Wardana's House
Author POV
Gwen duduk seorang diri di kamar Kasih. Sementara Rangga masih termenung di ruang tengah. Di ruang makan, Anita sedang sibuk membujuk Kasih supaya makan, meskipun baik Anita sendiri maupun Rangga dan Gwen tidak ada yang menyentuh makanan mereka.
Orang dewasa berhak atas perutnya sendiri. Tetapi anak kecil tidak. Kasih didesak-desak dipaksa makan walaupun dia sendiri sama sedihnya seperti yang lain. Bedanya, kesedihan Kasih sebagian besar karena ketidahktahuannya.
Apa yang telah terjadi? Kenapa semua orang menangis? Mengapa Papa-Bunda membisu seperti itu? Di mana adik bayi yang baru dilahirkan? Kasih masih dapat mendengar tangis ibunya dari dalam kamar. Begitu lirih. Begitu pilu.
"Kembalikan Rafa padaku, Tuhan!" tangisku getir. "Kenapa Kauambil milikku yang paling berharga? Tidak adil memisahkan kami, Tuhan! Tidak adil!"
Di akhir setiap dialognya yang bisu dengan Tuhan, Gwen menangis tersedu-sedu. Tidak ada jawaban. Tidak ada tanggapan. Tuhan tetap membisu. Dan Rafa tetap belum kembali... berputar di depan mataku. Seperti film yang tidak ada habis-habisnya. Beputar dan kembali berputar lagi...
Gwen sudah memejamkan matanya rapat-rapat. Sudah menutupi mukanya dengan bantal. Tetapi dalam kegelapan pun film itu tetap berputar...
Gwen memukuli dadanya. Kepalanya. Bantalnya. Sesal menggigit jantungnya. Menggerogoti hatinya. Dia tidak pernah berhenti menyalahkan diri sendiri.
Sia-sia Gwen memekik. Ingin memuntahkan seluruh kepengapan hatinya. Beban yang berat itu tetap menindihi dadanya... Kesedihan yang sarat dengan sesal itu tetap mengoyak-ngoyak jantungnya... mengirisnya menjadi serpihan kecil-kecil yang nyeri...
Sampai tangis itu merobek telinganya... tangis anaknya! Dan naluri keibuannya tergugah. Dia bangkit. Mencari asal tangis itu. Rafakah yang menangis? Di mana dia?
Tetapi yang ditemuinya di luar hanya Kasih. Kasih dalam gendongan Anita. Dia sedang menangis.
Dan tangisnya tambah hebat ketika melihat Gwen. Diulurkannya tangannya pada ibunya. Digapai-gapaikannya tangannya minta digendong.
***
Dengan penuh kasih sayang Rangga membawa istrinya ke kamar. Lilin di dalam kamar itu pun telah padam. Terpaksa Rangga menyulutnya lagi. Ketika api lilin telah menyala, Rangga melihat Gwen melekatkan wajahnya ke kaca jendela yang telah buram oleh titik-titik air hujan.
"Ke mana dia, Mas? Tadi dia di sana. Aku melihatnya. Dia menangis hendak masuk ke sini..."
Sambil menghela napas Rangga merangkul istrinya.
"Tidak ada siapa-siapa, Sayang. Suara hujan dan anginlah yang menyesatkan pendengaranmu...."
"Tapi aku mendengar Rafa menangis, Mas! Aku dengar suara tangisnya!"
"Itu suara Kasih. Tadi dia menangis."
"Tidak! Rafa-lah yang menangis! Akku melihatnya!"
"Tak mungkin kau melihatnya, Gwen. Rafa sudah meninggal! Dia tidak bisa lagi datang kemari!"
Gwen menangis tersedu-sedu di dada suaminya. Suatu waktu, tempat ini selalu menjadi tempat yang paling didambakannya.
Di sana dia merasa aman. Merasa terlindung. Kesedihan yang seperti apapun tidak mampu menggoyahkannya lagi kalau dia sudah bersandar di dada Rangga.
Tetapi saat ini, tak ada yang mampu menghibur kepediahan hatinya. Tidak juga dada Rangga, tempat yang paling dirindukannya. Apapun yang dilakukannya, di mana pun dia menyandarkan kepalanya, hanya bayangan Rafa yang tampak di rongga matanya.
"Mengapa dia harus pergi, Mas? Mengapa?" rintihnya berulang-ulang.
"Sudah kehendak Tuhan, Sayang..." bisik Rangga terenyuh.
"Aku tidak percaya sudah kehendak Tuhan. sopir sinting itu melarikan truk mautnya menabrakku! Itu pasti kehendak setan!"
"Kalau sudah ditakdirkan umur Rafa memang hanya sekian, sopir dan truk itu hanya alat untuk menggenapkannya, Sayang. Seandainya hari itu kamu sembunyi di rumah sekalipun, kita tak dapat mengelakkan takdir!"
"Aku tidak percaya pada takdir, Mas! Akulah yang bersalah! Kalau saja hari itu aku tidak usah pergi berbelanja..."
"Semuanya sudah terjadi, Sayang. Untuk apa disesali lagi? Tak ada gunanya. Hanya menyiksa dirimu sendiri. Sekarang tidurlah. Jangan pikirkan apa-apa lagi."
Dengan lemah lembut Rangga membawa istrinya ke tempat tidur. Dibaringkannya Gwen dengan hati-hati. Diselimutinya baik-baik.
"Apa dosaku, Mas?" rintih Gwen pilu. Di bawah cahaya lilin yang berkelap-kelip, air matanya tampak berkilat-kilat seperti kilatan sembilu yang merobek-robek hati Rangga. "Mengapa anakku diambil dari sisiku lagi? Aku begitu sayang pada mereka, Mas! Aku rela menukarnya dengan apapun juga!"
"Aku yang berdosa kepada Tuhan, Gwen..." Rangga duduk di tepi pembaringan dengan kepala tepekur.
"Kepadamu... dan kepada Kasih... pada saat Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk berkumpul bersama-sama."
Sekarang Rangga yang menyesal. Dipeluknya Gwen sambil menahan tangis. Mengapa dia dulu harus melukai hati wanita yang begitu dicintainya?
"Maafkan aku, Sayang... Aku yang bersalah... tapi mengapa Kafka dan Rafa yang harus menebus dosaku dengan darahnya? Mereka tidak tahu apa-apa... mereka masih terlalu kecil untuk mengerti..."
"Tidak, Mas..." ratap Gwen getir. "Aku yang salah... aku yang membawa mereka menghadang maut... aku yang membunuhnya!"
"Jangan salahkan dirimu, Gwen... kamu tidak bersalah... sudahlah, semuanya sudah jadi kehendak Tuhan... pasrahlah, Gwen... relakan dia pergi... supaya Rafa memperoleh damai di rumahnya yang baru bersama Kafka... Aku berjanji di hadapanmu, di depan Kasih, aku takkan pernah lagi menelantarkan kalian..."
***
Saat Hara membuka mata, ia melihat Anika sedang menatapnya.
"Bunda, sudah waktunya bangun," ucap Anika sambil tersenyum. "Bunda sudah tidak sadarkan diri selama dua hari."
"Kakiku.....," ucap Hara perlahan.
"Kaki Bunda baik-baik saja."Anika tersenyum lagi. "Om Adam berhasil menyelamatkannya."
Hara merasa sedikit lega. Ia melihat balutan putih di kaki kanannya. Ia benar-benar bahagia kakinya bisa diselamatkan.
"Bunda mau minum?" tanya Anika.
Hara mengangguk.
Anika mengangkat kepala Hara dengan hati-hati dan memberinya minum.
"Kau tidak terlihat seperti gelandangan kali ini," ucap Hara perlahan pada Anika.
Anika tertawa. "Bunda sudah bisa bercanda. Aku senang. Yah, kali ini bukan aku yang seperti gelandangan. Tapi Om Sultan benar-benar kusut. Dia menjaga Bunda siang-malam tanpa henti. Barusan saja aku baru bisa meyakinkannya untuk beristirahat."
Hara menggenggam tangan Anika. "Aku tidak mau menemuinya."
Anika berdecak. "Om Sultan sudah tahu semuanya. Berhentilah membuatnya sengsara. Bunda hanya akan menyakiti diri sendiri."
"Kau tidak mengerti," sanggah Hara. "Bunda tidak bisa menjadi bagian dari hidupnya."
Anika memutuskan untuk angkat tangan dalam masalah Hara dan Sultan. "Aku rasa Bunda harus mengatakan sendiri padanya tentang hal itu. Aku tidak mau mencampuri urusan Bunda dengannya lagi. Tapi Bunda harus tahu, aku mendukungnya."
"Sejak kapan kau mendukungnya?" tanya Hara curiga.
"Aku tidak akan memberitahu Bunda." Anika tersenyum penuh rahasia. "Bunda menyukainya. Om Sultan menyukai Bunda. Kalian bersama selamanya. Sederhana sekali, bukan? Bunda tidak perlu membuatnya menjadi rumit."
Hara menggeleng. "Tidak sesederhana itu."
"Kalau begitu kalian harus bicara," kata Anika sambil menyentuh tangan Hara perlahan. "Bunda harus mengalahkan ketakutan itu. Bunda mencintainya. Katakan itu padanya. Bunda tidak perlu takut lagi. Om Sultan tidak akan meninggalkan Bunda walau apa pun yang terjadi."
***