Chereads / Fate x Danmachi: The Sword Prince / Chapter 74 - Chapter 74

Chapter 74 - Chapter 74

Shirou terus melanjutkan misinya menghancurkan bunga-bunga pengintai Evilus di sepanjang lorong Knossos. Pisau-pisau hitam yang dia projeksikan melesat dengan presisi, memotong tangkai bunga-bunga itu hingga hancur menjadi serpihan kecil. "Hampir selesai di area ini," gumamnya sambil melangkah cepat, memeriksa setiap sudut ruangan dengan Structural Analysis untuk memastikan tidak ada jebakan tersembunyi.

Namun, perjalanan kali ini berbeda. Sepanjang jalan, Shirou mulai menemukan anggota Evilus yang tampak berjaga di titik-titik strategis. Mereka berdiri diam, seperti patung yang dipasang sebagai pengawas, namun Shirou tahu mereka bukan sekadar boneka.

"Aku tidak bisa mengambil risiko," pikir Shirou. Dengan gerakan cepat, dia memprojeksikan beberapa pisau lempar, lalu melemparkannya satu per satu ke arah anggota Evilus tersebut. Pisau-pisau itu menembus jantung targetnya dengan akurasi tinggi, membuat mereka terjatuh sebelum sempat menyadari apa yang terjadi.

Tapi kali ini Shirou lebih waspada. Dia segera melompat mundur setiap kali salah satu dari mereka roboh. Benar saja, beberapa detik setelah mereka terjatuh, tubuh mereka meledak, menghancurkan lantai di sekitarnya. "Mereka benar-benar tidak peduli pada nyawa," gumam Shirou sambil menghela napas frustrasi. "Seperti pion di papan catur yang siap dikorbankan tanpa ragu."

Setelah beberapa waktu, Shirou akhirnya tiba di jalan buntu yang tampak sepi. Namun, dia langsung menyadari keberadaan sekelompok anggota Evilus yang berkumpul di sana. Mereka berdiri dalam formasi longgar, tampak berbicara satu sama lain. "Kesempatan bagus," pikir Shirou.

Tanpa menunggu lama, Shirou memprojeksikan lima pisau lempar sekaligus, mengunci targetnya. Dengan sekali gerakan, dia melemparkannya, dan pisau-pisau itu melesat ke arah kelompok tersebut, mengenai sasaran mereka dengan sempurna. Ledakan beruntun terjadi, memenuhi ruangan dengan cahaya merah dan asap tebal.

"Mudah sekali," Shirou bergumam, namun perasaan puasnya tak bertahan lama.

Tiba-tiba, dia mendengar suara gemuruh di belakangnya. Ketika Shirou berbalik, dia melihat pintu Orichalcum besar turun perlahan, menutup jalan yang baru saja dia lewati. "Sial!" serunya sambil berlari menuju pintu tersebut, namun terlambat—pintu itu terkunci rapat dengan bunyi dentuman berat. Shirou mencoba menekan permukaannya, tapi kekuatannya tak cukup untuk membuka pintu Orichalcum tanpa alat atau kunci.

Dia memutar pandangannya, mengamati ruangan yang kini menjadi jebakan sempurna untuk mengurungnya. Ledakan-ledakan tadi telah memusnahkan semua anggota Evilus di sekitar, menyisakan puing-puing dan dinding yang terasa semakin menekan.

"Mereka sengaja," Shirou bergumam, akhirnya menyadari rencana musuh. "Mereka menggunakan rekan mereka sendiri sebagai umpan untuk memancingku ke sini."

Shirou mengepalkan tangannya, rasa kesal mulai memenuhi dirinya. "Mereka bahkan tak peduli dengan nyawa anggota mereka sendiri," pikirnya dengan marah. "Ini bukan sekadar kebencian atau ideologi... ini kegilaan."

"Aku harus tetap tenang," bisiknya pada diri sendiri. "Ada jalan keluar dari sini, dan aku akan menemukannya." Dengan tekad yang semakin kuat, Shirou memfokuskan pikirannya.

Suara tawa seorang wanita bergema dari balik pintu Orichalcum yang baru saja menutup rapat, menggema di ruang sempit tempat Shirou terkurung. Tawa itu bernada mengejek, seolah menikmati posisinya yang menguntungkan.

"Jadi, kau akhirnya terjebak, ya, Topeng?!" ejek suara itu penuh rasa puas. "Berani-beraninya kau merusak pengintai kami! Pak tua Barca bahkan menyuruhku turun tangan untuk membereskan ulahmu yang menyebalkan ini."

Shirou memejamkan mata sesaat, mencatat nama Barca dalam pikirannya. Nama itu tampaknya milik salah satu tokoh penting di dalam organisasi Evilus. Wanita ini, yang kemungkinan besar juga seorang petinggi, jelas adalah orang yang telah menutup pintu untuk mengurungnya.

Suara hasil dari Alteration Shirou terdengar datar, meskipun di baliknya ada kemarahan yang mulai terpendam. "Kenapa kau mengorbankan anak buahmu hanya untuk menjebak satu orang sepertiku? Apa nyawa mereka begitu tak berarti?"

Tawa wanita itu pecah lagi, kali ini lebih keras dan penuh penghinaan. "Pffft... peduli pada nyawa musuh, ya? Kau ini siapa, pahlawan moral? Hah! Mereka sendiri ingin mati. Kau pikir aku memaksa mereka?"

Shirou terdiam, mencoba memahami. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara dingin.

Wanita itu menjawab dengan nada kejam yang penuh kebanggaan. "Dewa kami, Thanatos, sudah menjanjikan mereka. Saat mereka mati, mereka akan bertemu kembali dengan orang yang mereka cintai di akhirat. Kau tak perlu merasa kasihan. Itu adalah keinginan mereka sendiri—dan mereka melayaninya dengan sukarela."

Mata Shirou melebar, otaknya memproses informasi itu dengan cepat. Jadi, dewa Thanatos menggunakan janji palsu ini untuk memanipulasi mereka? Membuat mereka mematuhi perintah tanpa ragu untuk mengorbankan nyawa mereka sendiri?

Wanita itu menambahkan dengan nada sarkastik, seolah menikam lebih dalam. "Tapi kau tahu apa yang paling lucu? Setelah reinkarnasi, mereka akan melupakan segalanya. Jadi, semua ini pada akhirnya tidak berarti apa-apa. Mereka berjuang, mereka mati... hanya untuk dilupakan oleh waktu."

Tawa dingin wanita itu kembali terdengar, bergema di balik pintu. Setiap nada tawanya adalah cambuk bagi Shirou yang merasakan amarahnya perlahan memuncak. Rahangnya mengeras, dan tangannya mencengkeram gagang pisau proyeksi yang telah ia pegang erat.

Shirou bergumam pada dirinya sendiri, "Jadi ini cara mereka mengendalikan pikiran pengikutnya... menyelubungi mereka dalam kebohongan untuk menutupi keputusasaan."

Tawa wanita itu perlahan mereda. "Sudah, nikmati saja waktumu di sana, Topeng. Kami akan memikirkan apa yang akan kami lakukan padamu nanti. Mungkin kami akan membiarkanmu bertemu Thanatos langsung. Ah, mimpi indah, ya?"

Shirou mengepalkan tangan lebih erat, suara logam proyeksi di tangannya memekik halus. Ia menahan dorongan untuk melampiaskan amarahnya pada pintu Orichalcum itu. Dalam hatinya, ia bersumpah untuk tidak hanya menghentikan wanita itu tetapi juga membongkar kebohongan yang selama ini menyelimuti para pengikut Evilus.

Setelah suara langkah wanita itu menghilang di balik pintu Orichalcum, Shirou berdiri di tengah ruangan buntu itu, diam dalam renungan. Kata-kata wanita itu masih terngiang di telinganya, menyulut amarah yang bergejolak di dadanya. "Dewa Thanatos... dia tidak berbeda dengan dewa-dewa di dunia asalku," pikir Shirou dengan getir. "Melihat jiwa makhluk fana hanya sebagai mainan, lalu memperlakukan mereka sesuka hati, seolah nyawa tidak lebih dari alat untuk hiburan."

Namun, pikiran Shirou tidak berhenti di sana. Ia menenangkan dirinya, memikirkan sisi lain dari dunia ini. Tidak semua dewa seperti Thanatos. Loki terlintas di benaknya, dewi yang memimpin Familia tempat ia sekarang berada. Meskipun Loki sering terlihat santai, ceroboh, bahkan terlalu akrab dengan minuman keras, ia tahu betapa besar perhatian Loki kepada anggota Familianya. Setiap keputusan yang Loki buat selalu didasari keinginan untuk melindungi dan memperkuat mereka. Shirou bersyukur karena bergabung dengan Loki Familia, merasa bahwa ia berada di tangan yang tepat.

Pikirannya kemudian beralih ke Hestia. Shirou teringat saat pertama kali membantu Hestia menjual Jagamaru-kun di pinggir jalan. Hestia, dengan segala keterbatasannya sebagai dewi yang tidak memiliki banyak sumber daya, tetap memberikan segalanya demi Bell. "Dia mungkin dewi yang paling tulus yang pernah aku temui," pikir Shirou sambil tersenyum kecil. Hestia tidak memandang anggotanya sebagai alat untuk kekuasaan, melainkan sebagai keluarga yang harus dicintai dan dilindungi.

Kemudian, muncul bayangan Syr. Shirou tahu Syr menyembunyikan identitas aslinya, bahwa dia bukanlah manusia biasa. Meski Shirou tidak tahu siapa sebenarnya dewi yang bersembunyi di balik wujud pelayan itu, ia bisa merasakan kejujuran dalam tindakannya. Syr menikmati pekerjaannya di Hostess of Fertility, melayani pelanggan dengan senyum dan keramahan. Shirou teringat bagaimana aroma khas Syr, wangi bunga musim dingin yang lembut, selalu merekah saat dia bekerja atau berbincang dengan teman-temannya di restoran. Wangi itu, bagi Shirou, adalah bukti nyata ketulusan dan kebahagiaan Syr yang berasal dari hatinya.

Shirou mengepalkan tangannya pelan. "Tidak semua dewa jahat. Tidak adil rasanya melabel mereka semua sebagai makhluk egois yang hanya peduli pada kesenangan mereka sendiri," gumamnya pada dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa di sisi lain, ada dewa-dewi seperti Loki, Hestia, dan bahkan Syr yang mencintai dunia fana ini dengan cara mereka masing-masing.

Namun, musuh yang sesungguhnya telah jelas bagi Shirou. "Bukan semua dewa yang harus kulawan, tetapi dewa-dewi seperti Thanatos. Mereka yang memanipulasi dan menghancurkan dengan dalih takdir atau kehendak ilahi." Dengan tekad baru yang mengalir dalam dirinya, Shirou menghela napas panjang, lalu mengangkat kepalanya. "Baiklah," gumamnya sambil melihat ke arah pintu yang menutup jalannya, "aku harus keluar dari sini. Tidak ada waktu untuk meratapi kekejian mereka. Ada banyak hal yang harus aku lakukan."

Shirou mengaktifkan Structural Analysis dan menempatkan telapak tangannya di permukaan dingin pintu Orichalcum yang menjulang di depannya. Ia memejamkan mata, merasakan komposisi logam itu. "Ini Orichalcum, salah satu bahan terkuat di dunia ini," pikirnya. Ketebalan pintu itu, dikombinasikan dengan sifatnya yang nyaris tak bisa ditembus, membuat Shirou menyadari bahwa membukanya dengan kekuatan biasa adalah hal mustahil.

Shirou bergumam pelan sambil merenung, "Aku bisa saja menggunakan Broken Phantasm untuk menghancurkannya, tapi di ruang sempit seperti ini? Ledakannya pasti akan menyapu semuanya, termasuk aku sendiri." Dia mengepalkan tangan dengan frustrasi. Teringat bagaimana sosok bertopeng tadi dengan mudah mengunci pintu itu dari jauh menggunakan bola kunci, Shirou kembali menyesali keputusannya yang tak sempat menganalisis benda itu. "Kalau saja aku bisa mendapatkan kunci itu... Aku akan memastikan untuk memprojeksikannya segera setelah aku melihatnya lagi."

Mengingatkan dirinya akan opsi lain, Shirou mulai berpikir lebih keras. "Pintu ini terlalu kuat untuk dihancurkan langsung. Mungkin... jika aku bisa mengeborinya?" Namun, gagasan itu segera dia singkirkan. Dia tahu Orichalcum bukan logam biasa yang bisa ditembus dengan alat mekanis. Dia mendesah, merasa ide itu tidak mungkin.

Tetapi, saat kata "bor" terlintas lagi di pikirannya, sebuah ide mulai tumbuh. Mata Shirou membelalak saat dia mengingat salah satu senjata yang pernah dia pelajari melalui Tracing—Caladbolg, senjata berbentuk pedang yang dirancang dengan daya tembus luar biasa. Namun, berbeda dari alterasi Archer yang menjadikannya anak panah, Shirou memutuskan untuk memproyeksikan bentuk aslinya: pedang dengan bilah spiral yang menyerupai bor raksasa.

"Mungkin ini bisa berhasil," gumam Shirou sambil memanggil prana ke tubuhnya, menyiapkan proses Tracing. "Trace... on."

Sebuah pedang besar muncul di tangannya, dengan bilah spiral yang tampak begitu kokoh. Shirou mengalirkan prana ke Caladbolg, dan dalam sekejap, bilah spiral itu mulai berputar, menciptakan getaran halus di tangannya. Shirou tersenyum kecil. "Ini seharusnya cukup untuk melubangi pintu itu. Mari kita lihat apakah Orichalcum sekuat yang mereka katakan."

Shirou memegang erat gagang Caladbolg, prana mengalir deras ke senjata itu, membuat bilah spiralnya berputar dengan kecepatan tinggi. Ketika ujung pedang spiral itu bersentuhan dengan permukaan pintu Orichalcum, terdengar suara gerungan keras yang menggema di seluruh ruangan sempit itu. Percikan api memercik ke segala arah, menerangi kegelapan di sekitar Shirou. Setiap tekanan yang dia berikan pada pedang itu menciptakan bunyi memekakkan telinga, seolah logam itu memprotes.

Namun, usaha Shirou tidak sia-sia. Setelah beberapa menit, dia melihat goresan pertama pada permukaan pintu. Dengan penuh tekad, Shirou terus mengebor, memfokuskan seluruh tenaganya pada satu titik. Meski butuh waktu lama dan membuat tangannya gemetar karena getaran, goresan itu semakin dalam dan melebar, akhirnya mulai menciptakan lubang kecil.

Prananya mulai terasa terkuras, tubuhnya basah oleh keringat yang mengalir di pelipis dan lehernya. Jam demi jam berlalu, tetapi Shirou tidak menyerah. Dia tahu, satu-satunya cara untuk keluar dari perangkap ini adalah dengan menghancurkan pintu itu sendiri. Setelah usaha tanpa henti, akhirnya sebuah lubang cukup besar terbentuk di tengah pintu, cukup untuk tubuhnya melewatinya, meski harus merangkak.

Shirou berhenti sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Akhirnya," gumamnya sambil mengusap keringat dari dahinya. Dia memadamkan putaran Caladbolg, membiarkan senjata itu berubah menjadi prana dan menghilang. Dengan hati-hati, dia mendekati lubang yang telah dibuatnya.

Mengintip melalui lubang, Shirou mengamati lorong di luar. Tidak ada tanda-tanda pergerakan musuh, tidak ada jebakan yang terlihat. Ini membuatnya heran. "Aneh," pikirnya. "Setelah semua kebisingan tadi, kenapa tidak ada yang datang menyergap?" Meski merasakan ada yang tidak beres, dia memutuskan untuk keluar.

Shirou merangkak melalui lubang sempit itu dengan hati-hati. Tubuhnya sedikit tergores oleh pinggiran lubang, tetapi dia berhasil keluar. Setelah berada di luar, dia berdiri tegak, membersihkan debu dari jubah hitamnya. Semua senjata yang dia projeksikan sebelumnya dia hilangkan, memastikan dia siap untuk langkah berikutnya.

Sambil menarik napas untuk mengembalikan energinya, Shirou mulai berpikir. "Bunga pengintai di sekitar sini sudah aku hancurkan. Mereka tidak mungkin buta terhadap posisiku tadi. Kenapa mereka tidak datang menyerang?" Wajahnya tiba-tiba berubah serius. Kemungkinan besar alasan mereka tidak muncul adalah karena mereka sedang menyerang anggota Loki Familia yang lain.

Kesadaran itu membuat Shirou mengepalkan tinjunya. "Aku harus bergerak cepat." Dengan tubuh yang masih lelah tetapi pikiran yang tajam, Shirou segera memutuskan untuk mencari jalan kembali menuju rekan-rekannya sebelum semuanya terlambat.

Shirou berhenti sejenak di lorong sempit dan mengaktifkan Reinforcement pada kedua telinganya. Prana mengalir lembut, meningkatkan sensitivitas pendengarannya hingga suara terkecil sekalipun terdengar jelas. Suara langkah kaki yang jauh, gemerincing logam dari senjata, dan—yang paling penting—suara pertempuran mulai masuk ke telinganya.

"Dari bawah," gumam Shirou sambil menajamkan fokusnya pada arah suara itu. Dentingan senjata dan gemuruh sihir terdengar jelas. Tidak diragukan lagi, pertempuran sedang berlangsung di lantai lebih dalam Dungeon.

Shirou segera memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, tetap menggunakan strateginya untuk selalu memilih jalan kanan. Setiap belokan membawa ketegangan baru, tetapi dia menjaga kewaspadaannya dengan mengaktifkan Structural Analysis secara berkala. Dengan teknik itu, dia dapat mendeteksi jebakan yang tersembunyi di sepanjang jalan dan menghindarinya dengan mudah.

Di beberapa sudut, Shirou menemukan bunga pengintai yang masih utuh. Dia memprojeksikan pisau kecil, melemparkannya dengan presisi, menghancurkan bunga-bunga itu satu per satu. "Setidaknya mereka tidak akan mendapatkan informasi lebih banyak lagi," pikirnya sambil melanjutkan langkah.

Lorong demi lorong dilewati tanpa adanya anggota Evilus yang terlihat. Hal ini semakin memperkuat keyakinannya bahwa mereka semua mungkin sudah turun ke lantai bawah untuk menyerang kelompok Loki Familia. Pikiran itu membuat Shirou semakin mempercepat langkahnya, meskipun dia tetap berhati-hati.

Akhirnya, di ujung salah satu lorong, Shirou menemukan tangga yang menurun ke lantai lebih dalam. Dia berhenti di puncak tangga, menatap ke bawah. "Labirin ini benar-benar terhubung dengan Dungeon," pikirnya. Dalam hatinya, dia merasa waspada untuk turun lebih dalam, mengetahui bahaya yang mungkin menanti. Namun, suara pertempuran yang semakin jelas membuatnya tidak punya pilihan.

Shirou menggenggam tangannya erat, menguatkan tekadnya. "Aku tidak akan membiarkan mereka menghadapi ini sendirian," katanya lirih. Dengan hati-hati, dia mulai menuruni tangga, setiap langkahnya penuh kewaspadaan, bersiap menghadapi apa pun yang ada di bawah sana.

Kali ini, Shirou mendapati bahwa tangga yang ia turuni tidak berhenti hanya di satu lantai, tetapi membentang ke beberapa lantai lebih dalam. Langkahnya mantap namun tetap waspada. Setiap kali mencapai dasar tangga, ia berhenti sejenak untuk menajamkan pendengarannya dengan Reinforcement pada telinganya, mencoba menangkap suara pertempuran yang semakin intens.

Setelah turun beberapa tingkat, suara dentingan senjata, raungan monster, dan teriakan mulai terdengar lebih jelas. Shirou merasa yakin bahwa ini adalah lantai yang ia tuju. Suara pertarungan yang begitu dekat memicu rasa urgensinya. Ia mempercepat langkahnya, melesat menuju sumber suara.

Sepanjang jalan, Shirou tetap setia pada strateginya. Bunga-bunga pengintai yang tersebar di dinding dan langit-langit segera dihancurkan menggunakan pisau lempar yang ia projeksikan. Namun kali ini, jalan yang ia lalui tidak lagi kosong. Beberapa anggota Evilus berjubah putih muncul, memblokir jalannya dengan ekspresi fanatik di balik topeng mereka.

"Minggir," Shirou berkata dingin, memprojeksikan pisau kecil yang bersinar dengan aura mematikan. Salah satu anggota Evilus dengan gila tertawa sambil menyalakan bom yang terpasang di tubuhnya, berniat meledakkan diri mereka.

Shirou hanya menghela napas. Dengan kecepatan luar biasa, ia melemparkan pisau ke arah bom tersebut sebelum mereka sempat mendekatinya. Ledakan keras menggema, mengguncang lorong, tetapi Shirou sudah melangkah mundur dengan tenang, menghindari ledakan.

Di depannya, Violas—monster bunga raksasa karnivora dengan daun seperti rahang tajam—tiba-tiba muncul dari lantai dan dinding. Shirou berhenti sejenak, mengamati gerakan monster itu. "Sepertinya mereka tidak ingin aku mendekat," gumamnya.

Shirou memprojeksikan Inferno Arrow, anak panah bersinar merah dengan aura panas yang menyala. Ia menarik busur yang ia projeksikan, membidikkan panahnya ke arah kumpulan Violas yang bergerak mendekat dengan kecepatan mengerikan.

"Break," Shirou melafalkan perlahan, mengalirkan prana ekstra ke Inferno Arrow, memaksa senjata itu masuk ke mode penghancuran diri. Ia melepaskan tembakan, dan Inferno Arrow meluncur cepat, menembus udara seperti kilatan api. Saat menyentuh salah satu Violas, panah itu meledak dengan dahsyat, menciptakan gelombang panas yang membakar habis monster bunga karnivora tersebut.

Ledakan itu cukup kuat untuk membuat monster yang tersisa mundur sejenak, memungkinkan Shirou melanjutkan langkahnya. Meski lelah, ia terus bergerak, membiarkan jejak monster yang terbakar dan Evilus yang tak berdaya di belakangnya.

"Aku harus segera sampai ke sumber suara itu," kata Shirou dalam hati, menggenggam erat busur projeksinya dan terus bergerak dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Shirou akhirnya melihat sekumpulan petualang merapat ke dinding dari kejauhan. Dengan hati-hati, ia memperlambat langkah, mencoba memastikan siapa mereka sebelum mendekat. Menggunakan Presence Concealment, Shirou tetap tak terlihat oleh mereka.

Ketika jaraknya cukup dekat, ia mengenali sosok Raul yang sedang duduk terpuruk, bahunya ditepuk-tepuk oleh Aki yang mencoba menyemangatinya. Di sisi lain, Lisa dan Lloyd sibuk memeriksa luka-luka Finn, yang tampak pingsan dengan tubuh penuh perban, kepalanya bersandar di paha Lisa. Shirou terkejut melihat kapten mereka dalam kondisi seperti ini. Finn, yang ia tahu sebagai petualang level 6 yang kuat dan berpengalaman, tampak begitu rapuh. Shirou tak bisa membayangkan siapa yang mampu melukai Finn hingga sejauh ini, dan hanya satu nama yang terlintas di pikirannya: Revis.

Aki mengguncang bahu Raul yang terlihat putus asa, suaranya terdengar jelas, "Raul, kau tidak boleh menyerah! Ingat cerita-cerita pahlawan yang selalu kau kagumi? Finn adalah salah satu dari mereka. Apa kau mau cerita itu berakhir di sini?"

Raul, yang wajahnya masih penuh keraguan, akhirnya menarik napas panjang. Dengan mata yang kini penuh tekad, ia berdiri dan mulai menyemangati anggota lainnya, walaupun lidahnya sempat tergigit saat membuka mulut. "Kita... kita mungkin hanya figuran," katanya dengan nada gemetar, tetapi semakin yakin, "Tapi figuran juga punya peran penting! Kita bisa menjadi penolong bagi tokoh utama!"

Mendengar itu, Shirou tersentuh. Dia memutuskan saatnya muncul dan membantu mereka. Dengan tenang, ia memadamkan Presence Concealment dan berjalan ke arah kelompok itu. Namun, efeknya tidak seperti yang ia harapkan.

Raul, yang pertama kali melihat Shirou, langsung melompat mundur sambil menunjuk. "Hantu! Hantu bertopeng tengkorak!" serunya panik.

Aki yang awalnya tegang, melihat lebih jelas, tiba-tiba tertawa. "Raul, itu bukan hantu. Itu Shirou," katanya sambil terkekeh. Ia lalu menatap Shirou yang masih mengenakan topeng tengkoraknya dan menambahkan dengan nada lega, "Akhirnya kita selamat. Tokoh utama telah tiba."

Shirou melepas topengnya dan tersenyum kecil, meski wajahnya masih serius. "Aku bukan tokoh utama," jawabnya tenang, "Tapi aku akan memastikan kita keluar dari sini dengan selamat."

Semua anggota kelompok itu mulai tenang, dan harapan kembali muncul di mata mereka. Kehadiran Shirou membawa semangat baru bagi mereka, terutama Raul, yang kini berdiri lebih tegak dari sebelumnya.