Riveria mencoba menyingkirkan rasa kecewanya karena tidak memenangkan kompetisi memanah tadi. Ia menghela napas pendek sambil meyakinkan dirinya bahwa piknik berdua bersama Shirou tetaplah momen istimewa. Dalam hatinya ia berkata, Walaupun bukan makan malam mewah, setidaknya ini bisa dihitung sebagai kencan, bukan? Senyuman kecil tersungging di wajahnya.
"Jadi, Shirou," kata Riveria sambil berjalan di sampingnya, "sudahkah kau memutuskan di mana kita akan piknik?"
Shirou mengangguk penuh percaya diri. "Aku tahu tempat yang cocok. Dulu, aku pernah mendirikan sebuah gubuk kecil di lantai ini untuk magus workshopku. Tidak jauh dari sana ada padang rumput yang luas, sempurna untuk piknik."
Riveria mengangkat alis, rasa penasarannya muncul. "Gubuk? Apa itu seperti gudang di Twilight Manor yang kita pakai untuk latihan Magecraft?"
Shirou terkekeh, sedikit malu. "Hampir mirip, tapi jauh lebih sederhana. Aku membangunnya dengan tangan sendiri. Sebagai magus, aku butuh tempat untuk eksperimen, tapi di Dungeon ini, ya... improvisasi saja."
Riveria menatap Shirou dengan kagum. "Kau bahkan mendirikan workshop di Dungeon? Seberapa sering kau datang ke sini sendirian?"
"Beberapa kali, saat aku masih pemula dan mencoba memahami lingkungan Dungeon dan mekaniknya," jawab Shirou dengan senyum kecil, lalu melanjutkan sambil bercanda, "Tapi jangan khawatir, kali ini aku punya pendamping yang luar biasa, bukan?"
Riveria tersenyum lembut, hatinya menghangat mendengar pujian itu. "Jangan lupa siapa yang jadi pemandumu sampai lantai ini."
Shirou tertawa kecil. "Tentu, tanpa kau aku pasti tersesat berkali-kali."
Mereka berdua terus berjalan, menjauh dari hiruk-pikuk kota Rivira. Langkah mereka menuju ke arah yang lebih tenang, menuju tempat yang Shirou maksudkan. Sepanjang perjalanan, Riveria mencoba membayangkan gubuk yang Shirou bangun. Seperti apa tempat itu? pikirnya dengan rasa ingin tahu yang terus bertambah.
Setelah berjalan cukup lama menerobos hutan kecil di lantai 18, Shirou akhirnya berhenti di depan sebuah gubuk kayu sederhana yang terlihat seperti sudah lama berdiri di sana. Gubuk itu dibangun dengan material seadanya dari lingkungan sekitar—batang-batang kayu sebagai dinding dan atap yang terbuat dari dedaunan tebal. Di depannya, hamparan padang rumput hijau membentang luas, menciptakan pemandangan yang damai.
"Ini dia," kata Shirou sambil tersenyum, menunjuk gubuk itu. "Gubuk kecilku dulu."
Riveria menatap gubuk tersebut dengan penuh rasa ingin tahu. "Jadi, ini juga bisa disebut Magus Workshop?" tanyanya sambil melangkah lebih dekat ke bangunan itu.
"Yah... bisa dibilang begitu." Shirou menggaruk kepalanya dengan canggung. "Aku tahu ini terlihat sangat sederhana, tapi waktu itu aku hanya membutuhkan tempat untuk mencoba beberapa eksperimen Magecraft. Jadi aku tidak terlalu memikirkan desainnya."
Riveria mengangguk pelan, meskipun sedikit terkejut dengan kesederhanaan tempat itu. Dia benar-benar mendirikan ini sendirian? Shirou memang terampil... pikirnya. "Tapi kau berhasil membangun ini sendiri. Itu sudah luar biasa, Shirou."
"Tentu saja tidak sehebat milik para magus profesional," jawab Shirou sambil tertawa kecil. "Tapi aku merasa bangga karena ini adalah hasil kerjaku sendiri."
Shirou kemudian memprojeksi sebuah alas duduk besar berwarna krem dengan pola bunga yang sederhana. Ia meletakkan tas besar berisi bekal di samping alas tersebut dan mempersilakan Riveria duduk.
Riveria duduk dengan anggun, berhadapan dengan Shirou, pandangannya masih tertuju pada gubuk itu. "Kalau boleh jujur, aku membayangkan sesuatu yang lebih rumit. Apa mendirikan Magus Workshop memang sesederhana ini?"
Shirou tertawa ringan sambil duduk di depannya. "Kalau kau seorang magus hebat, mungkin workshopmu bisa terlihat seperti istana kecil. Tapi aku hanya seorang magus pemula. Jadi, aku hanya memasang bounded field sederhana di sekitar tempat ini untuk melindungi dari monster."
Riveria menaikkan alisnya, penasaran. "Bounded field? Kau belum pernah menjelaskan itu sebelumnya. Apa itu sebenarnya?"
Shirou mulai menjelaskan dengan sabar, nada bicaranya tenang. "Bounded field adalah semacam penghalang magis yang melindungi area tertentu. Biasanya digunakan untuk mendeteksi musuh, menyembunyikan lokasi, atau bahkan memperkuat energi magis di dalamnya. Sederhananya, itu semacam pagar tak terlihat."
Riveria mengangguk, mencatat setiap kata dalam pikirannya. "Jadi semacam penghalang pelindung. Bagaimana cara membuatnya?"
"Aku bisa mengajarimu nanti, kalau kita sudah kembali ke Twilight Manor," kata Shirou. "Tapi, kuperingatkan, ini cukup teknis dan membutuhkan banyak fokus."
Riveria tersenyum lembut, menatap Shirou. "Aku tidak sabar untuk belajar darimu. Kau adalah guru yang baik."
Shirou hanya mengangguk sambil sedikit tersipu. "Terima kasih. Tapi aku hanya berharap pengajaranku tidak membuatmu bosan."
Riveria menahan senyumnya, hatinya terasa hangat. Bosan? Bagaimana mungkin aku bisa bosan menghabiskan waktu bersamamu? pikirnya, namun ia memilih untuk menyimpannya dalam hati.
Shirou membuka tas besarnya dan mulai mengeluarkan bekal yang ia siapkan dengan rapi. Ada nasi kepal berbentuk segitiga yang dibalut nori, beberapa potong roti isi dengan isian segar seperti selada dan daging asap, serta potongan daging panggang yang tampak lezat. Riveria memperhatikan setiap hidangan yang dikeluarkan Shirou dengan penuh minat.
"Bekalnya terlihat sangat menggugah selera," puji Riveria sambil tersenyum.
Shirou tersenyum balik sambil berkata, "Aku memastikan semuanya enak untuk dimakan di tempat seperti ini."
Lalu, Shirou mengeluarkan sebuah termos besar dari dalam tas. Riveria baru menyadari benda itu dan menatapnya dengan sedikit bingung. "Aku tidak ingat melihatmu membawa termos tadi. Apa isinya?"
Shirou memutar tutup termos sambil menjawab santai, "Teh. Aku ingat kau menyukai teh, jadi aku menyeduhnya sebelum kita berangkat."
Mata Riveria sedikit melebar, merasa terkesan dengan perhatian Shirou. "Kau benar-benar memperhatikan hal-hal kecil, ya."
Shirou hanya mengangkat bahu sambil memprojeksi dua cangkir teh sederhana namun elegan, lalu menuangkan teh hangat ke dalamnya. Aroma teh yang harum langsung tercium di udara, menambah suasana damai di padang rumput itu.
"Silakan, tuan putri," ucap Shirou sambil menyodorkan salah satu cangkir ke arah Riveria.
Riveria mengambil cangkir itu dengan anggun, jemarinya yang ramping menyentuh cangkir hangat. "Terima kasih, Tuan Butler," balasnya dengan nada bercanda yang membuat Shirou tersenyum kecil.
Setelah semuanya siap, Shirou membuka tudung hitamnya dan menurunkan jubahnya sedikit. Ia mengusap kepala sebentar sebelum mengembalikan telinga Elf palsunya ke bentuk telinga manusia. Proses perubahan itu dilakukan dengan Magecraft, membuat telinganya perlahan-lahan kembali normal. Riveria memperhatikan hal itu dengan tatapan penasaran.
"Kau mengembalikannya?" tanya Riveria, sedikit kecewa karena telinga Elf Shirou yang membuatnya terlihat berbeda kini sudah hilang.
Shirou tertawa kecil sambil menjawab, "Aku merasa lebih nyaman makan dalam bentuk asliku. Lagipula, ini hanya kita berdua. Tak ada alasan untuk menyamar lagi."
Riveria tersenyum lembut mendengar jawaban Shirou. Ia merasa lega melihat Shirou cukup percaya diri untuk menjadi dirinya sendiri di depannya. Dia benar-benar tidak menyadari betapa spesialnya dirinya di mataku... pikir Riveria sambil menyesap teh.
Mereka mulai menikmati makanan sambil berbincang santai, ditemani angin lembut yang berhembus dari padang rumput di sekitar mereka. Sesekali, Shirou mengomentari betapa tenangnya suasana lantai 18 dibandingkan lantai lainnya di Dungeon. Riveria mengangguk, menikmati momen kebersamaan ini yang menurutnya terasa seperti sebuah kencan rahasia di dunia mereka yang sibuk.
"Shirou," panggil Riveria tiba-tiba sambil memandangi hamparan hijau di depan mereka. "Aku senang kau memilih piknik sebagai permintaanmu. Momen seperti ini jarang sekali terjadi."
Shirou menoleh padanya, wajahnya serius namun tenang. "Aku juga senang, Riveria. Kadang-kadang, berhenti sejenak dan menikmati apa yang ada di sekitar kita adalah hal yang sangat diperlukan. Terutama di dunia kita yang penuh bahaya ini."
Riveria mengangguk pelan, matanya kembali memandang ke kejauhan. Mungkin... aku tidak akan keberatan melakukan ini setiap hari, selama bersamanya, pikirnya sambil menggenggam cangkir tehnya sedikit lebih erat.
Sambil menikmati bekal yang telah Shirou siapkan, aroma teh yang hangat menemani percakapan santai mereka. Shirou meletakkan cangkir teh ke alas piknik, menatap Riveria yang tampak menikmati nasi kepalnya. Ia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membahas rencana utama mereka.
"Riveria," Shirou membuka pembicaraan sambil tersenyum kecil, "setelah selesai di sini, bagaimana kalau kita mulai mengetes seberapa kuat sihirmu ketika diperkuat dengan Magecraft Reinforcement yang sudah kita bahas?"
Riveria mengunyah roti isi sambil memikirkan usulan Shirou. Setelah menelan, dia menjawab dengan nada tenang tetapi antusias. "Aku sudah memikirkan itu. Rencanaku adalah menggunakan sihir dua kali. Pertama tanpa Reinforcement, lalu yang kedua menggunakan Magecraft-mu. Dengan begitu, kita bisa melihat perbedaannya secara langsung."
Shirou mengangguk setuju, tetapi rasa penasaran muncul di wajahnya. "Menarik. Tapi sihir apa yang akan kau gunakan untuk uji coba?"
Riveria tersenyum kecil, sedikit menurunkan cangkir tehnya. "Karena lantai 20 penuh dengan hutan lebat, aku tak mungkin menggunakan Rea Laevateinn, sihir apiku. Aku khawatir itu bisa menyebabkan kebakaran besar."
Shirou tertawa kecil, membayangkan Riveria menyulut pohon-pohon besar hingga menjadi abu. "Tentu saja. Jadi, apa alternatifnya?"
"Wynn Fimbulvetr," jawab Riveria tegas. "Sihir esku. Aku pikir ini pilihan yang aman, dan aku juga bisa dengan mudah mengendalikan cakupan area serangannya."
Shirou menepuk dagunya, berpikir sejenak. "Ide bagus. Dengan begitu, kita bisa membandingkan hasil bongkahan es yang dihasilkan. Kau bahkan bisa menggunakan Structural Analysis yang sudah kau pelajari untuk mengukur volume esnya dan melihat mana yang lebih besar."
Riveria menghela napas panjang, meski matanya tetap ceria. "Kau benar-benar menambah daftar tugasku, Shirou. Rasanya aku lebih seperti murid di akademi daripada petualang di Dungeon."
Shirou tertawa ringan sambil mengedipkan sebelah matanya, menampilkan senyum jahil. "Hei, jangan lupa, aku juga akan mengetes Magecraft-ku nanti. Jadi, kau harus mandiri, Tuan Putri."
Riveria pura-pura merengek, memandang Shirou dengan tatapan menggemaskan. "Mandiri, ya? Kau sungguh tega pada seorang putri seperti aku."
Shirou tertawa lebih keras, merasa terhibur dengan candaan Riveria. "Jangan khawatir, aku akan berada di sampingmu sepanjang waktu. Kalau ada masalah, kau tinggal panggil saja 'butler' pribadimu ini."
Riveria tersenyum, hatinya terasa lebih ringan meski ia tahu Shirou hanya bercanda. Kau lebih dari sekadar butler, Shirou. Kau adalah seseorang yang aku kagumi... bahkan lebih dari itu. pikirnya sambil melanjutkan bekalnya dengan semangat baru.
Selesai menyantap bekal mereka, Shirou mulai membereskan semuanya. Dengan hati-hati, ia membuyarkan projection alas piknik dan cangkir yang mereka gunakan. Setelah itu, dia memasukkan kotak bekal yang kosong ke dalam tas besarnya, memastikan semua rapi dan tidak ada yang tertinggal.
"Baik, kita lanjutkan," ucap Shirou sambil merapikan posisi tas di pundaknya.
Namun, sebelum berjalan, Shirou meletakkan kedua tangannya ke telinga normalnya. Dengan fokus, dia mengaktifkan Alteration Magecraft, perlahan-lahan mengubah bentuk telinganya menjadi telinga Elf yang memanjang. Setelah selesai, dia menarik tudung jubah hitamnya, mencoba menutupi kepala sekaligus memastikan telinganya pas di lubang tudung.
Melihat Shirou kesulitan merapikan tudungnya, Riveria mendekat. "Diamlah sebentar. Aku bantu," katanya dengan nada tegas namun lembut.
Riveria menggunakan kedua tangannya untuk menyesuaikan posisi telinga Elf buatan Shirou agar terlihat lebih natural. Saat jemarinya menyentuh telinga tersebut, Shirou sedikit tersentak kegelian, refleks menggerakkan kepala menjauh. "Ah, itu geli, Riveria!" keluhnya dengan senyum kecil.
Riveria menaikkan alis, berpura-pura serius. "Kalau kau terus bergerak, aku tak bisa merapikannya. Jadi, diamlah."
Shirou mencoba menahan diri agar tidak bergerak, meskipun rasa geli itu terus membuatnya ingin tertawa kecil. Ia tiba-tiba teringat bagaimana Ryuu kemarin juga melakukan hal yang sama ketika dia memakai jubah Elf di toko pakaian. Kenapa telingaku selalu jadi target perhatian para Elf? pikirnya, merasa situasi ini agak ironis.
Setelah selesai, Riveria melangkah mundur sedikit untuk memeriksa hasilnya. "Sudah rapi. Sekarang kau benar-benar terlihat seperti salah satu bangsawan Elf," katanya sambil tersenyum kecil.
Shirou tertawa ringan, mengangkat bahu. "Kau tahu, aku mungkin bisa menyelinap ke negerimu tanpa ada yang curiga."
Riveria menatapnya dengan mata yang sedikit menyipit, pura-pura mengancam. "Jangan coba-coba. Aku tak mau bertanggung jawab jika kau membuat masalah di sana."
Setelah bercanda sebentar, mereka mulai melanjutkan perjalanan. Keduanya berjalan berdampingan, meninggalkan keindahan lantai 18 menuju pintu keluar yang akan membawa mereka ke lantai 19. Shirou menyesuaikan tas di punggungnya, sementara Riveria memegang tongkat sihirnya dengan ringan, bersiap menghadapi apa pun yang menanti mereka di lantai berikutnya.
"Menjelajah dungeon bersamanya ternyata menyenangkan," pikir Riveria sambil melirik Shirou dari samping. "Jika mungkin, aku ingin lebih sering melakukan ini... hanya berdua."
Saat Shirou dan Riveria mulai menuruni tangga menuju lantai 19, mereka berpapasan dengan sekelompok besar petualang yang tampak babak belur. Wajah mereka penuh kelelahan, tubuh mereka dibalut perban, dan beberapa dari mereka tertatih-tatih sambil saling menopang. Namun, ketika melihat Shirou dan Riveria yang bertudung, mereka tidak mengatakan apa pun. Beberapa dari mereka bahkan sengaja memalingkan muka, seolah tidak ingin menarik perhatian.
Bisik-bisik samar terdengar di antara para petualang itu. "Haruskah kita memperingatkan mereka soal monster parade besar di bawah?" tanya salah satu dari mereka dengan nada ragu.
"Biarkan saja," balas temannya yang tampak lebih tua dan lelah. "Kalau mereka cukup bodoh untuk turun setelah melihat kondisi kita, itu urusan mereka."
Mendengar percakapan itu, Shirou melirik ke arah Riveria dengan senyum kecil. "Sepertinya mereka meremehkan kita," katanya dengan nada santai.
Riveria hanya mendesah ringan. "Tidak sepenuhnya salah jika melihat kondisi mereka. Tapi aku yakin kita jauh lebih siap."
Setelah kelompok itu menjauh, Shirou berbicara lagi. "Ngomong-ngomong, nanti di lantai 19 ini, aku ingin mencoba sesuatu. Jadi, kau tidak perlu bertarung kali ini."
Riveria menghentikan langkahnya sejenak dan menatap Shirou dengan cemberut kecil. "Apa lagi ini? Kau ingin pamer keahlian memanahmu lagi seperti tadi, di mana aku bahkan tidak sempat menembak monster karena kau lebih cepat dariku?"
Shirou menggaruk kepalanya dengan sedikit canggung. "Bukan begitu. Kali ini, aku tidak akan memanah. Tapi aku akan melakukan sesuatu yang... mirip," ujarnya dengan nada penuh teka-teki.
Riveria menaikkan alis, jelas penasaran. "Mirip memanah, katamu? Kau membuatku semakin ingin tahu."
Shirou tersenyum kecil. "Sabar saja. Aku janji ini akan menarik."
Riveria akhirnya mengalah dan melanjutkan langkahnya di samping Shirou. "Anak ini selalu punya rencana aneh," pikirnya. "Tapi itulah salah satu hal yang membuatku tertarik padanya."
Mereka berdua terus turun, bunyi langkah mereka bergema pelan di lorong batu yang semakin gelap. Apa pun yang dia rencanakan, aku yakin ini akan jadi sesuatu yang layak untuk dilihat, Riveria memutuskan sambil mencengkeram tongkat sihirnya, tetap waspada meskipun dia telah setuju untuk membiarkan Shirou mengambil alih.
Lantai 19 Dungeon menyuguhkan pemandangan yang unik. Dinding, lantai, dan langit-langitnya terbuat dari kayu tebal yang memberi kesan seperti berada di dalam batang pohon raksasa. Cahaya biru yang lembut memancar dari lumut bercahaya yang tumbuh di lantai, menerangi lorong-lorong gelap tanpa bantuan kristal biasa. Suasana di sini jauh lebih tenang dibandingkan lantai sebelumnya, meski ancaman selalu mengintai dari balik bayang-bayang hutan.
Riveria mengamati sekeliling dengan tenang, tongkat sihirnya tergenggam erat. "Dari lantai 19 sampai lantai 24, jalan batu ini biasanya menjadi panduan. Ikuti saja jalurnya untuk menemukan jalan menuju lantai berikutnya," jelasnya sambil menunjuk ke depan.
Shirou mengangguk mengerti. "Berarti kita tinggal tetap di jalur ini dan tidak perlu repot mencari jalan?" tanyanya untuk memastikan.
Riveria tersenyum kecil. "Benar. Tapi jangan lengah. Terkadang monster bisa muncul dari hutan di sisi jalan."
Tak lama setelah Riveria selesai berbicara, suara gemuruh berat terdengar dari kejauhan. Dari antara pepohonan, sekumpulan Bugbear yang tinggi besar dengan gigi taring mencuat muncul, mata merah mereka menyala penuh amarah saat mereka menerjang ke arah Shirou dan Riveria.
Riveria melirik Shirou dengan senyuman menggoda. "Nah, sekarang waktumu untuk menunjukkan apa yang kau rencanakan tadi."
Shirou melangkah maju dengan santai, menatap kawanan Bugbear yang mendekat. "Kalau begitu, aku akan mulai sekarang," katanya.
Alih-alih mengeluarkan busur seperti biasanya, Shirou menutup matanya sebentar, dan dalam hitungan detik, selusin pedang hitam melayang muncul di sekitarnya, berkilauan dengan aura dingin. Pedang-pedang itu tampak sederhana tetapi memiliki kesan kokoh, imitasi sempurna dari pedang-pedang milik anggota Hephaestus Familia yang pernah dilihat Shirou sebelumnya.
Riveria tertegun. Mata hijaunya melebar melihat Shirou yang tanpa mantra atau gerakan besar memunculkan senjata-senjata ini begitu saja. Magic apa ini? Dia tidak memerlukan incantation? pikirnya, kagum sekaligus terpesona.
Tanpa menunggu lebih lama, Shirou mengayunkan tangannya ke depan, dan pedang-pedang itu terbang dengan kecepatan mematikan ke arah kawanan Bugbear. Setiap pedang melesat dengan presisi sempurna, menghujam tepat di titik-titik vital monster-monster itu. Dalam hitungan detik, kawanan Bugbear yang tadinya terlihat mengancam berubah menjadi abu dan menyisakan beberapa magic stone yang berkilauan.
Riveria hanya bisa berdiri terpaku. "Kau... tidak butuh waktu lama bahkan untuk mempersiapkan itu," gumamnya pelan, masih memproses apa yang baru saja ia saksikan.
Shirou tersenyum kecil sambil berjalan menuju magic stone yang tersisa. "Itu salah satu kelebihan Magecraft-ku. Aku tidak perlu waktu lama untuk mempersiapkan senjata atau strategi selama aku sudah tahu apa yang akan digunakan."
Riveria mendekatinya, tatapan matanya masih terpaku pada tempat di mana Bugbear tadi berdiri. "Teknikmu benar-benar unik. Tidak seperti apa pun yang pernah kulihat sebelumnya... bahkan di antara para penyihir di Orario."
Shirou hanya mengangkat bahu sambil memasukkan magic stone ke kantong kecilnya. "Ini hanya bagian dari apa yang kupelajari selama ini. Tapi aku masih memiliki banyak kekurangan."
Riveria tertawa kecil, kembali ke sikap tenangnya. "Kau mengatakan itu setelah dengan mudah mengalahkan segerombolan Bugbear tanpa usaha keras?" katanya dengan nada menggoda.
Shirou tersenyum, menyadari pujian terselubung itu. "Aku hanya ingin memastikan kau merasa tenang selama kita di lantai ini. Lagipula, bukankah aku yang meminta untuk mencoba sesuatu di sini?"
Riveria menatap Shirou sejenak, lalu berjalan di sampingnya. "Kalau terus begini, kau yang akan mengalahkan semua monster. Bagaimana aku bisa mengetes sihirku nanti?" tanyanya dengan nada setengah bercanda.
Shirou tertawa kecil. "Tenang saja, lantai 20 adalah giliranmu. Aku hanya meminjam satu lantai ini," jawabnya sambil melirik Riveria.
Mereka berdua melanjutkan perjalanan, dengan Riveria kini merasa lebih terpesona oleh sosok Shirou yang terus-menerus menunjukkan betapa unik dan luar biasanya dirinya.