Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 192 - Sebuah Rasa

Chapter 192 - Sebuah Rasa

Surabaya

Gwen POV

"Nia, kamu pulang?" ibu keluar dari dapur dan kaget melihatku sudah berdiri di ruang tengah bersama kedua temanku.

"Iya, Bu. Boleh sementara kami tinggal di sini?" Aku meminta izin pada ibu.

"Mana Rangga? kenapa kau pulang bersama mereka?"

Mendengar nama Rangga disebut lagi, aku memejamkan mata.

"Mereka memaksa ikut Bu, Kasih tidak mau ikut jadi Mas Rangga yang jaga dirumah," Aku menjawab lemah.

"Yasudah, kalian istirahat dulu di kamar. Ibu siapkan makanan, ya?"

Setelah mengangguk, aku, Anika dan Dara berjalan naik ke kamarku. Tenagaku sudah terkuras habis selama satu bulan ini, ditambah kehadiran kedua iparku saat ini.

Begitu membuka pintu kamar, tatapanku langsung tertumbuk pada bingkai foto di meja. Fotoku bersama Kasih, saat Kasih dibawa pulang ke rumah ini. Aku melahirkan anak kembarku di kota ini. Tanganku bergerak menyentuh dua foto lain. Foto bersama nenek dan ibu. Lalu fotoku bersama orangtua Mas Rangga. Tidak ada fotoku bersama Mas Rangga. Juga tidak ada foto kamu bertiga. Memang sudah sejak awal keluarga kami terpecah.

Mata Kasih seperti Mas Rangga. Tidak sepertiku. Juga rambutnya berwarna hitam, seperti rambut Mas Rangga. Aku duduk di tempat tidur sambil memandangi foto Kasih. Kudekap foto Kasih erat-erat di dada.

"Nia, Dara, Anika, makan dulu!" teriak ibu dari bawah.

Aku berdiri dan diikuti Dara dan Anika berjalan ke dapur. Selama ini aku sudah lupa bagaimana rasanya makanan enak. Sudah tidak pernah lagi peduli apa tubuhku perlu makanan bergizi. Aku tidak memerlukan itu lagi.

"Ibu masak ini, Ni!" Ibu menunjuk bumbu gado-gadi di depannya. "Siapa tahu kamu kangen masakan ibu."

"Ya, Bu." Terpaksa aku mengisi piring penuh-penuh dan berusaha makan demi membuat ibu tidak khawatir.

"Kalau kalian ada masalah, ya, dibicarakan, Ni. Bukan kabur begini. Tidak perlu menutupi dari ibu. Ibu bisa membacanya." Masalah dalam asmara dan rumah tangga memang sudah ditebak oleh mereka yang sudah makan asam garam kehidupan, seperti ibuku ini.

Karena Anika dan Dara tidak mau bicara. Aku terpaksa mengakhiri kecanggungan ini.

"Kami sudah bicara, Bu. Makanya aku pulang ke rumah Ibu sementara. Aku tidak bisa tinggal di sana. Aku selalu ingat Rafa." Selain itu aku juga memerlukan ruang untuk memikirkan apa yang akan kulakukan setelah ini.

"Apa Rangga selingkuh? Kalau dia selingkuh, Ibu setuju kamu pisah dengannya."

"Tidak..." Aku menggeleng.

"Apa Rangga tidak memberi kamu uang belanja lagi? Rangga memukul kamu? Rangga kasar sama kamu dan Kasih? Menyakiti kalian?"

Semua pertanyaan mendapatkan gelengan kepala dariku. "Nggak.."

"Lalu kenapa kalian bisa sampai seperti ini lagi? Serumah tapi putus komunikasi? Apa kamu yang selingkuh?"

"Kami memang sudah tidak cocok hidup bersama."

"Alasan apa itu?!"

"Kami punya pertimbangan lain sekarang."

"Pertimbangan apa?" desak ibunya.

"Pernikahan ini hanya akan membatasi kami, Bu. Membatasi cita-cita masing." Saat ini kami berada dalam fase aku mencintai Mas Rangga tapi pernikahan bukan tempat yang tepat untuk kami. Kami punya hidup dan keinginan yang berbeda. Aku ingin pergi dari rumah besar itu dan membangun keluarga kecilku sendiri sementara Mas Rangga tidak. Keluarganya selalu menuntutuku memiliki anak laki-laki. Perbedaan pandangan yang besar dan mendasar. Ketidakcocokan yang mungkin sulit diselesaikan oleh cinta.

"Masing-masing? Kalau sudah menikah itu tidak lagi 'masing-masing', Gwenia."

"Bu." menghadapi wanita yang melahirkanku ini benar-benar tidak mudah. "Aku dan Mas Rangga sudah menyepakati ini dan hanya ini yang bisa kami lakukan."

Karena tidak bisa mengandalkan cinta, menurutku, yang bisa menyelesaikan masalah ini adaha Mas Rangga sendiri. Mas Rangga harus mau mengubah cara berpikirnya tentang hidup berumah tangga. Meskipun aku tidak yakin apakah Mas Rangga bisa melakukannya. Tidak tahu karena kami tidak pernah lagi duduk dan membicarakan masalah kami dengan kepala dingin.

Komunikasi yang memegang peranan penting dalam setiap hubungan, tidak seharusnya diabaikan. Akibatnya pernikahan kami hancur karenanya.

"Kenapa kamu tidak jujur sama ibu, Ni? Ibu dan Anita... keberatan dengan keputusan kalian itu. Ya... mungkin ini bukan sepenuhnya salah kalian juga. Ini juga salah kami sebagai orangtua." Semakin runyam kalau ibu mulai membawa nama ibu mertuaku. Mommy Anita sudah seperti ibu kedua lagiku. Mengecewakan dua orang ibu?

"Bu, ini tidak ada hubungannya sama ibu dan Mommy Anita. Ini salahku dan Mas Rangga." Aku batal lagi menyentuh makanan.

"Kami kurang baik mendidik kalian. Gagal sebagai orangtua."

Sebagai anak yang dibesarkan dalam keluarga yang hangat dan penuh cinta, aku juga tidak menyangka aku tidak bisa mencontoh bagaimana orangtuaku menjalani pernikahan.

"Ibu sudah pernah mengingatkanmu, Ni. Banyak orang tidak tahu kalau menikah itu tidak melulu tentang kebahagian. Bukan berarti karena suami dan istri saling mencintai, merasa sudah sangat kenal satu sama lain, lalu pernikahan kalian akan lancar tanpa hambatan. Tanpa kesulitan. Kamu sudah merasakannya, kan?

"Walaupun tidak ada yang selingkuh, masalah internal di antara kalian berdua juga tidak kalah hebatnya menjadi pemicu pertengkaran. Hidup satu rumah dengan lelaki itu tidak mudah. Betul, kan?"

Memang tidak mudah. Sangat tidak mudah. Aku menelan ludah, apalagi tinggal bersama keluarganya.

"Kita sama-sama tahu, tidak ada buku panduan, SOP, manual atau apapun itu dalam pernikahan. Tidak ada standar baku yang mengatur bagaimana menjalani pernikahan. Masalah yang datang juga tidak terduga dan lebih sering kita tidak siap. Ada yang tiba-tiba suaminya di PHK, sakit, terlibat hutang, ditipu orang dan untuk kasus kalian... anak kalian meninggal. Seharusnya, saat ada masalah sebesar itu, suami istri tetap bersama. Saling menguatkan. Tetap bergandengan tangan..."

"Kalau sudah punya anak seperti kalian itu, bisa saja semakin sering bertengkar. Stress memikirkan kebutuhan hidup... sudah hilang antusiasme pengantin baru. Itu tidak hanya terjadi di pernikahan kalian, Ni. Ibu dulu sering ribut dengan mendiang ayahmu masalah itu. Ayahmu seperti tidak mau mengerti bahwa mengurus anak bikin ibu capek.

Di antara semua salah paham, miskomunikasi, tuntutan ibu yang macam-macam, keingin ayahmu yang berbeda dengan ibu... ibu dan ayah belajar bicara sambil duduk, tidak berteriak, tidak saling menyalahkan. Saling mendengarkan alasan dan mencari jalan keluar. Ibu rasa, kamu harus bisa fleksibel dan toleran. Ajak Rangga untuk melakukan hal yang sama." Ibuku mengakhiri nasihat panjangnya.

***

Keesokan Harinya

Dara POV

Aku sarapan sendirian. Anika dan Ka Gwen belum mau bangun. Katanya kepalanya sakit sekali. Salah sendiri. Minum wine kok sampai bergelas-gelas. Ya begitu akibatnya.

Aku baru saja menyesap kopi susu ketika melihat sosok pria manghampirinya di ruang makan.

"Dara!" sapa pria itu ramah.

Ya ampun! pekik Dara dalam hati. "Itu kan..."

"Om Sultan! How are you?"

"Fine. Kemarin malam, Om lihat Gwen meninggalkan rumah sendirian, Om tau seharusnya Om tidak ikut campur masalah rumah tangga Rangga dan Gwen. Tapi, melihat Kasih menangis dikamarnya, Om rasa, Om harus bicara dengan Gwen."

Om Sultan, yang akhir-akhir ini aku baru tahu, dia ayahnya Anika, memelukku erat. Suara Om Sultan sangat ramah. Senyumnya menyejukkan. Dan pelukannya, sungguh terasa hangat. Hmm... sekarang aku tahu sifat-sifat Anika itu menurun dari siapa...

"What are you doing here? Bukannya kamu juga akan menikah dengan Bara? Pernikahan kan tinggal beberapa hari lagi. Kenapa kamu ada di sini?" Om Sultan melontarkan bertubi-tubi pertanyaan dengan wajah tetap cerah ceria.

Lho? Memangnya Om Sultan tidak tahu apa yang sedang terjadi di Jakarta? Memangnya Om Sultan tidak tahu apa yang membuat Anika, juga aku, berada di Surabaya?

Mata Om Sultan membulat. Menunggu jawabanku.

Hmm... Sepertinya Om Sultan memang tidak tahu apa-apa tentang prahara yang terjadi di Jakarta.

"Ehem..." Aku berdeham. Membersihkan tenggorokan yang tiba-tiba tersumbat. Kenapa aku harus jadi orang yang mengabarkan berita buruk ini ya?

Dan bergulirlah cerita itu dari mulutku, kecuali cerita perihal Anika anaknya Om Sultan, aku merasa itu bukan ranahku untuk menceritakannya. Om Sultan tampak sangat terkejut. Berkali-kali dahinya terlihat berkerut. Sesekali dia mengusap peluh yang berkumpul di dahinya.

"Aku berpesan kepada Ka Devan bahwa lebih baik Ka Satya tidak datang menemui Anika dulu. Biar Anika lebih tenang dulu..." tuturku.

Om Sultan mengangguk.

"Tetapi yang terjadi di Jakarta juga tidak kalah hebohnya. Aku dengar Mom memaksa Ka Satya menikahi Tina dan membatalkan secara sepihak, rencana pernikahan Satya dan Anika." Aku merasa sangat tidak enak harus memberitahu Om Sultan apa dilakukan ibuku di Jakarta, tetapi aku hanya berusaha jujur, berkata apa adanya kepada Om Sultan, yang sangat disayangkan, tidak tahu apa-apa mengenai masalah ini.

"Oh my God... Om tidak tahu semua ini." Om Sultan mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. "Adam dan Namira memang meminta Om untuk segera cuti kerja. Untuk menghadiri Satya dan Anika... tapi bukan dengan perempuan lain." Om Sultan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. "Kalau bukan kamu yang cerita, i won't believe it at all..." Tangannya mengusap rambutnya.

"I'm sorry to say, but that's what really happened..." Aku merasa sedih dan bersalah melihat raut wajah sedih Om Sultan. Aku tidak suka membuat Om yang baik hati itu jadi sedih, tapi.... yang beginilah keadaan yang sebenarnya.

Om Sultan menggeleng-geleng. "Namira, Namira... kenapa dia bisa begitu ya?" ujarnya penuh penyesalan.

Laki-laki yang baik. Itulah Om Sultan dimataku.

"Berarti sekarang Satya sedang dipaksa untuk menikahi Tina?" tanya Om Sultan. Matanya menatap langsung ke arahku.

Aku mengangguk.

"Anika di mana?"

"Dia ada di kamar sama Gwen. Kemarin mereka stress bersama dan mengamuk. Sekarang mereka perlu beristirahat."

Om Sultan mengangguk-angguk. "I have something to do..." gumamnya. "Dara, thanks a lot for the information. I love you so much dear..." Om Sultan merangkulku dengan hangat. Dia bahkan mencium kedua pipiku. Hatiku terasa lapang. Beban berat ini tidak harus aku tanggung sendirian sekarang.

Om Sultan lalu beranjak pergi. Sebelum berjalan terlalu jauh, dia berpaling. "Don't say anything about our meeting to Anika, Okay?"

Aku mengangguk.

To Be Continued