Chereads / Fate x Danmachi: The Sword Prince / Chapter 66 - Chapter 66

Chapter 66 - Chapter 66

Lantai 19 semakin menjadi medan unjuk kebolehan Shirou. Dengan gerakan yang tenang namun penuh presisi, Shirou memprojeksikan senjata demi senjata dari udara, masing-masing meniru kualitas senjata yang dibuat oleh pandai besi level 3 dari Hephaestus Familia. Pedang, tombak, dan kapak melayang di udara sebelum meluncur dengan kecepatan tinggi, menghancurkan monster seperti Bugbear, Lizardman, Battle Boar, dan Mad Beetle hanya dengan satu serangan.

Setiap kali monster mati, tubuh mereka hancur menjadi abu, menyisakan magic stone dan kadang beberapa drop item. Riveria, yang selama ini tak perlu menggunakan sihirnya, beralih peran menjadi Supporter untuk Shirou. Ia memungut magic stone dan drop item sambil mengamati Shirou dengan tatapan penuh rasa ingin tahu dan kekaguman.

Riveria akhirnya menghampiri Shirou sambil membawa beberapa magic stone. "Shirou," panggilnya dengan nada penasaran. "Aku ingin tahu... dengan semua ini, seberapa banyak senjata yang bisa kau projeksi sebelum kau kehabisan energi sihir?"

Shirou menghentikan sejenak gerakannya, mengamati medan yang kini kosong dari monster. Ia menoleh ke arah Riveria dengan ekspresi santai. "Kalau aku hanya mengandalkan Od yang ada di tubuhku sendiri," jawabnya, "mungkin aku bisa memprojeksikan ratusan senjata dengan kualitas seperti ini sebelum energiku habis."

Mata Riveria melebar. "Ratusan?" tanyanya dengan nada tak percaya. Tangannya yang menggenggam magic stone bahkan sedikit gemetar. Seorang penyihir normal biasanya sudah kelelahan setelah beberapa kali menggunakan sihir... tapi Shirou bisa menghasilkan ratusan senjata? pikirnya.

Namun rasa penasaran itu belum selesai. "Lalu," lanjut Riveria dengan sedikit menahan nafas, "kalau kau menggunakan Mind—energi sihir dari Falna—dengan kapasitasmu sebagai petualang level 4, berapa banyak yang bisa kau projeksi?"

Shirou menggaruk belakang kepalanya, tampak berpikir sejenak sebelum menjawab dengan nada santai, "Puluhan ribu."

Riveria hampir kehilangan keseimbangannya mendengar angka itu. "Puluhan ribu?" ulangnya, seolah memastikan ia tak salah dengar. "Bagaimana itu mungkin?"

Shirou tersenyum kecil melihat reaksi Riveria yang terkejut. "Itu karena elemennya," jelasnya. "Elemenku adalah pedang. Itu membuatku tidak membutuhkan terlalu banyak energi untuk memprojeksinya. Elemen ini sangat sesuai dengan diriku, sehingga efisiensi Magecraft-ku untuk menciptakan senjata meningkat berkali lipat dibandingkan dengan Magecraft lain."

Riveria menatap Shirou dengan tatapan heran sekaligus kagum. Elemen pedang? Bahkan konsep seperti itu terdengar asing... tetapi Shirou membuatnya terasa masuk akal. Tidak hanya kemampuannya unik, efisiensinya juga di luar dugaan.

"Aku... aku belum pernah mendengar seseorang seperti dirimu sebelumnya," kata Riveria akhirnya, mencoba mencerna semua informasi itu. "Magecraft-mu benar-benar... melampaui batas apa yang kuketahui."

Shirou tersenyum kecil sambil menatap medan yang kosong di depan mereka. "Itu hanya teknik yang kupelajari dari dunia tempat asalku," katanya. "Di sana, aku bukan siapa-siapa. Di sini, aku hanya mencoba memanfaatkannya sebaik mungkin."

Riveria menggenggam tongkat sihirnya lebih erat, merasa bahwa ia belajar lebih banyak tentang Shirou setiap menit yang mereka habiskan bersama. Orang ini bukan hanya guru Magecraft-ku... dia juga memiliki potensi luar biasa yang bisa mengubah banyak hal di Orario.

Dengan semangat baru, Riveria melangkah maju, memungut sisa magic stone yang ada di tanah. "Baiklah," katanya sambil tersenyum tipis, "kalau begitu, tunjukkan padaku lebih banyak tentang kekuatan elemen pedangmu. Kita belum selesai di lantai ini, kan?"

Shirou tertawa kecil sambil memunculkan lagi pedang-pedang di sekitarnya. "Kita bahkan baru mulai," balasnya dengan nada ringan, melangkah bersisian dengan Riveria.

Setelah berjalan beberapa waktu, Shirou dan Riveria akhirnya mencapai ujung jalan batu di lantai 19. Riveria mengangkat tangan, menunjuk ke depan. "Itu gua terakhir," katanya dengan suara tenang, "tempat untuk turun ke lantai 20."

Shirou mengangguk, mengamati gua yang menganga seperti mulut raksasa. Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih dekat, suara gemuruh terdengar dari dalam gua. Beberapa detik kemudian, kawanan monster mulai bermunculan—Bugbear, Lizardman, Battle Boar, dan berbagai jenis lainnya menyerbu keluar dalam jumlah yang membuat tempat itu seolah banjir monster.

Riveria menyipitkan mata, menilai situasi. "Sepertinya ini monster parade," ujarnya. "Mungkin ini yang melukai kelompok petualang tadi."

Shirou memproyeksikan pedang-pedang di sekelilingnya dengan cepat, senjata-senjata itu muncul satu per satu dengan kilauan cahaya prana. "Sepertinya begitu," jawab Shirou sambil memosisikan dirinya. "Baiklah, aku akan menangani ini."

Riveria mundur beberapa langkah, memberikan Shirou ruang. "Aku akan mendukungmu dari sini jika diperlukan," katanya, bersiap dengan tongkat sihirnya.

Shirou hanya tersenyum kecil. "Aku rasa ini tidak akan lama."

Pedang-pedang melayang di udara, mengelilingi Shirou seperti gerombolan burung pemangsa, lalu dengan satu gerakan tangannya, mereka meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa. Senjata-senjata itu menghujani monster-monster yang menyerbu, menembus kulit tebal Bugbear, merobohkan Battle Boar, dan memotong Lizardman sebelum mereka sempat mendekat.

Shirou merasakan energi sihir yang mengalir di tubuhnya. Sekarang aku mengerti bagaimana rasanya menjadi Gilgamesh... Menghujani lawan dengan senjata begini terasa begitu natural. Jika dulu aku harus berhitung cermat karena Od-ku terbatas, sekarang dengan Falna, aku memiliki cadangan energi yang hampir tak terbatas.

Monster-monster yang keluar dari gua dalam jumlah ratusan itu tersapu habis. Tidak satu pun berhasil mendekati mereka. Dalam beberapa menit, hanya abu dan magic stone yang tersisa di lantai.

Riveria, yang menyaksikan semuanya dengan penuh perhatian, akhirnya bertepuk tangan perlahan. "Kau melakukannya dengan sangat baik," pujinya sambil tersenyum tipis. "Kalau Tiona melihat ini, aku yakin dia akan semakin setuju dengan julukan Sword Prince untukmu."

Shirou menoleh dengan ekspresi bingung. "Sword Prince? Aku rasa itu berlebihan," katanya, menggaruk bagian belakang kepalanya. "Aku hanya seorang butler, bukan seorang pangeran."

Riveria menahan senyumnya. Namun, pikirannya melayang ke julukan lain yang membuatnya risih: Sword Princess. Sebagai orang yang dekat dengan Aiz, ia tahu betapa julukan itu membuat Shirou dan Aiz tampak serasi.

Riveria menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. "Kalau kau bertanya padaku," katanya sambil menatap Shirou, "kau lebih dari sekadar 'Sword Prince'. Mungkin sesuatu seperti Sword King... atau bahkan Sword Emperor lebih cocok untukmu."

Shirou tertawa kecil. "Sword Emperor? Itu terlalu tinggi untuk seseorang seperti aku."

Riveria hanya tersenyum, tapi dalam hatinya ia berpikir, Tidak, Shirou. Kau jauh lebih besar dari yang kau kira. Kau hanya belum menyadarinya.

Mereka melanjutkan perjalanan, langkah mereka mantap menuju lantai 20, sementara Shirou merapikan pedang-pedangnya kembali menjadi prana, meninggalkan jejak kemenangan di belakang mereka.

Setelah meninggalkan gua terakhir, Shirou dan Riveria melanjutkan perjalanan menyusuri jalan berbatu yang kini terasa begitu lengang. Tidak ada suara monster atau tanda-tanda petualang lain di sekitar mereka. Suasana hening ini menciptakan atmosfer yang sedikit aneh, terutama di Dungeon yang biasanya penuh aktivitas.

Riveria memecah keheningan. "Sepertinya monster parade tadi benar-benar berasal dari lantai 20," katanya sambil melirik Shirou di sebelahnya. "Dengan semua monster berkumpul menjadi satu kelompok besar seperti itu, tidak heran setelah kau menghabisinya, lantai ini jadi terasa sepi."

Shirou mengangguk, langkahnya tetap mantap. "Itu masuk akal. Petualang lain mungkin juga sudah mendengar tentang parade itu dan memutuskan untuk menghindari lantai ini sama sekali. Jadi, kita tidak hanya membersihkan monster, tetapi juga memastikan tidak ada keramaian."

Riveria tersenyum tipis. "Kau benar-benar efisien, Shirou. Sekarang, sepertinya kita memiliki lantai ini untuk diri kita sendiri."

Shirou hanya tertawa kecil. "Kalau begitu, waktunya kau mengetes sihirmu. Ada tempat khusus yang kau pikirkan?"

Riveria mengangguk, matanya berbinar dengan semangat. "Ada satu tempat yang cocok. Ikuti aku," katanya sambil menunjuk ke arah kanan, menuju sebuah jalur kecil yang menurun.

Shirou mengikuti langkah Riveria, memperhatikan bagaimana dia memimpin dengan penuh keyakinan. Pikirannya melayang sesaat. Riveria ini benar-benar serba bisa. Dia tahu jalan di Dungeon seperti telapak tangannya, seorang strategist yang hebat, dan sekarang dia juga ingin meningkatkan Magecraft-nya. Rasanya seperti aku yang justru mendapat pelajaran darinya.

Mereka akhirnya tiba di sebuah tebing yang tidak terlalu tinggi. Dari tempat itu, mereka bisa melihat pemandangan lantai 20 yang dipenuhi dengan pohon-pohon raksasa dan sungai yang mengalir di kejauhan.

"Di sini," kata Riveria, menunjuk ke tanah yang lapang. "Tempat ini cukup luas untukku mencoba sihir es tanpa merusak apa pun di sekitarnya."

Shirou mengangguk, meletakkan tas besar supporternya di tanah. "Tempat ini memang sempurna," katanya sambil memandang ke sekeliling. "Kau siap?"

Riveria menghela napas panjang, mengumpulkan fokusnya. "Siap," jawabnya dengan senyum tipis. Namun, di dalam hatinya, ada rasa gugup kecil. Shirou selalu percaya aku bisa melampaui batas diriku. Hari ini, aku harus membuktikan itu.

Shirou, yang memperhatikan perubahan ekspresi Riveria, berkata dengan nada lembut, "Tidak perlu terlalu tegang. Kita di sini untuk belajar, bukan untuk bertanding."

Riveria mengangguk lagi, merasa lebih tenang mendengar kata-kata Shirou. Dia mengambil langkah maju, berdiri dengan anggun di tengah area itu, bersiap untuk merapalkan sihirnya. "Baiklah," katanya, memegang tongkat sihirnya erat-erat. "Aku akan mulai sekarang."

Shirou mengambil posisi sedikit di belakang Riveria, bersiap mengamati dengan cermat setiap detail dari sihir yang akan dia gunakan. Ini akan menarik, pikirnya sambil tersenyum kecil. Aku penasaran sejauh mana Reinforcement bisa meningkatkan sihir seorang High Elf.

Riveria berdiri tegap di atas tebing, tongkat sihirnya tergenggam erat di tangannya. Udara di sekitar terasa dingin saat ia mulai merapalkan Wynn Fimbulvetr, sihir es khasnya yang menghasilkan bongkahan es besar dan kokoh. Lingkaran sihir hijau giok muncul di bawah kakinya, menyala dengan intens saat mantra selesai. Sebuah gunungan es menjulang di depan mereka, memanjang dan berkilauan di bawah cahaya biru lumut Dungeon.

Riveria menoleh ke Shirou yang berdiri di belakangnya. "Itu tanpa Reinforcement," katanya dengan nada bangga namun santai, memastikan Shirou melihat hasil normal dari sihirnya.

Shirou mengangguk sambil tersenyum. "Baik, sekarang waktunya mencoba dengan Reinforcement. Lakukan seperti yang kau pelajari."

Riveria menarik napas dalam-dalam. Kali ini, dia menyalurkan prana ke tongkat sihirnya terlebih dahulu, memvisualisasikan alirannya seperti sungai yang kuat, mengalir menuju lingkaran sihir yang baru terbentuk di bawahnya. Mata Riveria fokus, dan mantra yang sama ia rapalkan, tetapi dengan tambahan Reinforcement Magecraft yang diajarkan Shirou.

Sebuah gemuruh terdengar saat gunungan es baru terbentuk, jauh lebih tinggi dan besar dari sebelumnya. Es itu tidak hanya lebih kokoh, tetapi juga memiliki pola kristal yang lebih tajam dan indah. Perbedaannya begitu jelas sehingga Riveria tak bisa menyembunyikan senyumnya.

"Hebat!" seru Shirou, mengagumi perbedaan yang dihasilkan oleh Reinforcement. "Sekarang, mari kita ukur perbandingannya menggunakan Structural Analysis."

Riveria mendesah kecil, memasang ekspresi pura-pura kelelahan. "Bagaimana kalau aku istirahat dulu sebentar? Rasanya seperti aku baru saja menghancurkan seluruh lantai Dungeon," katanya dengan nada menggoda.

Shirou terkekeh dan menggeleng. "Riveria, aku tahu itu tidak membuatmu lelah sedikit pun. Istirahatnya nanti setelah kau mengukur esmu," balasnya dengan nada sarkastik yang lembut.

Riveria mengangkat bahu dengan pura-pura malas, tetapi akhirnya melompat turun dari tebing menuju gunungan esnya. Mendarat dengan anggun, dia memandang ke atas, lalu memutar tubuhnya dan memanggil Shirou. "Kau tidak ikut? Mengukur ini bersama akan lebih cepat."

Shirou mengangkat tangan sambil tersenyum. "Aku punya sesuatu yang ingin kucoba dulu. Jadi, kau harus mandiri lagi, ya?"

Riveria mendengus pelan, tetapi matanya tetap bersinar lembut. "Baiklah, Shirou-sensei," katanya dengan nada menggoda sambil mengarahkan tongkat sihirnya ke gunungan es. Apa pun yang dia ucapkan, rasanya aku selalu ingin mengikutinya. Apa ini yang namanya terinspirasi? Atau... pikir Riveria sambil mulai menggunakan Structural Analysis untuk mempelajari hasil sihirnya.

Di atas tebing, Shirou memperhatikan Riveria sambil tersenyum kecil. Dia berkembang pesat, tapi dia tetap Riveria yang sama—anggun, kuat, dan selalu memukau. Jika aku bisa terus mendukungnya, itu sudah lebih dari cukup untukku.

Riveria sibuk di bawah, kedua tangannya menyentuh permukaan gunungan es besar yang telah ia buat. Dengan konsentrasi tinggi, ia mengalirkan prana perlahan-lahan ke dalam es itu, merasakan struktur internalnya. Setiap pola kristal, kekuatan, dan volume es ia ukur dengan Structural Analysis, mencoba memahami seberapa besar perbedaan yang dihasilkan oleh Reinforcement yang baru ia pelajari.

Sementara itu, di atas tebing, Shirou berdiri tenang. Matanya menyipit, memperhatikan hasil karya Riveria dari jauh. Dengan pengalaman dan keahliannya dalam Structural Analysis, Shirou dengan cepat memperkirakan bahwa gunungan es yang diperkuat oleh Riveria 30% lebih besar daripada yang tanpa Reinforcement. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa, membiarkan Riveria menyelesaikan analisisnya sendiri.

Shirou menghela napas, lalu berkata pelan, "Trace on."

Cahaya samar berpendar di tangannya saat Frostbite Arrow mulai terwujud satu per satu di udara. Anak panah itu bersinar biru es, dengan ujung tajam yang memancarkan hawa dingin. Shirou terus memproyeksinya hingga jumlahnya mencapai tiga puluh, melayang melingkari dirinya seperti satelit. Dia menggerakkan jari-jarinya dengan presisi, memusatkan pikirannya untuk menyalurkan Reinforcement pada setiap Frostbite Arrow.

Ketika semua panah telah mencapai kondisi Broken Arrow, Shirou tersenyum kecil. "Sekarang, mari kita lihat seberapa efektif ini."

Dengan gerakan ringan tangannya, Shirou mengarahkan Frostbite Arrow ke tanah kosong di sisi gunungan es Riveria. Dalam hitungan detik, semua panah meluncur serentak.

"Boom! Boom! Boom!" Setiap Frostbite Arrow meledak saat menyentuh tanah, menciptakan bukit-bukit es yang menjulang, meskipun lebih kecil dibandingkan gunungan es Riveria. Namun, jumlahnya yang banyak mulai membuat area itu dipenuhi gundukan es yang saling terhubung.

Di bawah, Riveria terdiam sejenak, menoleh ke arah suara ledakan beruntun tersebut. Ia mengangkat wajahnya, melihat Shirou yang berdiri di atas tebing dengan napas sedikit terengah. "Shirou, apa yang baru saja kau lakukan?" tanyanya, matanya berbinar penuh rasa penasaran.

Shirou menghapus keringat kecil di dahinya dan tersenyum. "Aku hanya mencoba sesuatu. Ternyata satu Frostbite Arrow memang tidak terlalu kuat, tapi jika digabungkan jumlahnya... yah, hasilnya seperti itu," katanya sambil menunjuk ke arah tiga puluh bukit es yang ia hasilkan.

Riveria memandang hasil eksperimen Shirou dengan kagum. Meski gunungan esnya masih lebih kokoh dan besar, ia tidak bisa menyangkal bahwa kombinasi kuantitas dan konsistensi Shirou menghasilkan dampak yang luar biasa. "Kau benar-benar mengejutkan, Shirou," katanya dengan nada tulus.

Shirou tertawa kecil. "Hanya sedikit eksperimen. Tapi, sepertinya aku menghabiskan sekitar seperempat energi sihirku untuk ini."

Riveria tersenyum simpul dan melompat kembali ke atas tebing dengan anggun. "Kau tahu, jika kau terus mengasah kemampuan ini, kau mungkin bisa mengubah strategi tempur petualang di Dungeon."

Shirou mengangkat bahu dengan santai. "Mungkin. Tapi aku masih lebih suka melihatmu melatih Magecraft-mu. Kau jauh lebih menakjubkan dengan sihirmu."

Pujian itu membuat telinga Riveria sedikit memerah, tetapi ia hanya menjawab dengan nada datar, "Dasar, kau ini pandai bicara." Namun, di dalam hatinya, ia merasa bahagia

Riveria melangkah dengan ringan, mendekati Shirou yang sedang memandangi hasil karyanya di bawah sana. "Shirou," katanya pelan, nada suaranya penuh dengan rasa ingin tahu. "Di ekspedisi besar berikutnya, kalau kau benar-benar bisa melakukan semua ini—menghujani monster dengan pedang dan magic arrow, atau bahkan menggunakan Noble Phantasm seperti Phoebus Catastrophe yang kau gunakan melawan Corrupted Spirit—bukankah kami hanya perlu melindungimu saja?"

Shirou menoleh dengan ekspresi serius, lalu menggeleng pelan. "Tidak bisa begitu, Riveria. Kalau mereka terlalu bergantung padaku, itu akan jadi bumerang. Anggota lain tidak akan mendapatkan Excelia yang cukup untuk berkembang. Lagi pula, aku sendiri tidak mendapat banyak Excelia dari musuh yang lebih lemah dariku, karena efek skillku, Underdog." Dia berhenti sejenak, memberi Riveria waktu untuk menyerap penjelasannya. "Skill itu sangat mengurangi Excelia yang kudapat dari musuh yang lebih lemah, tapi meningkatkan drastis Excelia dari musuh yang lebih kuat."

Riveria menghela napas panjang, senyumnya menyiratkan kelelahan bercampur candaan. "Hah, jadi aku tak bisa pensiun begitu saja dan menyerahkan semua beban pada punggungmu ya?"

Shirou terkekeh mendengar nada bercandanya. "Tidak bisa, Riveria. Kau tidak boleh pensiun. Kau masih muda, dan aku yakin potensimu di Magecraft masih sangat luas untuk dikembangkan."

Kalimat itu langsung membuat Riveria terdiam. Kata-kata Shirou seolah menusuk tepat ke hati, namun dengan cara yang membuatnya berbunga-bunga. Muda? pikirnya dalam hati. Ia tahu Shirou hanya berbicara jujur tanpa maksud tertentu, tapi itu adalah sesuatu yang sudah lama tak ia dengar. Sebelum Shirou bergabung dengan Loki Familia, ia sering dianggap sebagai sosok keibuan atau malah diejek sebagai "nenek lampir" karena umurnya yang sudah mencapai 99 tahun. Padahal, dalam umur High Elf, ia masih tergolong muda. Namun, di hadapan Shirou yang selalu mengajarinya Magecraft, Riveria merasa seperti gadis muda yang diberi perhatian oleh seorang guru yang sabar dan dewasa.

"Riveria?" suara Shirou membuyarkan lamunannya.

Ia tersentak dan cepat-cepat memalingkan wajahnya yang mulai memerah ke arah gunungan es di bawah. "Ayo, kita nikmati saja pemandangan es ini," katanya, mencoba mengalihkan topik dengan nada datar. "Kau sudah bekerja keras, jadi setidaknya kita bisa duduk sebentar di ujung tebing ini."

Shirou tersenyum hangat. "Ide bagus," katanya. Ia lalu berjalan mendekat dan duduk di samping Riveria, membiarkan suasana tenang menyelimuti mereka sejenak.

Riveria melirik Shirou dari ekor matanya, melihat sosoknya yang tampak begitu fokus pada pemandangan di bawah. Shirou, Terima kasih... karena membuatku merasa muda lagi.

Sambil duduk menikmati pemandangan, Shirou menatap gunungan es yang perlahan memudar. Ia melirik ke arah Riveria yang duduk di sebelahnya, rambut hijaunya tampak berkilau diterangi cahaya biru dari lumut-lumut bercahaya di lantai. "Jadi," Shirou membuka percakapan, "berapa perbandingan ukuran gunungan es sebelum dan sesudah menggunakan Reinforcement tadi, menurutmu?"

Riveria mengangkat tangan dan menunjuk ke arah gunungan es yang lebih besar. "Kurasa sekitar 25% lebih besar daripada yang pertama," jawabnya dengan tenang.

Shirou tersenyum kecil. "Hampir benar. Sebenarnya, setelah aku analisis, peningkatannya mencapai 30%."

Mendengar koreksi itu, Riveria mendengus kecil dan meninju lengan Shirou dengan lembut. "Seharusnya kau langsung memberitahuku, bukan malah membiarkanku turun dan mengukur sendiri."

Shirou terkekeh, melirik Riveria dengan pandangan penuh pengertian. "Itu juga bagian dari latihannya. Kalau aku terus memberi jawaban, kau tidak akan belajar apa-apa, kan?"

Riveria pura-pura cemberut, tetapi sudut bibirnya mengulas senyuman kecil. "Hmph, kau terlalu menyebalkan untuk seorang guru," ujarnya dengan nada bercanda, meski dalam hatinya ia sebenarnya menikmati perhatian Shirou padanya.

Mereka terdiam sejenak, membiarkan keheningan yang damai mengisi udara. Gunungan es di hadapan mereka perlahan memudar, berubah menjadi butiran prana yang menghilang di udara seperti serpihan salju. Shirou menatapnya dengan rasa puas. "Pemandangan ini... tenang sekali. Rasanya sulit dipercaya kalau kita sedang berada di Dungeon."

Riveria mengangguk pelan, mengamati sisa-sisa sihirnya yang larut menjadi energi. "Dungeon memang penuh kejutan. Di satu sisi, ia mematikan, tapi di sisi lain, ia bisa memberi momen-momen seperti ini." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lembut, "Dan momen seperti ini jauh lebih berharga ketika tidak sendirian."

Setelah sisa-sisa es memudar menjadi prana yang lenyap di udara, Shirou berdiri dari tempatnya duduk. Ia menoleh ke arah Riveria yang masih menikmati angin sejuk di tepi tebing. Dengan tangan terulur, ia menawarkan bantuan. "Latihan hari ini selesai. Ayo, kita lanjutkan perjalanan," ujarnya dengan nada ramah.

Riveria menatap tangan Shirou sejenak sebelum menerimanya. Ia bangkit berdiri dengan bantuan Shirou, lalu tersenyum kecil. "Latihan? Apa yang terjadi hari ini lebih seperti pertunjukan besar kemampuanmu daripada sesi latihan Magecraftku," katanya dengan nada bercanda, meski ada nada menggoda di dalamnya.

Shirou terkekeh, berjalan santai di samping Riveria menuju jalan keluar tebing. "Pertunjukan? Aku tidak tahu apa yang kau maksud."

Riveria mendengus kecil dan mulai menghitung dengan jari. "Pertama, kau memamerkan Alteration Magecraft dengan mengubah telingamu menjadi telinga Elf yang sempurna."

Shirou menoleh dengan ekspresi pura-pura bingung. "Tapi itu hanya untuk penyamaran..."

Riveria mengabaikan protes Shirou dan melanjutkan. "Lalu, kau mengalahkan skor memanahku dengan sangat mudah, bahkan menggunakan teknikku sendiri melalui tracing."

Shirou menggaruk kepalanya, merasa sedikit bersalah. "Yah, aku hanya ingin membuat kompetisi jadi lebih menarik."

Riveria tak memberi kesempatan Shirou membela diri. "Dan jangan lupa, kau juga menghujani monster dengan pedang dan panah dari udara seolah-olah itu sesuatu yang sepele. Belum lagi bekal yang kau masak tadi—jujur saja, aku tak pernah mencicipi makanan sebaik itu sebelumnya."

Shirou berhenti berjalan sejenak, memandang Riveria dengan wajah setengah terkejut. "Bekal pun dianggap pamer? Kau sudah tahu aku suka memasak."

Riveria menatap Shirou dengan tatapan penuh arti, lalu menyilangkan tangan di dada. "Apa pun yang membuatku kagum hari ini, aku sebut pamer."

Shirou menghela napas panjang dan mengangkat tangan seolah menyerah. "Baiklah, aku minta maaf kalau aku terlalu... 'mengesankan' hari ini," katanya dengan nada bercanda.

Riveria tersenyum lebar, merasa menang dalam argumen kecil mereka. Tapi di dalam hatinya, ia tidak benar-benar keberatan. Setiap momen yang dia habiskan bersama Shirou, bahkan yang dipenuhi dengan "pameran" tak sengaja seperti hari ini, membuatnya merasa lebih dekat dengan pria itu