Author POV
Dara melihat ke sekeliling ruang tamu rumah Anika dan mengembuskan napas lega. Dia sudah bekerja keras untuk mempercantik ruangan ini. Tante Hara dan Tante Anita mondar-mandir membantu Dara menata makanan, meskipun Tante Hara masih harus duduk dikursi roda. Dara menghubungi Karina.
"Sudah siap belum, Rin?" tanyanya.
"Sudah beres semua, Dar!" sahut Karina.
Tante Anita dan Tante Hara berlalu di hadapan Dara.
"Lho? Pada mau ke mana nih?" tanya Dara melihat tas yang disandang di bahu mereka masing-masing.
"Kamu mau keluar saja. Tidak enak gangggu acara gadis-gadis..." Tante Anita dan Tante Hara tersenyum malu-malu.
"Yakin nih?" goda Dara. "Tidak mau ikut acaranya? Padahal kan Tante Hara dan Tante Anita sudah bantu aku mengatur makanannya."
Tante Hara dan Tante Anita tersenyum-senyum lagi. "Sebenarnya sih mau ikutan, tapi... malu ah..."
Dara tersenyum geli melihat tingkah kedua wanita itu.
"Ya sudah. Nanti dikasih lihat foto-fotonya saja deh..."
Tante Hara dan Tante Anita mengangguk sambil tertawa, kemudian berlalu pergi.
Anika keluar dari kamarnya sambil tersenyum lebar. Aura kebahagiaan terpancar dari wajahnya dan itu membuat penampilannya tampak semakin cantik.
"Wah! Keren!" komentar Anika melihat ke sekeliling ruang tamu. Bunga-bunga segar tertata di setiap sudut ruangan. Menebarkan harum ke seluruh penjuru ruangan. Di atas meja sudah tertata rapi anek macam roti isi, kue-kue kering dan basah, sepoci besar teh, juga ada sepoci besar kopi dan tak lupa.... es krim! Lingerie shower kali ini akan dilaksanakan sore hari, jadi makanannya juga ala tea time.
Pukul empat kurang lima belas menit. Karina datang. Dia membawa kotak-kotak yang berisi peralatan untuk games nanti. Setelah itu tamu-tamu mulai berdatangan. Dara sempat menyapa dan mengobrol ringan dengan beberapa teman dari masa sekolah dulu. Teman-teman Anika membawa beberapa hadiah berupa lingerie dan pakaian dalam yang superseksi, peralatan mandi, berbagai macam produk perawatan tubuh, sampai bikini aneka warna.
Lima menit sebelum acara dimulai, Mika datang bersama sepupu bungsunya, Nisya. Dara sudah lupa sama sekali pada Nisya. Terakhir mereka bertemu adalah... ketika Nisya dengan suksesnya menyebabkan keretakan hubungan Juan dan Karina. Hmm... sudah enam tahun yang lalu.
"Hai, Nisya..." sapa Dara. Nisya tidak tersenyum, hanya menatap sinis ke arah Dara. Dia berlalu begitu saja, tidak juga menyapa Anika si empunya rumah dan duduk dengan wajah ditekuk. Dara mengangkat bahu.
"Dia masih sakit hati..." bisik Anika melihat wajah Nisya. "Tapi, dia yang menghubungi aku, minta diundang datang ke acara ini. Aku tadinya sudah malas, tapi kata Mika, biar bagaimana pun dia masih saudara tiriku. Jadi..." Anika juga ikut mengangkat bahu.
Acara kemudian dimulai. Karina membuka acara lingerie shower ini dengan sebuah games pembuka. Anika ikut aktif dalam games, sementara Dara sibuk mengabadikan acara ini.
Ting tong!
Saat games sedang seru-serunya berlangsung, tiba-tiba bel berbunyi.
"Siapa tuh?" Anika agak terusik dengan interupsi ini.
Dara mengangkat bahu. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sepertinya semua yang diundang sudah datang. Dia beranjak ke pintu dan membukanya. Seorang kurir datang membawa buket bunga yang besar sekali beserta sebuah amplop.
"Untuk Nisya Sonya Hilmar," kata kurir itu.
Nisya langsung bangkit dari tempat duduknya dan berjalan penuh gaya menghampiri kurir itu. Dia mengambil buket bunga dan amplop dan membenamkan wajah di buket itu. Seluruh orang yang ada di sana mengernyit melihat tingkah laku Nisya. Tapi Nisya tidak peduli. Dengan gaya dramatis dia membuka amplop itu.
"Ah..." dia tertawa sengau. "From Bee. To my lovely fience. Nisya Sonya Hilmar." Dia tertawa lagi.
Ada yang aneh dalam sandiwara ini. Kenapa tunangan Nisya, si Mr. Bee itu mengirimkan buket bunga superbesar ke alamat Anika? Bukankah selama di Jakarta, Nisya tinggal di rumah kakaknya, yang jaraknya lumayan jauh dari rumah Anika.
Nisya mengerling ke arah Anika. "Tunanganku benar-benar pria romantis. Apa Satya pernah kirimin kamu buket bunga seperti ini?"
Wajah Anika berkerut, tapi dia tetap diam. Tidak mau meladeni ulah Nisya.
Menanggapi diamnya Anika, Nisya kembali tertawa sengau. "Sepertinya tidak pernah, ya? Aku akui hubungan backstreet seperti kalian itu jarang ada yang romantis seperti kami. Wajarlah, keluarga elite seperti Keluarga Wardana tidak mungkin asal dalam memilih calon menantu, apalagi calon menantu yang asal usulnya tidak jelas sepertimu, Kau tahu ayah kandungmu siapa? Tidak, kan?"
Anika masih diam.
Merasa di atas angin, Nisya kembali berkoar. "Aku dengar ibunya Satya tidak setuju dengan pernikahan kalian, karena ternyata kau masih ada ikatan saudara dengan Satya. Kau belum tahu, kan? kalau dirimu, Anika Prima Maheswari adalah hasil hubungan gelap antara ibumu dengan Om Sultan Wardana."
Kali ini tamu-tamu yang hadir muali berkasak-kusuk.
"Katanya, ibunya Satya lebih setuju kalau Satya bersama Ka Tina, pacar pertamanya itu jadi istrinya. Aku dengar juga katanya kamu dulu yang merebut Satya dari Ka Tina. Benar begitu, Nik? Aku sih tidak heran ya, toh kamu juga lahir dari perbuatan haram."
Tamu-tamu mulai berkasak-kusuk. Dasar manusia gosip! Tadinya mereka tersenyum lebar ketika melihat kebahagiaan Anika, tapi sekarang.... disodori kalimat-kalimat provokatif sedikit saja, mereka mulai berkasak-kusuk. Lagipula, bagaimana Nisya ini bisa tahu permasalahan antara keluarganya dan keluarga Wardana? Sampai-sampai persoalan tentang Tina juga diketahuinya.
"Tutup mulut kamu, Nisya! Anika tidak pernah merebut Ka Satya dari siapapun!" bela Dara. "Hubungan Ka Satya dan Tina sudah berlalu ketika Ka Satya mendekati Anika. Catat ya, Ka Satya yang mendekati Anika duluan. Bukan sebaliknya!"
Nisya kembali tertawa sengau, tidak peduli dengan kata-kata Dara. "Kamu tidak mau mempertimbangkan rencana pernikahanmu, Nik? Bad luck punya mertua seperti itu, kalian juga masih ada ikatan saudara, kan? seperti tidak ada lelaki lain saja didunia ini, kamu benar-benar mirip ibumu, target kalian selalu orang-orang kaya. Setali tiga uang."
Wajah Anika langsung pucat. Dia tidak sudi ibunya dihina seperti itu. Lagipula, apa maksud Nisya dengan meminta Anika mempertimbangkan rencana pernikahannya? Benar-benar asal bunyi saja Nisya!
Melihat wajah Anika yang semakin pucat menahan amarah, Dara buru-buru mendekati dan merangkul tubuh kakak iparnya yang bergetar hebat.
"Udah, Nik. Tidak usah diladenin," bisik Dara.
"Jaga. Mulut. Kamu!" Anika memberi penekanan pada setiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Kan orangtua yang busuk menghasilkan anak yang busuk juga!" Tatapan Nisya tajam menghujam.
Tubuh Anika begetar lebih hebat lagi. Tubuhnya siap meledak karena amarah yang tergumpal di dalam hatinya. Susah payah Dara menahan tubuh Anika, tapi Anika menepis tangannya, dan...
PLAK!
"Jangan sekali-kali, kamu bicara kurang ajar tentang Bunda!" sembur Anika penuh kemarahan. "Kamu tidak tahu apa-apa tentang Bunda, jadi jangan pernah menghinanya!"
Nisya memegangi pipinya. Wajahnya tampak malu, tapi itu tidak menyurutkan tekadnya untuk kembali menghina orangtua Anika.
"Fine, aku tidak akan membahas keluargamu. Tapi asal kamu tahu, daru dulu aku sudah tahu kalau hubungan kalian tidak akan bisa berjalan mulus!" jerit Nisya. "Sekarang Satya sedang mengadakan bachelor party dan kamu tahu siaap yang juga datang?" Nisya tersenyum lebar. "Kakakku, Tina Juliana Hilmar."
Wajah Anika pucat pasi. Tubuhnya kembali bergetar hebat.
Dara mengernyit. Dari mana Nisya tahu soal bachelor party yang diadakan Satya?
"Silahkan kamu cek sendiri kalau kamu tidak percaya!" ujar Nisya menantang.
Dengan tubuh bergetar, Anika mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Satya. Dara menahan tangan Anika, mencegah Anika melakukan sesuatu yang akan memperparah keadaan. Tapi, Anika menepis kasar tangan Dara.
Anika menatap garang ponselnya. Tampaknya ponsel Satya tidak berhasil dihubunginya. Dia mencoba lagi.
"Halo, Devan...." sapanya dengan suara bergetar. Rupanya kali ini dia menghubungi Devan. "Satya mana?"
Dara dan semua tamu memperhatikan perubahan wajah Anika.
"Ngapain dia juga ada di sana?!" teriak Anika histeris.
Nisya mendengus. Wajahnya ceria bagai bunga yang baru mekar.
"Bagaimana?" suara Nisya penuh kemenangan. "Ada Ka Tina kan di sana?"
"Dari mana kamu tahu semua itu?" tanya Anika. Wajahnya tampak keruh sekali.
Nisya mendengus. "Tidak perlu kamu tahu dari mana aku tahu. I just know it." Dia berjalan menghampiri Anika. "Satya bukanlah lelaki yang setia. Aku sudah tahu itu dari dulu... sama seperti ayah kandungmu, Om Sultan Wardana." bisiknya.
Sebuah kertas terjatuh ketika Nisya beranjak menjauhi Anika. Dara memungut kertas itu dan memperhatikannya.
HAH!
Dara tersenyum. "Nisya..." panggilnya pelan. "Bunga itu benar dari tunanganmu?"
Nisya berputar, menghadap Dara. Dengan tatapan mencibir dia menjawab, "Tentu saja, kenapa? Kamu juga sirik ya? Kalian memang gadis-gadis yang menyedihkan!"
"Oh begitu... lalu kenapa di kertas ini tertulis bahwa pengirim bungan itu adalah Nisya Sonya Hilmar dan ada notes di sini yang meminta agar bunga itu dikirimkan ke rumah Anika?" Dara mengibarkan kertas merah muda yang tadi terjatuh.
Kini giliran Nisya yang memucat. Anika merebut kertas itu dari tangan Dara. Dia memperhatikannya dengan mata menyipit.
"Jadi sebenarnya, kamu punya tunangan atau tidak?" cecar Dara penuh amarah.
Kasak-kusuk kembali terdengar. Para tamu kembali diam-diam mengomentasi drama yang tengah terjadi. Pandangan Nisya melemah, tidak segarang tadi.
Dara sebenarnya tidak suka berada di posisinya sekarang. Posisi seorang eksekutor, tapi dia harus membela Anika. Dia harus membuktikan bahwa Nisya adalah pembohong dan semua kata-katanya tidak dapat dipercaya.
"Jadi, sebenarnya kamu punya tunangan atau tidak?" ulang Dara lagi.
Ting tong!
Bel pintu rumah Anika berbunyi lagi. Dengan sangat enggan. Anika beranjak untuk membuka pintu.
Nisya masih berdiri mematung. Berubah menjadi si pesakitan dalam drama ini. Tamu-tamu lain, diam-diam masih berkasak-kusuk. Karina mendekati Dara. Tampak bingung juga harus beraksi apa.
Anika masuk kembali, diikuti dua laki-laki berwajah sangar. Mereka berpakaian serbahitam.
"Siapa, Nik?" tanya Dara heran. Dia tambah heran melihat pucat ketakkutan di wajah Nisya. Nisya merangsek panik dan bersembunyi di belakang Karina dan Mika.
"Jangan...!" teriaknya. "Jangan tangkap saya! Saya pasti akan melunasi utang-utang saya!"
"Kami di sini untuk menjemput Ibu Nisya Sonya Hilmar," ujar salah seorang lelaki tegap itu. "Ibu Nisya diminta untuk segera ikut ke kantor polisi."
"Jangan!" teriak Nisya panik. Dia masih bersembunyi di belakang Mika dan Karina, kedua pria kekar tadi beranjak maju dan mencengkeram tangan Nisya.
"Kalau boleh tahu," tahan Dara, "apa yang telah dia lakukan? Lalu, kenapa anda bisa tahu Nisya ada di sini?"
Lelaki kekar yang kedua menunjukkan sebuah surat penahanan. "Ibu Nisya Sonya Hilmar telah dicari-cari pihak debt collector dari London karena tidak membayar utang-utang kartu kreditnya. Sekarang pihak penuntut telah membawa kasus ini ke kepolisian Indonesia. Kami memiliki informan yang tersebar di mana-mana. Salah satunya memantau rumah Ibu Nisya dan membuntutinya ke sini. Ibu Nisya Sonya Hilmar harus ikut ke kantor polisi sekarang juga!"
"Jangan! Mika! Anika! Dara! Karina! Tolong aku!" jerit Nisya panik. Kedua tangannya diseret oleh kedua lelaki kekar itu.
"Apa tidak ada cara lain, Pak?" tanya Mika. Hatinya iba melihat Nisya diseret seperti itu.
"Ibu Nisya telah berkali-kali kabur dari kejaran kami. Untuk kali ini, kami tidak akan membiarkannya lolos lagi. Siapa saja yang menghalangi kami akan dianggap telah bersekongkol dengan Ibu Nisya. Dan siapa saja yang bersekongkol dengan Ibu Nisya, akan ditangkap juga!" ujar mereka tegas.
"Anika! Aku minta maaf. Aku minta maaf atas semua perbuatanku. Tapi, tolong aku. Aku tidak mau masuk penjara!!! Anika! Dara!"
Mika, Anika, Dara, Karina dan semua tamu yang hadir di sana hanya bisa menatap kepergian Nisya tanpa mampu berbuat apa-apa.
To Be Continued