Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 184 - Memeluk Bulan

Chapter 184 - Memeluk Bulan

Flashback ON

Mika POV

Biasanya aku paling malas ke dokter. Aku memang jarang sakit. Kalau sakit pun aku paling segan berobat. Tetapi kali ini, aku yang mengajak Devan memeriksakan diri.

"Mula-mula kami akan melakukan pemeriksaan darah," kata Dokter Namira selanjutnya. "Mencari kalau-kalau ada infeksi pemeriksaan hormon. Selanjutnya pemeriksaan radiologis."

Aku tidak membantah. Aku mengikuti saja semua anjuran dokter. Aku melakukan semua pemeriksaan yang dibutuhkan. Pemeriksaan yang terakhir itu untuk memeriksa rahim dan tuba. Melihat kalau-kalau ada gangguan pada alat reproduksiku misalnya saja sumbatan pada tuba, sehingga suamiku tidak dapat mencapai sel telur untuk membuahiku.

Ketika aku sudah selesai menjalani sederet pemeriksaan, giliran Devan yang diperiksa. Kami diharuskan melakukan hubungan pada hari-hari suburku. Kemudian dalam dua jam sesudah dokter memeriksa apakah sperma Devan cukup poten untuk membuahi sel telurku.

Devan dinyatakan sehat. Dia potensial untuk menjadi seorang ayah. Jumlah spermanya cukup, mobilitasnya juga baik.

Tetapi rahimku tidak cukup subur untuk menghidupi dan membesarkan seorang janin.

"Jangan khawatir, Bu," hibur Dokter Namira yang merawatku. "Anda harus terus berusaha. Jangan putus asa. Karena kondisi psikis juga mempengaruhi."

Pengobatan demi pengobatan telah aku jalani. Vitamin. Mineral. Hormon. Makanan bergizi. Bahkan istirahat yang cukup. Rekreasi bersama suami. Konseling secara teratur. Semua aku patuhi.

Silih berganti pula dokter dan klinik yang aku kunjungi. Namun hasilnya tetap mengecewakan.

"Ibu tidak mandul," hampir semua dokter yang aku kunjungi berkata demikian untuk membesarkan hatiku. "Proses ovulasi baik, tuba terbuka, tidak ada penyakir di rahim seperti endometriosis yang akan menyulitkan kehamilan."

Tapi apa namanya wanita yang tidak dapat melahirkan anak kalau bukan mandul?

***

"Rasanya tidak mungkin, Dok," gumamku terbata-bata. "Suami saya... rasanya... dia keberatan untuk melakukan konsepsi, dimana meminjam rahim seorang wanita yang memiliki rahim yang sehat. Dan wanita itulah yang akan mengandung dan melahirkan anaknya!"

"Jalan lain adalah adopsi,"

Tapi Devan menginginkan anak kandung! Anak yang lahir dari rahim istrinya, yang berasal dari benihnya!

"Suami saya tidak mau mengangkat anak, Dok," desahku lirih.

"Kalau begitu, cobalah membicarakan solusi yang pertama. Memang agak sulit mencari ibu yang mau mengandung dan melahirkan anak orang lain. Tapi dengan ganti rugi yang memadai, kita dapat mencari dan mengusahakan kemungkinan itu. Tentu saja kita akan mencari ibu yang benar-benar sehat."

"Ba... bagaimana kalau... kalau bayi.... tabung, Dok?"

"Bayi tabung artinya mempertemukan sel telur ibu dan sperman suami ibu atau sperma dari seorang donor di luar rahim. Sel telur, sperma dan media pembiakannya dimasukkan ke dalam tabung. Jika sudah terjadi pembuahan, hasil konsepsi itu ditanamkan kembali di rahim ibu. Tetapi jika endometrium rahim ibu tidak cukup subur untuk tempat bernidasi, implantasi itu akan gagal juga. Janin akan gugur. Dan terjadi abortus."

"Apakah tidak mungkin untuk dicoba, Dok?" pintaku separuh memohon. "Siapa tahu hasil pembuahan itu sudah lebih kuat waktu ditanam di rahim saja..."

"Ibu Mikaila Sebastian," Dokter Namira menghela napas iba. "Saya mengerti perasaan ibu. Tapi saya tidak mau membangkitkan harapan yang tak mungkin terpenuhi. Biaya bayi tabung itu sangat mahal. Prosesnya dapat sangat lama karena di lakukan berulang-ulang. Dan kemungkinan untuk berhasil hanya sepuluh sampai lima belas persen. Dalam kondisi rahim seperti yang ibu miliki, saya benar-benar tidak mau melakukannya. Terlalu riskan."

Jadi aku tidak punya pilihan lain! Mencari ibu pengganti yang rela meminjamkan rahimnya. Atau adopsi. Dan kedua-duanya pasti ditolak Devan.

Baginya, anak adalah milik pribadi sepasang suami-istri. Tidak boleh ada orang lain yang ikut masuk andil!

Ketika aku sedang membuka pintu apartemen sambil menangis, Serena, sepupuku kebetulan sedang berkunjung.

"Mika, kenapa?" tegur Serena, kebingungan melihat air mata yang menggenangi mataku. "Suamimu...?"

Aku menggeleng sambil mendorong pintu. Aku sudah ingin cepat-cepat masuk ke rumah. Dan menumpahkan tangisku sepuasnya di kamar.

Tak ada siapa-siapa di rumah. Devan baru sebulan berangkat ke Hamburg untuk tugas belajar dari Om Adam. Dan satu-satunya pembantu, sedang pulang kampung untuk menengok ibunya yang sakit. Jadi aku bisa menangis sepuas-puasnya. Tanpa perlu mengemukakan alasan apapun. Kepada siapapun.

Tetapi Serena tidak mau ditinggal di luar. Dia seperti tidak mau melepaskanku. Pertanyaannya mengalir seperti banjir. Dan dia mengikutiku masuk ke rumah tanpa diundang.

"Mika, kamu tidak keberatan kan kalau aku mengungsi di sini dulu? Aku takut pulang kalau Jhonny masih mencariku dan menemukanku."

Tentu saja aku tidak keberatan. Aku kasih pada Serena. Aku ingin menolongnya. Lagipula apa ruginya membiarkan Serena tinggal beberapa saat di rumah? Aku memang membutuhkan teman, lebih-lebih kalau Devan belum pulang dari rumah sakit. Dan Serena seorang sepupu yang menyenangkan.

Ceritanya tak ada habis-habisnya.

Justru Devan yang keberatan ketika malam itu dia pulang dan menemukan Serena masih di rumahnya.

"Jangan ikut campur urusan orang lain, Mika," katanya sambil membuka pakaiannya di dalam kamar.

"Tentu saja tidak, Dev," sahutku sambil memunguti pakaian kotor suamiku. "Dia hanya permisi tinggal di sini semalam saja sampai kedua adiknya pulang."

"Kalau semalaman dia tidak pulang...."

"Dia baru dipukul mantannya, Dev. Mereka bertengkar hebat. Dan Serena takut sekali pulang. Masa aku harus mengusirnya?"

***

Aku sudah tidak tahan melihat penderitaan Serena, aku memilih menutup mulut saja. Dan membiarkan diriku menjadi tempat Serena berkeluh kesah, tanpa dapat membantu sedikit pun.

Tetapi hari itu, justru Serena-lah yang menjadi tempatku mengadu. Setelah tak tahan lagi menyimpan derita itu untuk diriku sendiri, aku menumpahkan kesedihanku di depan Serena.

Aku menceritakan keinginan Devan untuk mempunyai anak. Dan menceritakan apa yang dikatakan Dokter Namira.

Sesudah menceritakannya, memang terbit setitik sesal di hatiku. Kenapa harus menceritakannya? Selama ini aku belum pernah menceritakannya pada siapapun.

Kalau hari itu aku menumpahkan kepengapanku pada Serena, semua itu tentu bukan tanpa alasan.

Aku sudah tidak tahan menanggung beban itu seorang diri. Dan kebetulan Serena memergokiku sedang menangis.

Perhatian Serena kepadaku sangat besar. Dan saat itu, aku memang merupakan temannya satu-satunya.

"Aku tidak tahu bagaimana harus mengabarkannya pada Devan, Ren," keluhku pahit. "Dalam sebulan ini, Devan sudah lima kali menelpon dari Hamburg. Dan empat kali di antaranya, dia menanyakan hasil terapi kandunganku."

Lama Serena termenung sebelum lambat-lambat dia memegang tanganku.

"Mika," katanya ragu-ragu. "Kamu tidak maraha kalau aku lancang menawarkan usul ini?"

***

Gwen POV

Aku mencubit lenganku sendiri. Sekuat-kuatnya. Ada rasa sakit yang menyentakkan kesadaranku. Tetapi lebih sakit lagi sembilu yang menikam hatiku. Jadi aku tidak bermimpi. Ini bukan mimpi buruk!

Ini sebuah kenyataan!

Aku paksakan mataku melihat kenyataan itu. Kenyataan yang menyakitkan. Kenyataan yang menjelma dalam jasad kaku yang terbujur di hadapanku. Dalam sebuah rumah duka.

Suasana di sana sungguh mencekam. Dingin. Sepi. Mati. Di sanalah Rafa yang masih bayi terbaring.

Baru saja aku mengiringi perjalanan anakku ke rumah duka. Aku melangkah tertatih-tatih sambil tersedu di belakang petugas yang mendorong usungan mayat anakku. Di sepanjang jalan ke sana, orang-orang menyingkir memberi kesempatan pada kami untuk lewat. Wajah-wajah yang tegang itu menatap usungan sekilas. Lalu beralih memandangku dengan iba.

Wajahnya yang bersih tidak menampakkan perasaan apa-apa. Datar. Tenang. Seperti sedang tertidur nyenyak. Matanya terpejam rapat. Seandainya bibirnya tidak sepucat itu, aku yakin sekali, dia memang hanya tertidur. Seperti biasa.

Semuanya telah berakhir! Rafa telah tertidur untuk selama-lamanya... Pelupuk matanya takkan pernah bergerak-gerak lagi. Takkan pernah membuka lagi...

Air mata mengalir deras dari mataku. Seakan-akan air itu takkan pernah berhenti mengalir. Membentuk anak sungai di pipiku yang basah.

Sebuah lengan melingkari bahuku. Tanpa menoleh pun aku tahu, itu lengan ayahku. Tetapi aku tidak menoleh. Tidak memberi reaksi.

Ayah ingin membawaku ke luar. Tetapi aku berkeras hendak tetap di sini. Aku akan menunggu terus di sini. Sampai Rafa terjaga. Membuka matanya.

Siapa tahu terjadi keajaiban. Mungkin saja Om Adam keliru. Rafa masih hidup. Dia akan siuman. Dia hanya pingsan. Koma. Atau persetan, apapun istilah mereka. Rafa akan terjaga kembali. Dan dia akan menangis memanggilku.

"Menangislah sayang! Rafa!!" bisikku berulang-ulang.

Tetapi Rafa tetap membisu.

***

Author POV

Hujan rintik membasahi bumi saat jasad Rafa dimakamkan sore itu. Rangga yang menggendong jenazah anaknya, pelan-pelan membaringkannya di lubang yang tidak lebih besar daripada ukuran dua kotak sepatu. Rafa Putra Wardana. Nama yang tertulis di batu nisa di atas kepala Rafa.

Saat seorang suami ditinggal mati oleh istri, maka dia disebut duda. Istri yang ditinggal mati suami, dia disebut janda. Anak yang ditinggal mati ayah, dia dinamakan yatim. Dan anak yang ditinggal mati ibu, dia dinamakan piatu.

Bagaimana dengan seorang ayah atau seorang ibu yang ditinggal mati anaknya? Tidak ada nama untuk mereka. Mungkin orang tidak berpikir untuk memberikan sebutan bagi orang sepertinya dan Gwen.

"He is in a better place." Satya, salah satu sepupunya, yang datang ke pemakaman menyampaikan dukanya.

Rangga hanya mengangguk dan memberi Satya setengah pelukan.

"He is not in the better place. Him better place is in my arms." Gwen tidak bisa menahan empsi saat Satya sudah pergi dan Rangga ikut duduk di sampingnya. Memperbaiki letak bunga Lily putih, yang sengaja dicari Rangga hari ini, di dekat batu nisan.

"Ayo pulang, Sayang!" Rangga melingkarkan tangannya ke bahu Gwen.

"Puas?" tiba-tiba Gwen berdiri. "Puas kamu melihat anakmu seperti ini lagi?" tanyanya dengan wajah penuh amarah.

"Butuh berapa tahun sampai kau merasakan apa yang dulu pernah aku rasakan?"

"Enam tahun..." Rangga bergumam. Siapa yang menyangka bahwa uang yang ditabungnya, yang sedianya untuk biaya pendidikan dan mencari rumah sendiri dengan halaman yang agak luas, harus digunakannya untuk menyewa tanah makam. Makam anaknya.

"Selamat karena kamu mendapatkan hidup yang kamu inginkan...." suara Gwen hilang ditelan desau angin musim hujan.

Langkah Rangga berat ketika meninggalkan Rada sendirian tidur di sana. Kematian seorang anak adalah pengalaman paling buruk yang bisa dialami oleh orangtua. Kalau bisa, Rangga ingin menukar dengan nyawanya. Akan lebih baik bagi Gwen kalau dirinya yang mati, bukan anak mereka.

To Be Continued