Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 186 - Hati yang Kausakiti

Chapter 186 - Hati yang Kausakiti

Author POV

Tanpa terasa, tinggal beberapa minggu lagi rencana pernikahan Satya dan Anika akan berlangsung. Persiapan pesta sudah sekitar 98 persen. Tentu saja semua itu tidak terlepas dari andil Dara. Dara banyak membantu Anika dalam segala hal yang berhubungan dengan hari besar itu.

Satu hal yang kini mengusik perhatian Dara. Bridal shower! Dara juga tidak akan ingat akan acara yang satu ini kalau Karina tidak mengingatkan. Buru-buru dia searching.

Bridal shower ini mirip pesta bujangannya mempelai pria. Bridal shower dihadiri oleh teman-teman dan kerabat calon mempelai wanita. Pada bridal shower, tamu yang hadir biasanya akan disesuaikan dengan tema bridal shower. Ada yang temanya lingerie shower, yaitu tamu-tamu menghadiahi calon mempelai wanita dengan lingerie atau bikini yang seksi. Ada juga yang temanya recipe shower. Hadiah untuk calon mempelai wanita berupa makanan, berikut resep makanannya dan perangkat memasak. Selain itu ada juga yang memilih tema multicultural shower. Pada tema ini, para tamu membawa makanan khas dari daerah masing-masing sebagai hadiah untuk calon mempelai. Wadah yang digunakan untuk membawa makanan juga diberikan sebagai hadiah.

Untuk bridal shower Anika, Dara memilih tema lingerie showe. Kesannya seksi sekali!

Dibantu Karina, mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk acara itu. Anika minta acara diselenggarakan di rumahnya saja. Semua kerabatnya yang wanita, termasuk juga beberapa teman wanitanya semasa kuliah dulu, akan diundang untuk menghadiri acara bridal shower tersebut. Karina mendapat tugas membawakan games dalam acara itu. Dia sangnat bersemangat. Dia juga ikutan browsing untuk mencari tahu jenis permainan yang cocok untuk acara tersebut.

***

Flashback ON

Serena POV

Pada pukul dua belas malam di Pantai memang sudah agak sepi. Apalagi pada malam hari begini. Hanya ada beberapa mobil yang diparkir menghadap ke laut.

Jhonny meluncur terus agak menjauh, mencari tempat yang benar-benar sepi. Laut memang tampak indah memesona. Apalagi pada malam secerah ini.

Panoramanya demikian menggoda. Suasananya sunyi dan romantis. Cocok untuk pasangan sedang dilanda asmara.

Jhonny memarkir mobilnya menghadap ke laut. Dimatikannya mesin. Dipadamkannya lampu. Lalu diraihnya tanganku dengan kedua belah tangannya. Aku ditatap dengan lembut.

"Maukah kau menjadi istriku, Ren?" tanyanya hangat. "Aku berjanji akan selalu mencintaimu seperti sekarang."

Aku tidak pernah mencintai baik Jhonny maupun Rangga. Cintaku telah habis seutuhnya pada Om Rama.

Tetapi ada dua sisi pribadiku. Cinta yang adabi terhadapnya. Dan dendam terhadapan orang-orang yang aku benci. Rangga dan Gwenia.

Melalui Jhonny, aku melihat jalan pintas untuk membalas dendam. Dan untuk membalas dendam yang membara itu, aku rela mengorbankan segala-galanya. Termasuk diriku sendiri. Karena itu tanpa berpikir dua kali, aku langsung menerima lamaran Jhonny. Aku hanya mengajukan dua syarat yang membuat kening Jhonny berkerut.

"Jangan minta aku memberitahu keluargaku, begitupun kau sebaliknya." kataku dingin. "Dan aku hanya ingin pernikahan kita hanya diketahui oleh kita berdua dan seorang pendeta. Aku tidak mau ada pesta pernikahan."

***

"Ada apa, Mika?" tanya Devan, agak bingung melihat sikap istrinya.

Apartemen mereka sudah sepi. Hanya seorang pelayan yang masih sibuk berbenah.

Tapi sikap Mika sungguh membingungkan. Dia bukan saja menjadi sangat pendiam, tingkahnya pun seperti orang pikun. Apa yang dikerjakannya selalu serbasalah. Padahal tadi dia sedang begitu gembira. Senyum senantiasa melumuri parasnya.

"Mika," Devan menyentuh bahu istrinya dengan hati-hati. "Kamu marah karena aku merahasiakan promosi jabatanku? Maafkan aku, Mika. Aku tidak punya maksud apa-apa..." Devan merengkuh tubuh istrinya ke dalam pelukannya. "Aku hanya ingin membuat kejutan."

Tetapi dalam pelukan suaminya pun tubuh Mika membeku seperti sebatang kayu. Tak ada kehangatan seperti yang selama ini diperlihatkannya menanggapi sentuhan kasih sayang suaminya. Dan Devan segera merasakannya.

Dilepaskannya pelukannya. Ditatapnya istrinya dengan tajam.

"Ada apa, Mika? Ceritakanlah padaku. Apa yang membuatmu murung begini?"

Mika menggelengkan kepalanya dengan gugup.

Apa yang harus dikatakannya? Suara itu masih terus menggema di telinganya. Tak mau hilang biarpun dia berusaha mengenyahkannya.

"Anak siapa yang berada dalam gendonganmu, Mika?"

Siapa lagi yang tahu bahwa bayi itu bukan anak kandungannya?

Siapa lagi selain dia dan Serena yang tahu bahwa Revan sebenarnya anak Serena dan Jhonny?

"Jhonny tidak mau punya anak, Mika" kata Serena, ketika Mika menumpahkan kesedihannya, sepulangnya dia dari tempat praktek Dokter Namira. "Apalagi dia belum dapat pekerjaan. Kalau kau mau, kau bisa memungut anakku..."

"Tapi Devan tidak mau mengangkat anak, Ren! Katanya kalau bukan anak kandung, dia tidak mau punya anak!"

"Berapa lama Devan pergi, Mika?" tanya Serena setelah terdiam sesaat.

"8 bulan. Kenapa?"

"Bagaimana kalau kau pura-pura hamil saja?"

Mika mengangkat mukanya dengan terkejut. Dan menatap bengong dari balik tirai air matanya. Tidak mengerti apa maksud Serena.

"Selama Devan pergi, siapa yang tahu kau hamil atau tidak?"

"Kamu ngomong apa sih?" gerutu Mika kesal. "Jangan bercanda! Tidak lucu! Bukan waktunya mengajak bergurau!"

"Aku serius, Mika. Coba dengar. Aku baru saja mendapat kepastian, kandunganku sudah berumur delapan minggu. Kalau kau pura-pura hamil dan mengambil anakku sebagai anakmu kalau dia lahir nanti, siapa yang tahu?"

"Jhonny mau kau kemanakan?" dengus Mika datar.

"Aku bisa mengatakan kepadanya bayinya meninggal. Jhoony tidak akan peduli. Dia memang tidak mau punya anak. Tapi Devan sangat menginginkan anak, bukan? Nah, anakku pasti lebih bahagia di tanganmu. Punya orangtua yang menyayanginya dan sudah mapan ekonominya."

"Sudahlah, Ren," potong Mika jemu. "Jangan main-main. Dadaku tambah sesak."

"Aku serius, Mika. Hanya kita yang tahu. Kamu hanya pura-pura hamil."

***

Wardana's House

Rangga berdiri diam di depan pintu rumahnya. Satu bulan ini dia sengaja membuat dirinya pulang terlambat. Duduk di kafe sampai larut setelah jam kerjanya berakhir. Karena tidak ingin melihat Gwen di rumah. Yang ada di sana bukan Gwen yang selama ini dikenalnya. Melainkan sosok yang sama sekali berbeda. Parahnya, Gwen menjadi seperti itu karena salahnya. Dirinyalah yang membuat Gwen menderita, tidak heran kalau Gwen berubah sikap 180 derajat. Menjadi membencinya. Sangat membencinya.

Setelah menarik napas panjang, perlahan Rangga mendorong pintu di depannya. Seperti yang diduganya. Gwen duduk di sana. Di sofa di depan televisi. Bukan sedang membaca buku atau menghadap laptopnya, seperti yang biasa dilakukan Gwen setiap kali menunggu Rangga pulang kerja. Juga bukan Gwen yang sedang duduk bermain dengan Kasih. Yang ada di sana adalah Gwen yang duduk sambil menatap kosong layar televisi yang tidak menyala.

Masih ada bekas air mata di pipinya. Tidak ada lagi binar-binar semangat di matanya. Apalagi suara ceria yang menyapa Rangga begitu pintu terbuka. Atau Gwen yang tersenyum sambil memberi tahu apa menu makan malam mereka hari ini. Kedua hal itu sudah menghilang sejak satu bulan yang lalu. Api kehidupan seperti padam dari sosok yang sudah dikenal Rangga.

Rangga berjalan pelan menuju kamar, berusaha tidak mengganggu Gwen yang sedang sibuk memikirkan apapun di kepalanya. Yang membuat Gwen semakin merasa tidak berguna, dia tidak bisa melakukan apapun untuk sekedar tahu apa yang sedang dirasakan istrinya, selain kesedihan dan kebencian yang terlihat jelas. Bagaimana dia harus mendekatinya? Seperti ada tapal batas yang dipasang Gwen dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun, terutama Rangga.

"Aku mau bicara."

Suara Gwen membuat Rangga menghentikan langkahnya. Untuk pertama kalinya dalam satu bulan ini, Gwen mengajaknya bicara lebih dulu. Apa ini pertanda baik atau buruk, Rangga tidak tahu. Dia berbalik dan ikut duduk di sofa samping Gwen.

"Aku ingin pulang ke Surabaya," jelas sekali Gwen mengatakannya. Tidak pakai basa-basi.

Sebelumnya, Gwen sudah menyebut soal ini berkali-kali saat Rangga mencoba menyapa dan dia tidak bisa terus pura-pura tuli. Istrinya ini mau tinggal di sini sebulan lebih lama, hanya untuk mendengar kalimat kesedihan dari mulut Rangga, Rangga tahu itu. Hanya saja Rangga tidak ingin mempercepat vonis atas nasib pernikahan mereka.

"Sayang, kamu... kita semua... masih sedih dan kehilangan, jadi sebaiknya kita tidak membicaraka ini sekarang." Rangga tidak ingin membuat keputusan saat emosi sedang menguasai hati mereka. Mereka sedang tidak bisa berpikir jernih dan bisa jadi suatu hari nanti menyesali keputusan ini.

"Rumah ini akan mengadakan dua pernikahan besar, aku tidak ingin mengganggu kalian dengan kehadiranku disini. Besok atau kapanpun, keputusanku akan tetap sama. Aku mau pulang ke Surabaya," tegas Gwen, tidak ingin dibantah.

Rangga memandang bayangan mereka yang sama terpantul di layar televisi datar di depannya. Sebelumnya dia dan Gwen tidak pernah duduk berjauhan seperti ini. Gwen di ujung kanan dan Rangga di ujung kiri. Ada jarak yang muat ditempati satu orang di antara mereka. Mereka selalu duduk berimpitan. Atau sambil berpelukan. Bahkan Gwen sering naik ke pangkuannya.

"Aku masih sibuk, Gwen. Belum ada waktu untuk mengantarmu."

Apalagi yang harus dilakukannya untuk menahan pernikahan ini lebih lama lagi?

"Aku bisa pulang sendiri. Lebih cepat lebih baik. Kita berpisah sementara dan hiduplah bahagia seperti yang kamu inginkan. Ini yang kamu mau, kan? Dulu, kamu bilang kamu tidak menginginkan anak dariku, Aku akan pergi bersama Kasih dan kamu bisa hidup damai dan bahagia." Tanpa perlu menunggu jawaban, Gwen berdiri dan berjalan meninggalkan Rangga.

Rangga mengacak rambutnya, frustasi. Berapa lama dia megenal Gwen? Tujuh tahun? Usia pernikahan mereka sama dengan usia Kasih. Waktu yang sangat cukup bagi Rangga untuk hafal bahwa Gwen adalah orang yang paling keras kepala yang pernah dikenalnya.

Kalau Gwen punya keinginan, tidak ada seorang pun yang bisa membelokkannya.

Masalahnya kali ini, keinginan Gwen adalah berpisah sementara dengannya sambil membawa Kasih. Gwen kukuh memperjuangkannya. Apa yang harus dilakukan Rangga untuk membuat Gwen mengubah keinginannya itu?

To Be Continued