Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 193 - Pantai

Chapter 193 - Pantai

Surabaya

Author POV

"Dar..." panggil Anika dengan suara serak. Dia baru saja membuka matanya. Tadi pagi, setelah sarapan di kamar, dia kembali tidur lagi. Sekarang, setelah waktu hampir menunjukkan pukul empat sore, dia baru bisa membuka matanya.

"Hah?" sahut Dara. Dia sedang asyik menyaksikan acara fashion di TV.

"Ke pantai yuk..." ajak Anika.

Dara berpaling. "Ke pantai?" tanyanya tidak percaya. "Mukamu masih muka bantal begitu. Masa mau ke pantai? Malu tuh, diketawain sama ombak!"

"Sialan kamu!" Anika menimpuk Dara dengan gulingnya. Timpukan yang lemah. Guling itu terjatuh sebelum berhasil menyentuh Dara.

Dara tertawa.

"Serius!" ulang Anika. "Temani aku jalan-jalan ke pantai ya. Aku suntuk nih. Badanku pegal-pegal semua."

"Salah sendiri tidur seharian!" ujar Dara. Dia sendiri merasa tubuhnya sangat fresh setelah berenang. "Kamu sudah mau bertrandormasi jadi sloth, ya?"

"Sloth?" tanya Anika. Kepalanya kembali berpalling pada Dara. Matanya? Ya ampun! Bengkak luar biasa! "Sloth itu apaan ya?"

"Tuh, kan!" Dara melemparkan gulingnya kembali pada Anika. Lemparan yang bagus, tepat mengenai kepala Anika. "Fungsi otakmu saja mengalami degradasi. Sloth itu kan binatang seperti monyet yang doyannya tidur terus."

"Oh, itu namanya sloth, ya?" Anika tertawa. "Ayo, serius nih. Temani aku jalan-jalan di pantai ya.." Anika kembali pada topik pembicaraan soal pantai.

Dara mengangguk. "Sana mandi dulu. Tampang lecek gitu, malu sama bule-bule di pinggir pantai."

Anika bangun dan beranjak ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia kelar. Mengenakan tank top warna kuning dan celana pendek milik Gwen. Wajahnya dipulas make up tipis. Tidak lupa dia mengenakan kacamata hitam besar untuk menutupi bengkak matanya.

Melihat Anika yang dandanannya canggih itu, Dara tidak mau kalah. Dia mengganti pakaiannya dengan gaun sore yang simpel namun elegan. Itu gaun yang dipilihkan Gwen untuknya. Selera Gwen memang oke. Dara merasa cantik sekali dalam balutan gaun sore itu. Biar seragam dengan Anika, Dara juga mengenakan kacamata hitam.

"Ready?" Anika menyodorkan lengannya.

"Let's go!" Dara melingkarkan tangannya di lengan Anika.

Berdua mereka menyusuri pantai. Pantai selalu saja ramai dengan orang. Ada yang hanya jalan-jalan, ada yang berenang, ada yang bermain bola, ada yang main gitar, ada yang menawarkan jasa membuat temporary tatto, ada yang jualan topi, jualan bikini, bahkan ada yang menawarkan jasa kepang rambut. Dara dan Anika melepaskan sepatu mereka. Membiarkan kaki telanjang mereka dibelai pasir pantai. Sayang pasirnya tidak terlalu bersih.

"Sayang ya, pantainya jadi kotor begini..." komentar Anika.

Dara mengangguk. Dia menebarkan kain pantai yang dibawanya, lalu duduk di atasnya. Matahari sebentar lagi terbenam. Anika paling suka melihat sunset. Dara juga, tapi belakangan ini... dia jadi lebih suka melihat kerlip bintang.

"Ayo, Nik," ajak Dara, menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya. "Udah mau sunset nih..."

Anika duduk. Berdua mereka terdiam, menantikan sunset. Anika agak terganggu dengan orang-orang yang masih saja sibuk berlalu-lalang di hadapan mereka. Menurutnya, sunset itu momen sakral yang seharusnya dihormati semua orang. Dia sebal dengan orang-orang yang tidak menghargai karya Tuhan yang Mahaindah itu.

"Anika!" sebuah suara mengejutkan mereka berdua.

Anika menoleh. Dara menoleh.

Dara terkejut! Anika lebih terkejut lagi!

Dari kejauhan, tampak Satya berlari-lari menghampiri mereka. Di belakangnya Tante Namira mengejar. Memaki-maki sambil mengacung-acungkan tangannya. Di belakang Tante Namira, tampak Rangga mengejar. Rambutnya berkibar-kibar tertiup angin. Di belakang Rangga, tampak Om Adam. Om Adam tidak berlari, hanya berjalan santai. Wajahnya tetap tenang, dengan seulas senyum kecil tersungging di sana.

Anika berlari, menjauh dari Satya. Dara berlari mengejarnya. Dia menyadari tatapan semua pengunjung pantai terhadap mereka. Pasti mereka tampak aneh sekali. Berkejar-kejaran seperti anak kecil!

Anika terus berlari. Dara terus mengejarnya. Yang lain-lain juga berkejaran dengan seru.

"Anika!" panggil Satya. "Tunggu!"

"Satya!" teriak Tante Namira. "Berhenti sekarang juga!"

"Dara!" teriak Rangga. "Kamu nggak usah ikut-ikutan lari!"

Dara memperlambat gerakannya. Benar juga ya... Kenapa dia harus ikut-ikutan lari? Biarkan Satya dan Anika menyelesaikan masalah mereka berdua. Laju kaki Dara kemudian berhenti. Dia tersengal-sengal mendengarkan debar jantungnya. Sosok Satya kemudian menyusulnya, masih terus memanggil-manggil nama Anika.

Tak lama lagi, ibuku pasti akan menyusul Ka Satya, pikir Dara.

Tapi, sosok ibu yang terlalu mencampuri urusan anaknya itu tidak tampak.

"Namira..." Sebuah suara membuat mereka berpaling. Om Adam dengan santai meletakkan tangannya di bahu Tante Namira. Tante Namira sudah tidak kuat lagi berlari. Dia membungkuk kepayahan. "Sudahlah. Jangan kamu ganggu lagi mereka."

"Tidak bisa!" Namira masih ngotot. "Kamu nggak tahu..."

"Dear, kamu ingat kita dulu?" potong Om Adam lembut.

Entah apa yang harus diingat oleh Tante Namira, tapi kalimat singkat Om Adam itu membuat wajah Tante Namira berubah. Bahunya yang tegang berubah rileks. Wajahnya yang keras berubah lembut.

"Satya dan Anika itu mirip kita dulu.... dear," kata Om Adam pelan.

Dara berpaling pada Rangga. Minta penjelasan.

"Nanti aku jelasin..." bisik Rangga. "Sekarang kita lihat Satya dan Anika dulu."

Dara mengangguk. Mereka mendekati Satya dan Anika, tidak terlalu dekat untuk tetap memberikan privasi bagi mereka berdua. Yah... dua hari ini emosi Anika dan Satya benar-benar telah teraduk-aduk!

"Aku minta maaf atas semua yang kamu alami..." ujar Satya sambil memeluk Anika. Anika tidak menjawab. "Aku tetap mau menikah dengan kamu... yah... itu kalau kamu memang masih mau menerimaku jadi suamimu."

Anika tetap diam.

Satya melepaskan pelukannya. Sebelah tangannya masih berada di bahu Anika, tangan satunya lagi mengangkat dagu Anika. Kini wajah mereka bertemu.

"Asal kamu tahu ya, Nik. Tidak ada wanita lain yang menarik hatiku sedemikian kuat sepertimu. Tidak ada satu pun wanita yang chemistry-nya begitu kuat seperti kamu. You're the one and only. Now and forever..."

Satya membalikkan tubuh Anika. Menghadapkan Anika ke arah sunset, kemudian berlutut di hadapannya. "Anika Prima Maheswari..." Satya perlahan menggenggam tangan Anika, "will you marry me?" tanyanya.

Pada saat yang bersamaam, matahari pelan-pelan bergulir pulang ke peraduannya. Semburat jingganya bersinar dengan sangat indah. Memantulkan warna-warni eksotis di permukaan laut.

Yesss! pekik Anika dalam hati. Satya memang paling bisa mengambil hati Anika. Lamaran saat sunset begini, pasti tidak akan ditolak oleh Anika.

"Nik.." panggil Satya saat belum mendapatkan jawaban dari Anika.

Mata Anika tertuju kepada Satya. Dia tersenyum dan mengangguk pelan.

"Yess!" jerit Anika sambil memeluk erat Satya. Satya juga tertawa lebar. Benar-benar yess!

 ***

Jadi begini ceritanya...

Ternyata dulu, Tante Namira juga mengalami hal yang sama seperti yang dialami Anika. Mamanya Om Adam tidak menyukai Tante Namira. Menurut mamanya Om Adam, Tante Namira bukanlah calon istri yang cocok untuk Om Adam. Beberapa hari mendekati pernikahan mereka, mamanya Om Adam bahkan mengajak pacar pertama Om Adam hadir di acara makan keluarga. Menurut mamanya Om Adam, gadis asli Jerman itu lebih cocok bersanding dengan Om Adam dibandingkan Tante Namira. Tante Namira ngambek dan pulang ke Indonesia. Om Adam, yang memang sudah cinta mati pada Tante Namira, menyusul ke Indonesia. Mereka akhirnya menikah di Indonesia, walaupun tanpa restu dari mamanya Om Adam.

Ketika mendengar cerita Dara tentang apa yang menimpa Satya dan Anika, Om Adam langsung menghubungi Satya. Mengabari bahwa Anika berada di Surabaya. Satya langsung membeli tiket pesawat ke Surabaya dan berangkat saat itu juga. Tante Namira membeli tiket pesawat yang sama, berusaha mencegah kepergian Satya. Rangga juga ikut menyusul untuk bicara dengan Gwen.

Ketika tadi Om Adam mengatakan. "Dear, kamu ingat kita dulu," Tante Namira tersadar bahwa perbuatannya sama persis dengan perbuatan mama Om Adam dulu. Perbuatan yang menyakiti hatinya. Perbuatan yang membuat harga dirinya terinjak-injak. Perbuatan yang hampir saja melenyapkan cinta sejatinya. Perbuatan yang hampir saja terulang kembali.

Tante Namira langsung pulang saat itu juga. Om Adam ikut menemaninya. Anika dan Satya tinggal semalam. Menenangkan hati dan pikiran masing-masing. Rangga juga memutuskan untuk tinggal lebih lama di rumah Gwen.

Semuanya jadi lebih baik dan indah sekarang.

Semoga saja semuanya akan menjadi semakin baik dan indah nantinya...

To Be Continued