya dengan senyum hangat, menyiratkan bahwa mereka akan baik-baik saja.
Shirou mengangguk dengan perasaan lega bercampur cemas, lalu berbalik dan melesat ke arah angin lembut yang mengarahkannya pada Aiz. Di belakangnya, suara langkah teman-temannya terdengar semakin menjauh, tetapi kepercayaan mereka terus membakar semangatnya untuk melindungi semuanya.
***
Aiz berlutut di tengah ruangan besar yang menyerupai laboratorium dengan suasana gelap dan suram, di bawah lantai tempat Shirou berada. Pedang Orichalcum-nya, Desperate, tertancap di lantai batu sebagai tumpuan agar ia tidak jatuh sepenuhnya. Napasnya berat, tubuhnya penuh luka, dan darah mengalir dari sisi bahunya.
Matanya menatap Revis yang berdiri tidak jauh darinya, wanita dengan rambut merah menyala itu menghunuskan pedang hitam besar yang tampak berdenyut seolah hidup. Aura kutukan dari senjata itu terasa bahkan dari jarak jauh. "Tak ada gunanya lagi melawan, Aria," kata Revis dengan suara dingin, penuh percaya diri. "Kau tahu ini adalah akhirnya."
Aiz menggerakkan tangan kirinya, mencoba menekan luka di perutnya, darah mengalir deras. Ia menggertakkan giginya, mengingat pertemuan sebelumnya dengan Revis. Saat itu, di lantai 24, kekuatan mereka seimbang, keduanya di level 6. Dengan Ariel, kekuatan anginnya, Aiz mampu menekan Revis dengan mudah. Tetapi kali ini, Revis telah berubah.
Perkembangan kekuatan yang dimiliki Revis terasa jauh melampaui batas manusia. Aiz menyadari bahwa wanita di depannya telah mencapai kekuatan yang setara dengan level 7. Bahkan dengan Ariel, serangan Aiz hanya mampu melukai permukaan tubuh Revis. Namun, luka-luka itu tidak bertahan lama, karena tubuh setengah monster milik Revis dengan cepat meregenerasi setiap cedera, lukanya berasap dan perlahan menutup seolah mengejek usaha Aiz.
Revis melangkah maju dengan langkah mantap, mata hijaunya penuh kebencian. "Kau sendiri tahu, tak ada yang akan menolongmu," lanjutnya. "Rekan-rekanmu telah tersesat di Knossos ini. Mereka bahkan tidak akan sampai di sini tepat waktu."
Aiz terdiam, tatapannya sedikit melembut. Ingatan masa lalunya muncul, membawa kembali bayangan saat ia masih kecil. Bagaimana kedua orang tuanya berkorban untuk melawan One-Eyed Black Dragon, meninggalkannya untuk tersegel dalam tidur selama ribuan tahun. Ia selalu menunggu, berharap ada pahlawan yang akan datang menyelamatkannya, tetapi pahlawan itu tidak pernah datang.
Setelah ia dibebaskan oleh Loki Familia, Aiz memutuskan untuk tidak lagi menunggu. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membalas dendam dengan tangannya sendiri, untuk menuntut keadilan atas kematian orang tuanya. Namun, kali ini ia sadar bahwa ia tidak lagi sendirian. Pahlawan itu akhirnya datang, tetapi dengan cara yang berbeda.
"Kau salah," ujar Aiz dengan suara lemah, tetapi penuh tekad. "Aku tidak sendiri." Matanya bersinar dengan cahaya baru, dan ia menggenggam Desperate dengan kedua tangan, berjuang untuk berdiri.
Revis mengerutkan dahi, berhenti sejenak dengan rasa penasaran. "Omong kosong apa lagi ini?" ejeknya.
Aiz tidak menjawab. Sebaliknya, ia menarik napas panjang dan memanggil kekuatannya. Dengan seluruh energinya, ia meneriakkan mantra yang mengguncang udara di sekitar mereka. "ARIEL!" teriak Aiz, suaranya menggema hingga sudut-sudut Knossos.
Angin yang dahsyat meledak dari tubuhnya, membentuk pusaran yang meluas dengan kekuatan luar biasa. Sihir itu tidak hanya menyerang Revis di depannya tetapi juga menyebar ke seluruh penjuru Knossos, seolah memanggil bantuan atau memberikan peringatan kepada semua orang yang ada di dalam labirin itu.
Revis menatap Aiz dengan tatapan mencemooh, tawa kecilnya penuh ejekan yang menggema di ruang laboratorium itu. "Apa yang kau coba lakukan, Aria? Panggilan bantuan? Teriakan putus asa? Itu semua tak ada artinya," katanya sambil melangkah mendekat dengan gerakan perlahan tetapi penuh ancaman, menghunus pedang hitam besar yang berdenyut seperti makhluk hidup.
Aiz terengah, tubuhnya terasa berat, tetapi hatinya tetap dipenuhi tekad. Dia menggenggam Desperate dengan erat, bersiap untuk mengeluarkan serangan terakhir meskipun tahu tubuhnya tidak akan mampu menahan dampaknya. Angin Ariel masih berputar di sekelilingnya, tetapi mulai melemah.
Revis mengayunkan pedangnya ke samping, membuat suara angin yang memotong udara. "Sudah selesai, Aria," katanya dengan nada puas, mengangkat pedang hitamnya tinggi-tinggi, bersiap menebas Aiz yang tak lagi bisa bergerak cepat.
Sebelum tebasan itu mengenai sasaran, sosok berjubah hitam melompat dengan kecepatan luar biasa, menghantam tanah dengan keras di depan Aiz. Dua pedang melintang, Kanshou dan Bakuya, menahan ayunan pedang Revis dengan bunyi dentingan logam yang memekakkan telinga.
Aiz terkejut, matanya melebar ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Shirou, dengan topeng tengkorak dan jubah hitam yang berayun oleh hembusan angin, berdiri sebagai perisai antara dirinya dan Revis. Suara benturan keras tadi membuat tubuh Aiz sedikit gemetar, tetapi dia tak bisa menahan senyumnya yang muncul perlahan.
"Shirou..." gumam Aiz dengan suara lemah, tetapi penuh kelegaan. Dalam hatinya, ia merasa sekali lagi pahlawan yang dijanjikan untuknya telah datang. Seperti bintang yang selalu muncul di tengah kegelapan, Shirou hadir untuk menyelamatkannya.
Revis menarik pedangnya kembali dengan kasar, melompat mundur beberapa langkah. "Kau lagi," gumamnya dengan nada kesal. "Kau benar-benar tidak tahu kapan harus menyerah."
Dari balik topengnya, Shirou menatap Revis dengan dingin. "Dan kau tidak tahu kapan harus berhenti menghancurkan kehidupan orang lain," jawabnya tegas. Tangannya dengan mantap memegang Kanshou dan Bakuya, bersiap untuk pertarungan.
Aiz, yang masih berlutut di belakang Shirou, tidak bisa menahan pikirannya melayang ke masa lalu. Ingatan itu begitu jelas di kepalanya—Shirou yang hanya berlevel 1 di Rivira, dengan keberanian yang luar biasa, menghadapi Revis yang saat itu sudah berlevel 6. Walaupun mereka baru saling mengenal, Shirou melindunginya tanpa ragu, bahkan dengan risiko nyawanya sendiri.
Dan sekarang, momen itu terulang kembali. Shirou kembali berdiri di hadapannya, menghadapi ancaman mematikan dengan keberanian yang sama. Mata Aiz berkaca-kaca, bukan karena rasa sakit tetapi karena hatinya yang tersentuh. "Dia adalah pahlawan itu," pikir Aiz, menguatkan dirinya untuk percaya bahwa mereka bisa mengatasi ancaman apapun bersama.
Revis menyeringai penuh kemenangan, tatapannya tertuju langsung ke Shirou. "Kenapa tidak kau lepaskan saja topeng konyol itu... Emiya Shirou," katanya dengan nada mengejek, suaranya bergema di ruangan itu.
Shirou terdiam, tubuhnya menegang. Nama itu meluncur dari mulut Revis seperti pisau tajam, membuatnya terkejut. Bagaimana bisa dia tahu? Tanpa membuang waktu, Shirou memudarkan jubah hitam dan topeng tengkoraknya, membiarkannya larut menjadi prana. Kini dia berdiri dengan pakaian merah khas Archer dan armor hitam yang memancarkan kilauan kusam di bawah cahaya laboratorium.
Revis tertawa kecil, menunjuk Kanshou dan Bakuya yang digenggam Shirou erat di kedua tangannya. "Kedua pedang itu, pedang sialan yang tak mungkin kulupakan. Begitu aku melihat mereka lagi, aku tahu siapa kau," katanya dengan nada penuh keyakinan.
Shirou menghela napas pelan, menyadari kesalahannya. Ingatannya berputar pada misi sebelumnya, saat ia menyusul Aiz ke lantai 24 bersama Filvis, Bete, dan Lefiya. Saat itu, dia menggunakan Kanshou dan Bakuya tanpa mengenakan topeng. Hanya dari senjata itu, Revis telah mampu menghubungkan identitasnya.
"Jadi itu alasannya," Shirou berkata datar, meskipun di dalam hatinya dia merasa sedikit kesal pada dirinya sendiri karena kelalaiannya.
Revis mengangkat pedangnya dengan angkuh. "Aku tidak peduli alasanmu bersembunyi, Emiya Shirou. Tapi sekarang, kau akan membayar atas luka-luka yang kau sebabkan saat kita bertemu di Rivira," katanya dengan nada penuh kebencian.
Revis melompat maju dengan kekuatan dahsyat, pedang hitamnya meluncur dengan kecepatan yang memotong udara. Shirou dengan cepat mengangkat Kanshou dan Bakuya, menangkis serangan itu. Suara logam beradu menggema di ruangan, namun setiap kali Shirou menahan serangan Revis, dia terpukul mundur beberapa langkah. Perbedaan kekuatan mereka terlalu besar.
Revis menyerang tanpa henti, seperti badai ganas yang terus-menerus menghantam. Shirou tetap berdiri, fokus pada setiap gerakan lawannya, tetapi dia tahu dirinya sedang terpojok. Tenaganya terkuras hanya untuk mengimbangi serangan lawannya yang jauh lebih kuat.
Aiz yang berlutut di belakang Shirou, menonton dengan cemas. Jari-jarinya menggenggam erat pedangnya, tetapi tubuhnya yang terluka tidak bisa bergerak untuk membantunya. "Shirou..." gumamnya dengan suara lirih. Hatiku berdebar, penuh doa dan harapan. Dia tidak boleh kalah. Dia adalah pahlawan yang selalu datang untuk menyelamatkanku. Tolong... menanglah.
Shirou mendengar suara pedang Revis yang kembali mengayun deras, mempererat cengkeramannya pada Kanshou dan Bakuya. "Aku tidak akan kalah," katanya dengan suara rendah namun penuh tekad. "Bukan sekarang."
Shirou menggenggam erat Kanshou dan Bakuya, lalu melemparkan keduanya dengan kekuatan penuh ke arah Revis. Pedang-pedang itu melesat seperti kilatan cahaya, menuju langsung ke tubuh Revis.
Namun, Revis sudah belajar dari pertemuan mereka sebelumnya. Dengan kelincahan luar biasa, ia melompat ke samping, menghindari serangan yang pernah melukainya di Rivira. Revis tahu bahwa Kanshou dan Bakuya membawa bahaya besar baginya. Sebagai makhluk setengah monster, luka yang dihasilkan oleh pedang-pedang itu sulit disembuhkan, seperti kutukan yang menembus regenerasinya.
Revis dengan cepat menoleh ke belakang, memperhatikan kedua pedang itu. Ia tahu bahwa senjata tersebut memiliki kemampuan untuk kembali ke tangan Shirou, dan ia bersiap untuk mengantisipasinya. Namun, sesuatu yang aneh terjadi.
Shirou tetap berdiri di tempatnya, tak ada tanda-tanda Kanshou dan Bakuya akan kembali ke tangannya. Mata Shirou bersinar penuh fokus, menunjukkan bahwa ia memiliki rencana lain. Dengan sengaja, ia menggunakan Kanshou dan Bakuya hanya untuk mengalihkan perhatian Revis, memberikan dirinya cukup waktu untuk memproyeksikan Noble Phantasm baru.
"Kau benar-benar penuh tipu daya, ya," kata Revis dengan tawa kecil, meskipun nada suaranya menunjukkan ia mulai waspada.
Shirou merasakan prana di tubuhnya semakin menipis, terutama setelah menggunakan Caladbolg untuk mengebor pintu Orichalcum sebelumnya. Karena itu, ia memutuskan untuk memproyeksikan Monohoshi Zao, pedang legendaris milik Sasaki Kojirou. Nodachi panjang itu muncul di tangannya, ramping dan elegan, dengan bilah tajam yang tampak memantulkan cahaya laboratorium.
Pedang Monohoshi Zao lebih panjang dari pedang biasa, dengan bilah ramping yang memancarkan aura ketenangan mematikan. Walaupun bentuknya terlihat tidak istimewa, Shirou tahu betul potensi teknik luar biasa yang terkandung dalam pedang itu.
Revis memperhatikan dengan mata menyipit. "Jadi, kau punya trik baru? Menarik," katanya dengan seringai, lalu melompat maju, pedangnya siap untuk menebas Shirou.
Shirou tetap tenang, tubuhnya melangkah ringan, dan kedua tangannya menggenggam Monohoshi Zao dengan penuh konsentrasi. Dia tahu teknik yang akan dia gunakan tidak sempurna karena dia tak bisa mengimitasi sepenuhnya teknik legendaris milik Sasaki Kojirou, tetapi itu cukup untuk memberikan perlawanan terhadap Revis.
Saat Revis mendekat, ia memperkirakan jarak dengan presisi. Ketika Revis berada dalam jangkauan, Shirou menggerakkan nodachinya dengan teknik tiruannya.
"Tsubame Gaeshi," Shirou berbisik, memulai teknik pedang terkenal Sasaki Kojirou. Dalam sekejap, tiga sabetan pedang muncul secara bersamaan, masing-masing menyerang dari sudut yang berbeda—seolah-olah Shirou menciptakan ilusi gerakan pedang yang mustahil dilakukan
Revis yang berpengalaman berhasil menangkis satu sabetan dengan pedangnya, dan melompat mundur untuk menghindari sabetan kedua. Namun, sabetan ketiga tak bisa dielakkan. Bilah Monohoshi Zao meluncur dengan presisi memotong lengan kanan Revis, membuatnya berteriak kesakitan.
Revis mundur ke dinding, menempel di sana dengan napas berat. Wajahnya menegang menahan rasa sakit, tetapi ada seringai di bibirnya. "Bagus, sangat bagus! Aku belum pernah melihat teknik seperti itu," katanya, terdengar hampir terhibur meskipun satu lengannya hilang.
Dari luka di lengannya yang terpotong, asap putih mulai mengepul, tanda regenerasi tubuhnya yang mulai bekerja. Sebagai Creature, kemampuan regenerasi Revis tetap mengagumkan meskipun serangan Shirou berhasil melukainya.
Aiz yang masih terluka, menatap pertarungan itu dengan kagum. Matanya membelalak melihat teknik pedang Shirou yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Shirou..." gumamnya pelan, hatinya bergetar menyaksikan pahlawan yang berdiri di hadapannya, bertarung demi melindunginya.
Shirou menatap Revis tanpa berbicara, mengangkat Monohoshi Zao dengan tangan yang mantap, siap untuk melanjutkan pertarungan. "Aku tak akan membiarkanmu menyentuh Aiz lagi," pikirnya dengan penuh tekad.