Surabaya
Author POV
Gwen sering berpikir mungkin Rangga sekarang sedang menyesali apa yang terjadi pada Rafa, sebab lelaki itu tak berusaha menjemputnya dan menganggap usaha Gwen untuk menghindarinya itu sebagai sesuatu yang wajah dan seharusnya terjadi.
Satu-satunya hal yang dapat menghibur hati Gwen sekarang adalah pesan dari Jhonny. Dia mengirim pesan kepada Gwen dan berterimakasih karena telah ikhlas melepaskannya dan dia kini sudah bersama Selena.
"Padahal aku sudah memberinya kesempatan untuk kembali berhubungan baik denganmu, Gwen," begitu antara lain yang ditulis lelaki itu. "Bukan untuk apa-apa, tetapi semata-mata demi menebus kesalahanku dulu kepadamu. Kalau dia masih mencintai Rangga, aku akan mengalah dan menyisihkan tempatnya dalam kehidupan Selesan, sebab tampaknya ia masih mencintai Rangga. Tetapi kemudian setelah usahanya sia-sia dan Rangga berhasil meyakinkannya bahwa dia sudah tidak lagi mencintai Selena dan tidak mungkin mereka kembali bersama, Selena insaf bahwa masa lalu tak mungkin akan terulang kembali. Kini ia sudah mulai menikmati kehidupan hari ini dan hari esok bersamaku. Gwen, terimakasih dan mohon kelapangan hatimu untuk memaafkan kami berdua"
Gwen mulai mencurahkan dirinya kepada hal-hal yang menyangkut masa depannya. Uang simpanannya terus saja berkurang untuk keperluan pribadinya maupun untuk menyumbang kebutuhan rumah tangga ibu. Sudah saatnya ia memikirkan hidupnya dengan bekerja dan mendapatkan mata pencarian tetap.
Gwen yang sudah beberapa waktu lamanya tak pernah membeli baju-baju kantor yang modis, sore itu memerlukan pergi berbelanja ke pertokoan di pusat kota. Ketika ia sedang memilih-milih gaun untuk dipadukan dengan blazer warna cokelat kehijauan yang dimilikinya, seseorang berbisik di dekatnya.
"Warna itu pasti pantas untuk kulitmu"
Gwen menoleh dan melihat Rangga berdiri begitu dekat dengan dirinya. Pakaiannya santai. Celana jins dan kemeja kaus serta sepatu santai. Tetapi ia tampak menarik sekali karena tubuhnya yang atletis tercetak dengan jelas.
"Hai!" Gwen tersenyum sekilas, kemudian mengalihkan perhatiannya ke arah deretan gaun di hadapannya. Dadanya berdegup lebih cepat menyadari betapa menariknya lelaki itu dan betapa dekatnya ia berdiri di belakangnya, seolah ia dapat merasakan hangatnya napas Rangga menyapu-nyapu lehernya.
"Memborong?"
"Hanya ingin membeli dua atau tiga potong gaun. Kemungkinan aku akan diterima bekerja di sebuah kantor penerbitan"
"Selamat kalau begitu. Sesudah mendapatkan apa yang kaubutuhkan, mau ke mana lagi?"
"Pulang."
"Makan malam bersamaku, ya? Mau?"
"Kamu tidak sedang ditunggu... seseorang?"
Rangga melirik Gwen. Ada selintas dugaan lewat di kepalanya ketika mendengar suara Gwen yang tersendat itu.
"Siapa yang kamu maksud?" tanyanya kemudian.
"Kasih."
"Oh, anak kita. Dia tidak ikut kesini" sahut Rangga sambil melirik Gwen lagi. "Mau ya, makan malam bersamaku? Sudah lama rasanya kita tidak mengobrol-obrol lagi."
"Ya."
"Jadi, mau?"
"Sekalian aku mau tanya perkembangan Kasih di Jakarta."
"Kujamin dia sehat tapi tidak seceria ketika ibunya berada didekatnya."
"Kalau begitu tunggulah, aku akan memilih salah satu gaun ini. Aku tertarik pada yang kehijauan dan rok dengan blus putih lengan panjang itu"
"Yang itu? Menurutku sangat bagus. Sportif tetapi feminim. Pasti pantas sekali untukmu"
"Tetapi yang mana?"
"Ambil saja kedua-duanya."
"Ah, kamu selalu bisa menghilangkan keraguanku," Gwen tersenyum sambil melambaikan tangannya kepada pelayan toko yang langsung melayaninya. "Terimakasih atas bantuanmu, Mas."
"Kamu terlalu tinggi menempatkan diriku, Gwen. Sebenarnya kan hal sepela. Kalau suka, ya dibeli. Uangnya ada, kenapa harus ragu."
"Yah, memang. Aku terlalu banyak pertimbangan. Takut nanti ada yang lebih bagus dan lalu menyesal"
"Ya kalau ada uangnya, dibeli juga. Kan targetmu mau membeli tiga potong gaun. Begitu kan katamu tadi?"
"Tetapi harga kedua gaun tadi di luar harga yang kutargetkan"
"Kalau begitu ya tutup mata saja, tak usah melihat gaun-gaun lainnya. Kelak kalau ada uangnya, bisa mencari lagi yang lebih bagus. Kan beres."
"Iya," Gwen tersenyum.
Selesai membayar Gwen mengekor di belakang Rangga dan bersama-sama mereka menuju ke tempat parkir. Saat itu senja telah berganti malam. Bintang-bintang di langit bertaburan. Angin lembut bertiup sepoi-sepoi.
"Ini tadi kebetulan kamu lewat dan melihatku atau memang kamu sendiri sedang mencari-cari sesuatu di toko tadi?" tanya Gwen sesudah mereka duduk berdampingan menyusuri jalan raya.
"Aku mencari kado pernikahan untuk Anika-Satya. Tetapi tak jadi, karena aku ingat kalau Satya memerlukan rak buku gantung. Aku bisa menyuruh orang membuatkannya di Jakarta. Jadi aku bermaksud pulang saja. Tetapi karena melihatmu, niat pulang kuurungkan. Aku ingin sekali pergi dan makan malam denganmu"
"Karena perutmu lapar?" Gwen berkata sekenanya, sebab hatinya berdebar riang mendengar suara Rangga yang mengatakan ingin sekali berada bersamanya itu.
"Tidak. Karena aku rindu sekali denganmu"
Suara Rangga yang mantap dan nada suaranya yang bersungguh-sungguh itu membuat Gwen menyambar wajah lelaki itu dengan matanya. Debur dadanya semakin bertalu-talu.
Melihat Gwen tak dapat berkata-kata, Rangga menoleh.
"Bagaimana kabar ibu?" tanyanya kemudian, mengalihkan pembicaraan.
"Puji tuhan, baik."
"Waktu kamu pergi ke sini, apa Jhonny datang mencarimu?"
"Ya... Dua hari berturut-turut dia ke rumah mencariku. Tetapi ibu menasihatinya, bahwa percuma saja usahanya mendekatiku. Entah apa saja yang dikatakan oleh Ibu, tetapi sesudah itu ia pulang kembali dan menulis pesan untukku, berterimakasih sekaligus meminta maaf."
"Syukurlah kalau begitu. Aku ikut merasa lega."
"Terimakasih atas perhatianmu" Gwen menjawab tanpa berani menoleh lagi.
"Kenapa harus berterima kasih?" Rangga berkata setengah menggerutu. "Biasanya tak pernah mengucapkan terima kasih."
"Itu kemajuan namanya. Aku menjadi lebih tahu bersopan santun" Gwen mengulum senyumnya.
Rangga tertawa. "Masih ada satu lagi perhatianku terhadapmu yang belum kuutarakan" katanya kemudian.
"Tentang?"
"Masih tentang kakak tiriku, Jhonny."
"Kenapa kamu begitu ingin tahu sih?"
"Karena aku ingin tahu siapa lelaki yang pernah mendekatimu. Aku tidak ingin kisah pahit semacam itu terulang pada dirimu."
"Kalau memang itu yang kamu khawatirkan, jangan takut. Aku tidak akan memikirkan hubungan khusus dengan seorang pria dalam jangka waktu yang lama. Jelas?"
"Jelas dan lega. Aku benar-benar prihatin dirimu akan terjatuh lagi ke tangan lelaki yang tak punya otak itu!"
"Mas Jhonny mempunyai otak yang terang, perasaan yang lembut dan karakter yang baik. Dia sekarang tinggal di sebelah rumah teman kuliahku. Tak mungkin ia akan menyia-nyiakan istri"
"Wah, sesempurna itu. Tetapi kenapa dia meninggalkanmu waktu itu?"
Gwen tidak segera menjawab karena mobil telah memasuki halaman rumah makan yang terkenal dengan masakan khas sundanya. Rangga menggamit lengan Gwen dan membawanya masuk ke dalam. Pertanyaan Rangga tadi masih menggantung, belum terjawab. Gwen merasa lega bahwa Rangga telah melupakan pertanyaan itu. Selama makan, pertanyaan seperti itu tak disinggung-singgungnya lagi.
Tetapi ternyata Gwen keliru. Sesudah hidangan di atas meja habis, Rangga menatap mata Gwen dan mengulangi lagi pertanyaan yang dikira Gwen telah terlupakan tadi.
"Gwen, kenapa dia meninggalkanmu waktu itu dan sekarang setelah dia kembali, kenapa kamu menolak didekati lelaki yang menurutmu sempurna itu?" katanya.
"Itu karena dia mencintai Selena bukan aku. Dan aku tak mencari lelaki yang sempurna."
"Lalu, apa yang kau cari sekarang?"
"Aku tak mencari apa-apa!"
"Tidak berpikir untuk pulang ke rumah kita dan menyelamatkan rumah tangga kita?"
"Sudah kukatakan, aku mau menenangkan diri diisni. Aku sedang ingin meniti karierku kembali." sahut Gwen. "Dan penolakan bukan saja untuk Jhonny, tetpi juga untuk setiap pria yang ingin mendekatiku"
"Tak ada pengecualian?"
"Tidak."
"Bagaimana kalau lelaki itu aku?"
Gwen menahan napas. Sedikit-banyak aku sudah menangkap maksud lelaki itu terhadapnya. Tetapi mendengarnya dengan telinga sendiri adalah sesuatu yang berbeda.
"Kamu ini kenapa sih, Mas?" Gwen mencela dengan terus terang. "Kita sudah sepakat untuk berpisah sementara sampai aku percaya dan ikhlas kalau Rafa benar-benar sudah tidak ada kan?. Atau kamu ingin meniru perbuatan Jhonny?"
"Jangan samakan diriku dengannya, Gwen. Kasusnya berbeda. Menikah denganmu adalah hal yang kudambakan selama ini, kedamaian dan suasana hangat yang akan bisa memacu kreativitasku dan mendorong karierku. Ketika aku bersama Selena, aku bukan orang yang sangat sabar yang bersedia setiap waktu momong seseorang yang kekanankan seperti dia."
"Terhadapku, kamu mau"
Rangga tersenyum dan menatap Gwen dengan mesra.
"Itu lain. Sangat lain!" katanya kemudian. "Pertama, kamu tak pernah memiliki keinginan untuk mendikteku ataupun menguasaiku. Kedua, aku sudah kenal lika-liku hatimu. Ketiga, aku.... aku sangat mencintaimu, Gwen. Mulanya kusangka warna cinta itu masih sama seperti dulu ketika kita masih kuliah. Tetapi ternyata aku sadar dengan sepenuh kesadaranku bahwa ternyata aku mencintaimu seperti cinta seorang lelaki kepada wanita yang menjadi pusat perhatiannya. Lebih-lebih setelah kita memiliki Kasih. Aku berani memastikan bahwa hal semacam itu tak akan mungkin dapat kualami jika aku bersama wanita lain. Sebab bersamamu, aku mengalami sesuatu yang sangat menakjubkan. Seolah hanya kamu seorang sajalah yang pas, yang cocok dan dapat saling melengkapi dengan sempurna"
Sekali lagi Gwen tertegun. Kini ia tak mampu bicara apa pun. Sungguh ia tak mengira akan mendengar pengakuan seperti itu.
"Gwen, aku tahu kamu heran mendengar kata-kataku. Tetapi seharusnya kalau kamu mau lebih memperhatikan segala hal yang terjadi di antara kita, kamu pasti tidak akan heran."
Gwen tertunduk dengan pipi kemerahan.
"Sejujurnya... memang aku sendiri sering merasa heran. Tetapi selalu saja kalau hatiku mulai memikirkannya, aku sudah menafsirkannya jauh-jauh ke relung batinku yang paling gelap" sahutnya perlahan.
"Aku bisa mengerti itu. Dan memang cukup wajar kalau kamu bersikap seperti itu. Aku yakin... kamu masih mencintaiku dan tidak ingin selama berpisah denganku ataupun Kasih."
To Be Continued