Shirou duduk di depan kelompok itu, menatap Finn yang terbaring lemah di paha Lisa. Dengan nada serius, ia bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi sampai Finn terluka seperti ini?"
Raul, yang masih tampak tegang meskipun semangatnya telah kembali, menghela napas dan mulai bercerita. "Awalnya, saat masuk ke Knossos, Finn membagi kami menjadi dua kelompok. Satu dipimpin olehnya, dan satu lagi dipimpin oleh Gareth. Kami, yang bersama Finn, diberi tugas menjelajah bagian barat labirin."
Shirou mendengarkan dengan seksama, lalu mengerutkan kening. "Knossos?" tanyanya dengan penasaran. "Apa itu Knossos?"
Aki mengambil alih menjelaskan. "Knossos adalah nama labirin ini, Shirou. Dibangun oleh Daedalus pada zaman kuno. Kami tahu namanya karena hieroglyph di pintu masuknya. Lady Riveria yang membacanya, dia memimpin pasukan cadangan di luar pintu masuk."
Shirou tersenyum kecil, membayangkan Riveria dengan pengetahuannya yang luar biasa. "Itu memang khas Riveria," gumamnya pelan, tapi cukup untuk didengar oleh Aki yang mengangguk setuju.
Raul melanjutkan ceritanya. "Awalnya semua berjalan lancar, tetapi tiba-tiba kami disergap. Evilus memisahkan kelompok kami dengan monster Violas yang menyerang dari berbagai arah. Saat kami sibuk melawan monster, mereka menutup pintu Orichalcum di belakang kami, membuat kami terjebak dan terpisah."
Shirou semakin fokus, mencondongkan tubuhnya sedikit. "Lalu, apa yang terjadi dengan Finn?"
Raul menelan ludah, jelas teringat pada momen itu. "Di saat itu, seorang wanita dengan rambut merah... Revis. Dia tiba-tiba muncul di tengah kami. Dengan mudahnya dia menebas Finn menggunakan pedangnya. Finn mencoba melawannya, tapi luka yang dia dapatkan terlalu parah."
Shirou menatap Finn yang masih tak sadarkan diri, darahnya terus merembes meski telah diperban. "Apakah tidak bisa disembuhkan dengan potion?" tanyanya, penuh kekhawatiran.
Lisa menggeleng dengan wajah serius. "Tidak bisa. Pedang yang digunakan Revis sepertinya terkutuk. Potion biasa tidak mampu menyembuhkan luka ini. Bahkan sihir penyembuhan lady Riveria mungkin tidak akan cukup untuk mengatasi efek kutukan ini."
Shirou mengepalkan tangannya, merasa marah namun tetap tenang di luar. "Kurasa kita harus menemukan cara lain untuk menyelamatkannya. Kita tidak bisa membiarkan Finn seperti ini," katanya dengan nada tegas, yang membuat semua anggota kelompok itu merasa sedikit lebih tenang.
Shirou berdiri tegak, matanya menyapu keadaan sekitar sambil bertanya dengan nada tegas, "Di mana Revis sekarang? Apakah dia masih mengejar kalian?" Dalam hati, ia mempersiapkan diri. Jika harus melawan Revis kali ini, ia yakin peluangnya jauh lebih besar dibandingkan terakhir kali mereka bertemu. Saat itu, ia hanya seorang petualang level 1, tapi sekarang, sebagai level 4, ia merasa ada kemungkinan untuk bertahan, bahkan menang.
Raul menggeleng pelan. "Sepertinya tidak. Revis tidak mengejar kami lebih jauh. Dia menyerahkan urusan kami pada rekannya, seorang wanita dari Evilus bernama Valletta."
Shirou mengerutkan kening mendengar nama itu. "Siapa Valletta?" tanyanya dengan nada ingin tahu.
Aki, yang berada di samping Raul, menjawab dengan nada penuh kebencian. "Valletta adalah salah satu musuh lama kapten Finn. Dia seorang wanita gila yang berlevel 5, dan dia mengejar kami dengan kegilaan khasnya. Dia benar-benar menikmati setiap kesempatan untuk menyiksa dan melukai orang lain."
Shirou mengangguk, ekspresinya berubah serius. "Kalau begitu, kalian mundur ke belakang dan pastikan kapten Finn tetap terlindungi. Serahkan pertarungan ini padaku. Aku akan melindungi kalian."
Lisa, yang sedang memeriksa kondisi Finn, menatap Shirou dengan kekhawatiran. "Shirou, kau harus berhati-hati. Sepertinya senjata yang Valletta gunakan juga memiliki curse seperti milik Revis. Jika kau terluka, akan sulit untuk menyembuhkanmu."
Shirou menoleh pada Lisa, tersenyum samar, dan mengangguk. "Terima kasih atas peringatannya. Aku akan waspada." Dalam hati, Shirou memikirkan kemungkinan lain. Dengan kemampuan Projection-nya, ia bisa meniru senjata Valletta dan bahkan memanfaatkan curse itu untuk melawan mereka.
Shirou berjalan perlahan ke depan, posisi tubuhnya siaga. Dia mengatur napas dan memusatkan pikiran, mendengarkan setiap suara di sekitar. Ia tahu Valletta akan segera muncul. Shirou telah terbiasa melawan musuh yang jauh lebih kuat darinya, baik itu di dunia asalnya maupun di Orario. Kali ini pun, ia siap menghadapi tantangan itu.
Tak lama, suara langkah kaki mulai terdengar, semakin mendekat. Shirou mengepalkan tangan, menunggu sosok Valletta menunjukkan dirinya. Hatinya tenang, tetapi matanya penuh kewaspadaan. "Ayo datang," bisiknya pelan, menantang.
Shirou menarik napas dalam, mengenakan kembali topeng tengkoraknya, dan menyesuaikan jubah hitamnya. Suara wanita terdengar dari kejauhan, bernada mengejek, "Finn sayang, di mana kau bersembunyi sekarang? Jangan membuatku menunggumu terlalu lama."
Shirou mengenali suara itu. Itu adalah wanita yang sebelumnya menguncinya di dalam Knossos. Kini, ia semakin waspada, mempersiapkan diri untuk pertemuan ini.
Beberapa saat kemudian, sosok wanita itu muncul dari lorong yang gelap, disertai sekelompok anak buah Evilus berjubah putih dengan tudung dan masker. Wanita itu memiliki rambut pendek berwarna merah muda cerah yang kontras dengan mata kuningnya yang tajam. Ia mengenakan atasan hitam robek dengan celana hitam bergaris merah. Pakaian yang sebagian rusak memperlihatkan perut ratanya. Sabuk cokelat terpasang di paha kanannya, sementara mantel hitam dengan hiasan bulu membuat penampilannya terlihat mencolok dan berbahaya.
Valletta berhenti di ujung lorong, matanya tertuju pada Shirou. Awalnya, ia terlihat terkejut, lalu amarahnya memuncak. "Oy, topeng! Bagaimana bisa kau keluar dari perangkapku?" dia mengutuk dengan nada geram.
Shirou, alih-alih menjawab langsung, memberikan senyuman samar yang tak terlihat di balik topengnya. "Kau membuatnya terlalu mudah," katanya, nada suaranya berubah karena Alteration. "Kau bahkan tidak menyegel tempat itu dengan baik."
Valletta mendengus, lalu menyandarkan pedang panjang hitam dengan empat cabang pada bahunya. "Huh, aku seharusnya tahu kau lebih merepotkan daripada yang lain. Tapi kali ini, aku akan memastikan kau tidak keluar hidup-hidup."
Shirou memperhatikan pedang di tangan Valletta. Ia memulai Tracing, menyelami esensi pedang tersebut. Informasi mulai mengalir ke dalam pikirannya. Pedang itu, yang dibuat oleh Barca Perdix, memiliki kemampuan Mystery untuk menyalurkan kutukan. Shirou mencatat bahwa pedang itu relatif baru, sehingga teknik Valletta dengan senjata tersebut belum cukup banyak tertanam dalam sejarahnya. Ia merasa sedikit kecewa tetapi tetap fokus.
"Menarik," ujar Shirou sambil memprojeksikan pedang yang sama di tangannya. Cahaya biru prana mengalir di sekitarnya saat pedang itu terbentuk, identik dengan milik Valletta.
Valletta menatap Shirou dengan alis terangkat. "Apa-apaan itu? Kau meniru senjataku?" katanya, tampak kesal tetapi juga tertarik.
Shirou mengangkat pedang hasil proyeksinya dan mengarahkannya ke Valletta. "Kita lihat apakah kutukanmu cukup kuat untuk melawan kutukan yang sama," ujarnya dengan nada menantang, bersiap untuk bertempur.
Valletta memperhatikan ke seberang lorong dan melihat Finn yang terbaring dilindungi oleh Raul dan anggota Loki Familia lainnya. Senyuman sinis muncul di wajahnya. "Oh, ternyata kau di sana, Finn," katanya dengan nada mengejek, melambaikan pedangnya ke arah mereka. "Menyerah saja. Kau tak bisa melarikan diri dariku."
Matanya kembali tertuju pada Shirou yang berdiri tegak di depannya dengan topeng tengkorak dan jubah hitam. "Tapi sebelum itu," lanjut Valletta sambil memutar pedangnya. "Aku akan mengurus si topeng ini dulu. Baru setelahnya, Finn, giliranmu."
Shirou tak menjawab provokasi Valletta. Ia hanya mengangkat pedangnya dengan kedua tangan, tubuhnya bersiap dalam posisi defensif. Dalam hatinya, ia tahu Valletta adalah musuh yang kuat. Meskipun ia bisa menggunakan strategi jarak jauh dengan menghujani lawannya menggunakan Projection, kali ini ia memilih untuk bertarung secara langsung. Ini adalah kesempatan untuk mengukur kekuatan salah satu pemimpin Evilus.
Valletta menyerang lebih dulu, melesat cepat dengan senyuman percaya diri di wajahnya. Pedang hitam bercabang di tangannya meluncur ke arah Shirou dengan kekuatan penuh. Shirou menangkis serangan itu dengan pedang proyeksinya, namun benturan dari kekuatan mentah Valletta membuat Shirou terpukul mundur beberapa langkah. Percikan api berhamburan di antara mereka.
"Apa itu saja?" ejek Valletta sambil melangkah maju, menyodorkan serangan bertubi-tubi. Shirou terus bertahan, mengandalkan refleks dan pengalaman bertarungnya untuk menangkis setiap tebasan. Namun, kekuatan Valletta yang berada di level 5 jelas terasa lebih dominan.
Mengetahui dirinya tak bisa hanya mengandalkan teknik, Shirou memusatkan prana ke tubuh dan senjatanya, mengaktifkan Reinforcement. Cahaya biru samar muncul di sekitar pedangnya dan mengalir ke otot-otot tubuhnya. Ia melangkah maju dengan lebih percaya diri, menangkis serangan Valletta yang berikutnya tanpa bergeming.
Valletta tertegun sejenak, ekspresinya berubah dari percaya diri menjadi cemas. "Apa-apaan ini?!" teriaknya, meningkatkan intensitas serangannya. Namun kali ini, Shirou mampu membalas setiap pukulan dengan kekuatan yang sebanding, bahkan lebih terarah.
"Kau terbiasa melawan lawan yang lebih lemah," kata Shirou dingin sambil meluncurkan serangan balik. "Tapi aku bukan salah satu dari mereka."
Valletta mulai kehilangan keseimbangan. Teknik pedang Shirou, yang dilatih melalui Tracing dari berbagai pendekar terbaik, memberinya keunggulan dalam hal strategi dan gerakan. Dalam satu momen, Shirou melihat celah dalam pertahanan Valletta dan meluncurkan serangan diagonal yang mengenai bahu wanita itu.
Valletta mundur sambil mengutuk, tangannya memegang bahunya yang berdarah. "Dasar topeng sialan! Ini belum selesai!" teriaknya dengan nada marah bercampur rasa panik.
Valletta melangkah mundur lebih jauh, memanfaatkan anak buahnya yang segera bergerak ke depan untuk menutup jalan Shirou. "Habisi dia! Tahan dia di sini!" perintah Valletta sebelum ia berbalik untuk melarikan diri.
Shirou memutar pedangnya, napasnya teratur meskipun tubuhnya sudah terasa tegang setelah pertarungan sengit itu. Ia memandang ke arah pasukan anak buah Valletta yang mendekat, jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang ia harapkan. Namun, Shirou tetap tenang, prana di tubuhnya terus mengalir, bersiap menghadapi gelombang berikutnya.
Shirou memutar pedangnya, napasnya teratur meskipun tubuhnya sudah terasa tegang setelah pertarungan sengit itu. Ia memandang ke arah pasukan anak buah Valletta yang mendekat, jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang ia harapkan. Namun, Shirou tetap tenang, prana di tubuhnya terus mengalir, bersiap menghadapi gelombang berikutnya.
Tiba-tiba, anggota Evilus di depan Shirou melesat maju dengan gerakan tak terduga, melompat seperti ingin memeluknya. Mata Shirou menyipit, menyadari ada sesuatu yang salah. Refleksnya bekerja cepat, ia menghindar ke samping, namun anggota Evilus itu malah berteriak lantang, "Demi dewa Thanatos!" sebelum tubuhnya meledak dengan kekuatan yang menghancurkan.
Ledakan itu mengguncang lorong labirin, kobaran api menyala terang. Shirou melompat ke belakang, mencoba menghindari gelombang panas, tapi sebagian ujung jubahnya hangus terbakar, dan percikan api mengenai lengannya, memberikan luka bakar yang terasa perih.
"Mereka menggunakan tubuh mereka sebagai bom hidup..." Shirou bergumam pelan, rasa muaknya bercampur dengan tekad yang membara. Ia memutar pandangannya ke belakang, melihat Finn yang terbaring lemah dijaga Lisa. Teman-temannya yang lain terlihat cemas, tetapi fokus menjaga posisi mereka. Shirou tahu, dia adalah satu-satunya perisai di antara mereka dan maut yang mendekat.
Anggota Evilus lainnya mulai bergerak maju, wajah mereka menunjukkan fanatisme yang mengerikan. Shirou mengepalkan tangannya, berdiri tegap di hadapan mereka. "Kalau begitu, biarkan aku jadi penghalang kalian," katanya, nadanya penuh ketegasan.
Shirou memprojeksikan Salamander Wool, sebuah jubah tebal yang dirancang untuk melindungi tubuhnya dari panas dan api. Di tangannya, dua perisai besar dengan atribut fire resistance terbentuk, berdiri teguh seperti dinding kokoh. Dengan kedua tameng itu, Shirou mempersiapkan diri menghadapi gelombang berikutnya.
"Ayo, kalau kalian ingin mencoba, aku di sini," tantang Shirou dengan dingin, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh langkah musuh.
Anggota Evilus terus mendekat, masing-masing dengan ekspresi tanpa takut. Shirou, di balik tamengnya, mulai memprojeksikan pedang-pedang panjang yang melayang di sekelilingnya. Dengan satu gerakan tangan, ia meluncurkan senjata-senjata itu ke arah musuh. Setiap pedang menghujam tepat sasaran, menembus tubuh mereka sebelum ledakan kembali mengguncang lorong.
Ledakan demi ledakan menghiasi medan tempur, menciptakan kobaran api besar yang menelan hampir seluruh jalan. Shirou bertahan di tengah kekacauan, menggunakan tamengnya untuk melindungi diri dari gelombang panas. Namun, tekanan dari ledakan terus menghantam tubuhnya, membuatnya terengah-engah.
Di balik api yang berkobar, teriakan memanggil namanya terdengar. Raul, Aki, dan Lloyd melangkah maju dengan panik, mencoba mendekatinya. "Shirou! Apa kau baik-baik saja?!" Raul berteriak dengan suara bergetar.
Aki menarik bahu Raul, mencoba menghentikannya. "Jangan mendekat! Api itu terlalu berbahaya!" Namun, kekhawatiran mereka terus memuncak, dan mereka tak bisa tinggal diam.
Perlahan, dari balik nyala api, sesosok tubuh muncul. Shirou melangkah keluar, Salamander Wool-nya habis terbakar, memperlihatkan luka bakar di sekujur tubuhnya. Wajahnya pucat, napasnya terengah-engah, tetapi ia masih berdiri, tatapannya penuh tekad.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Shirou, suaranya serak. Senyumnya lemah, tetapi menunjukkan bahwa dia masih mampu bertahan.
"Shirou!" Lisa hampir menangis lega, tetapi Aki segera mendekat, menatap luka-luka di tubuh Shirou. "Kau gila! Lihat dirimu!"
"Aku tidak apa-apa," Shirou berkata pelan, meskipun rasa sakit di tubuhnya jelas terlihat. "Yang penting mereka tidak melewati aku."
Aki dengan cepat merogoh tas bawaan mereka dan mengeluarkan botol high potion yang diramu oleh Dian Cecht Familia. "Shirou, buka bajumu! Aku harus mengobati lukamu sekarang juga!" perintah Aki tegas, tanpa memedulikan nada kata-katanya yang terdengar ambigu.
Shirou tersenyum pahit, menyadari bagaimana kata-kata itu terdengar, tapi dia memilih tidak bercanda kali ini. Dengan satu gerakan kecil, jubah hitam, topeng tengkorak, armor hitam, dan pakaian merahnya berubah menjadi prana, meninggalkannya hanya dengan celana panjang. Tubuhnya yang penuh luka bakar kini terlihat jelas, memperlihatkan otot-ototnya yang kokoh.
"Luka ini cukup parah," gumam Aki, tanpa membuang waktu. Ia segera mengguyurkan seluruh isi high potion ke tubuh Shirou. Cairan biru itu mengalir, mengeluarkan uap ringan saat menyentuh kulit yang terbakar. Meski high potion itu mahal, tak seorang pun dari kelompoknya protes. Mereka semua tahu Shirou pantas mendapatkannya setelah mempertaruhkan nyawanya untuk mereka.
"Untung saja," Shirou berkata dengan nada tenang, meskipun tubuhnya menegang akibat rasa dingin dari potion yang meresap ke dalam luka-lukanya. "Ledakan itu hanya melukaiku secara fisik. Kalau senjata Valletta yang melukaiku, dengan kutukannya, mungkin aku tidak akan semudah ini disembuhkan."
Raul, yang berdiri tak jauh, menggelengkan kepalanya. "Kau benar-benar gila, Shirou. Berdiri di depan mereka sendirian seperti itu... Apa kau sadar betapa berbahayanya itu?"
Shirou menoleh pada Raul dengan senyum tipis. "Aku sadar. Tapi asal kalian semua selamat, aku rasa itu sepadan." Jawabannya sederhana, tapi sarat makna, membuat mereka yang mendengarnya terdiam sejenak.
Luka bakar di tubuh Shirou perlahan sembuh, meninggalkan bekas samar yang akhirnya menghilang. Setelah memastikan dirinya cukup pulih, Shirou memprojeksikan kembali pakaian merah Archer dan armor hitamnya. Namun, sebelum Shirou bisa bergerak lebih jauh, Aki memotongnya dengan suara penuh emosi. "Kau belum sembuh sepenuhnya! Kau harus istirahat, Shirou!"
Shirou menggelengkan kepala dengan tegas. "Aku tidak bisa. Valletta terlalu berbahaya untuk dibiarkan kabur. Ini kesempatan terbaik kita, terutama karena dia terluka oleh kutukan senjatanya sendiri."
Lloyd, yang berdiri di sisi lain, tampak ragu. "Mungkin... mungkin kami saja yang mengejarnya? Dengan keadaannya yang terluka, kami bisa mengatasinya. Kau sudah melakukan lebih dari cukup, Shirou. Kau harus beristirahat."
Shirou melihat keraguan di mata Lloyd, tetapi dia tidak ingin menyakitinya dengan kata-kata yang keras. Dengan lembut, dia menjawab, "Tugas kalian lebih penting. Kapten Finn butuh penjagaan kalian. Jika Valletta kembali, dia tidak akan ragu menyerang lagi. Kalian harus melindungi kapten."
Setelah berkata demikian, Shirou memprojeksikan kembali topeng tengkorak dan jubah hitamnya, menutupi dirinya seperti bayangan malam. Tanpa menunggu lebih lama, dia melesat pergi, mengejar Valletta ke arah kegelapan labirin.
"Shirou, tunggu!" Aki berteriak dengan nada penuh kekhawatiran. Namun, langkah Shirou tak berhenti.
Raul mendekati Aki dan menepuk pundaknya dengan lembut. "Aki, sudah kubilang... begitulah seorang pahlawan. Saat mereka telah membuat keputusan, tak ada yang bisa menghentikannya." Kata-katanya penuh penghormatan, meski ada sedikit kesedihan dalam suaranya.
Shirou menajamkan pendengarannya dengan mengaktifkan Reinforcement pada telinganya, berusaha menangkap suara langkah kaki yang menggema samar di antara dinding labirin yang sunyi. Dia berdiri diam beberapa saat, membiarkan indranya bekerja penuh. Akhirnya, suara langkah yang diseret—pelan namun jelas—menarik perhatiannya. Shirou yakin itu adalah Valletta.
Dia mulai bergerak, mengikuti arah suara tersebut dengan langkah-langkah cepat dan tenang. Di kejauhan, Valletta, yang masih terluka, menggerutu pelan. "Topeng sialan itu... Aku akan membalas dendam. Akan kusiksa dia hingga dia memohon-mohon untuk mati," katanya dengan nada kesal, sambil terus memegangi bahunya yang terluka.
Namun, telinganya yang tajam mendengar suara langkah kaki samar di belakangnya. Valletta menoleh cepat dan melihat sosok bertopeng tengkorak yang bergerak mendekatinya dengan kecepatan seperti bayangan yang melesat. Panik, dia memutuskan untuk berlari meskipun tubuhnya terluka. "Jangan harap kau bisa menangkapku!" geramnya sambil melompat ke depan.
Shirou tak memberi ampun, mengejar dengan tekad bulat. Valletta yang terjatuh terbaring di lantai sebentar, lalu dengan seringai licik, ia mengeluarkan sebuah bola kecil dari jaketnya. "Kau pikir bisa menyentuhku?" ejeknya sambil memutar bola tersebut. Dalam sekejap, pintu Orichalcum besar turun di antara mereka.
"Kau pikir kau bisa mengalahkanku, topeng bodoh?" Valletta mengejek dari balik pintu dengan seringai puas. "Sekarang kau terjebak, sama seperti sebelumnya!"
Akan tetapi, di balik topeng tengkoraknya, Shirou tersenyum tipis. Dia telah berhasil menggunakan tracing pada kunci bola itu sebelum Valletta menutup pintu. Dengan sekejap dia memahami asal-usul benda tersebut—bola mata keturunan Daedalus yang diubah menjadi alat untuk mengendalikan pintu Orichalcum. Dengan informasi itu, Shirou memprojeksikan replika kunci tersebut di tangannya.
Valletta mendengar suara klik dari pintu Orichalcum yang baru saja ia tutup. Ketika pintu itu mulai terangkat kembali, wajahnya berubah menjadi ekspresi panik. "Apa-apaan ini?! Bagaimana kau bisa membukanya?!" teriaknya, mengutuk dengan kasar.
Shirou melangkah maju dengan tenang, menunjuk Valletta dengan ujung jarinya. "Kuncimu... cukup mudah disalin," ujarnya dengan nada dingin. Dia memprojeksikan bola kunci itu di tangannya, memainkannya sebentar sebelum melemparkannya ke arah Valletta. Bola itu melayang dan mengenai wajah Valletta dengan bunyi pelan, membuatnya semakin marah.
"Bocah sialan!" Valletta mengumpat sambil mencengkram bola kunci tersebut. Namun, kini ia tidak lagi memandang Shirou sebagai ancaman remeh. Shirou, dengan sikap penuh percaya diri, menyiapkan senjatanya, bersiap untuk menghadapi pertempuran lain melawan Valletta.
Shirou melangkah mendekat dengan Kanshou di tangan kanannya dan Bakuya di tangan kirinya, kedua pedang kembar itu berkilauan samar dalam cahaya redup labirin. Setiap langkahnya terdengar jelas di koridor sempit, menciptakan ketegangan yang tak dapat dihindari.
Valletta menatap Shirou dengan mata yang memancarkan kepanikan. Dia tersandung ke belakang, mencoba melarikan diri, tetapi tubuhnya lemah akibat luka di bahunya yang terinfeksi kutukan dari senjatanya sendiri. Tanpa senjatanya, dia tahu dirinya berada di ujung tanduk. Dengan suara bergetar, dia mulai memohon, "Tunggu! Tunggu! Jangan bunuh aku! Aku... aku bisa memberimu informasi! Tentang Evilus... dan rencana kami menghancurkan Orario!"
Shirou berhenti sejenak, Kanshou dan Bakuya tetap terangkat dengan siap menyerang. Dia tidak menunjukkan emosi di balik topeng tengkoraknya, tetapi dalam hatinya, dia mempertimbangkan kata-kata Valletta. "Bicara sekarang," perintahnya dengan suara berat yang ia ubah dengan Alteration. Kanshou sedikit bergerak mendekat ke leher Valletta, membuat wanita itu menelan ludah.
"Aku... aku tidak bisa memberitahumu di sini!" Valletta mulai menggigil. "Bawa aku ke Finn! Dia yang harus mendengarnya!"
Shirou mengerutkan kening di balik topengnya. Dia tahu Valletta mencoba mengulur waktu, berharap sesuatu atau seseorang akan datang menyelamatkannya. Meski informasi tentang rencana Evilus sangat penting, membawa Valletta sebagai tahanan adalah risiko besar. Finn sudah terluka, dan kelompok mereka akan semakin terbebani jika harus melindungi dua orang yang tak berdaya.
Valletta melihat Shirou terdiam, mengira dirinya berhasil membuat sosok bertopeng itu ragu. "Kau tahu aku punya nilai! Tanpa aku, kau tak akan tahu rencana besar kami! Kau membutuhkan aku!" katanya dengan nada lebih percaya diri.
Namun, Shirou tetap tidak memberikan jawaban. Di dalam hati, dia sudah mengambil keputusan. Dia tak memiliki waktu untuk interogasi panjang atau risiko membawa Valletta. Musuh sekejam ini, yang tak ragu mengorbankan bawahannya sendiri, terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup.
Valletta akhirnya menyadari bahwa rencananya gagal. Frustrasi, dia memaki, "Kalau saja kau tidak muncul, aku tidak akan terjebak seperti ini! Dasar topeng sialan!"
Shirou mengangkat Kanshou tanpa berkata-kata. Dalam satu gerakan cepat dan presisi, pedangnya bergerak menuju leher Valletta kemudian dia terdiam selamanya. Tubuhnya jatuh ke tanah dengan bunyi berat.
Shirou berdiri di sana sejenak, menatap mayatnya. Dia tidak merasa puas, hanya lega bahwa ancaman ini telah berakhir. Memudarkan kembali Kanshou dan Bakuya menjadi prana, dia berbalik dan mulai berlari menuju arah Raul dan kelompok lainnya. Waktu adalah hal yang paling penting sekarang—mereka masih membutuhkan perlindungan, dan Finn masih membutuhkan pertolongan.