Wardana's Paviliun
Karina POV
Aku nyaris memekik saat pintu didorong dari luar dan aku baru saja selesai memutar anak kunci. Apakah ada maling atau perampok yang berhasil melewati pos satpam?
"Ini aku, bukan rampok." Juan yang menyelinap masuk seperti membaca pikiranku.
"Kamu ngapain di teras jam segini?" desisku. Aku menjaga supaya suaraku tidak terlalu keras. Bisa saja ada satpam yang berkeliling di sekitar rumah. Atau keluarga Wardana yang belum tidur.
"Dingin banget di luar." Juan tidak menjawab pertanyaanku. Dia menutup pintu di belakangnya. "Aku pikir jaketku sudah tebal. Aku heran kamu bisa terbiasa." Dia menggosok kedua tangan dan meniupnya.
"Aku tanya, kamu ngapain di teras jam segini?" ulangku lebih tegas.
"Nunggu kamu buka pintu, Rin. Kalau aku ngetuk, kamu pasti nggak mau buka. Kamu punya kopi atau teh panas? Aku beneran kedinginan."
Siapa yang suruh tinggal di luar? "Sudah berapa lama kamu di teras?" Aku penasaran juga.
"Belum sejam. Kalau kamu tidak buka pintu sekarang, setengah jam lagi aku pasti sudah membeku. Ada kopi, kan? Kopi instan juga tidak apa-apa."
"Ini bukan restoran." Aku menekan sakelar sehinggan ruangan menjadi terang-benderang. Aku bisa melihat Juan lebih jelas. Dia memang kedinginan, tapi itu salahnya sendiri. Aku tidak menyuruhnya ronda di teras paviliun sementara rumah megahnya berada disebrang.
"Aku bisa bikin sendiri." Dia berjalan menuju pantri. Aku terpaksa mengikutinya dari belakang. Menyusahkan saja.
"Di sebelah," kataku saat melihatnya membuka salah satu rak lemari gantung. Aku menghela napas dan menghampirinya. "Biar aku yang bikin, kamu duduk saja." Aneh melihat dia berkeliling di sekitarku tanpa rasa canggung seperti itu.
"Makasih, Rin." Juan menurut. Dia duduk di salah satu stool.
Aku diam saja dan memilih menjerang sedikit air. Aku lebih suka membuat kopi dengan air panas yang baru mendidih daripada air dispenser. Beberapa menit menunggu air itu mendidih, kami sama-sama tidak bicara. Hening menguasai ruangan.
"Kalau sudah minum, langsung balik saja. Tidak sampai sejam lagi kita sudah harus kembali ke rumahmu. Jangan sampai Tante Anita tahu kamu menyelinap ke sini untuk minum kopi." Aku meletakkan cangkir kopi yang baru kuseduh di depan Juan.
"Aku ke sini untuk bicara, bukan minum kopi. Kemarin kita tidak sempat bicara karena sama-sama emosi." Juan mengangkat cangkirnya dan meletakkannya kembali tanpa disesap. Memang masih terlalu panas. "Kamu pasti bosan mendengarku terus-menerus minta maaf, tapi hanya itu yang bisa kulakukan, Rin. Kata-kata yang terlanjur keluar tidak bisa ditarik kembali meskipun ingin. Aku tahu kamu sakit hati karena sampai sekarang kamu belum bisa maafin aku."
Aku menunduk menekuri jari-jari. Ke depannya, suka atau tidak, mau atau tidak mau, aku akan sering bertemu Juan di acara keluarga karena Mbak Nia menantu keluarga itu. Bersikap keras akan membuatnya curiga aku belum move on. Jangan sampai dia malah tahu aku main hati dalam hubungan kami yang bagi dia hanyalah sebatas fisik.
"Mungkin aku memang berlebihan menanggapi kamu. Kamu benar, kita sudah berpisah cukup lama. Seharusnya aku tidak bersikap seperti ini. Aku sudah tidak punya alasan untuk marah juga, kan? Aku hanya masih kaget dengan pertemuan kita." Aku mengangkat kepala dan menatap Juan. Semoga aku tidak terlihat gentar. "Sudah tutup buku. Kita tidak akan membahasnya lagi. Kita akan berbaikan demi semua orang. Keluargamu, juga kita berdua. Bukan pura-pura."
Juan tampak ragu. Dia menyipit membalas tatapanku. "Oh ya? Jujur, aku lebih suka kamu melampiaskan semua kemarahanmu lebih dulu supaya kamu benar-benar lega."
Aku mencoba tersenyum. "Momennya sudah lewat, kan?" Rasanya aku sudah pernah mengatakan ini juga. Semoga setelah ini aku tidak lagi meradang seperti saat terakhir mengucapkannya. "Kita bisa menghadapi ini lebih dewasa. Lagian, kalau aku keras, kamu akan terpancing. Kayak tadi. Jadinya malah seperti anak-anak."
Juan kembali mengangkat cangkirnya. Kali ini dia menyesap kopinya. "Mommy tadi bilang apa sama kamu?" Dia membelokkan arah percakapan.
"Tante bilang dia ingin aku bahagia," jawabku jujur.
"Dengan Arjuna?"
"Dengan siapa saja yang bisa membuatku bahagia. Mungkin saja orang itu memang Juna." Aku turun dari stool di sebelah Juan. Ini bukan percakapan yang menyenangkan. Bicara kebahagiaan dengan orang yang merenggut paksa kebahagiaanku. "Aku ganti baju dulu sebelum kita ke sebelah. Di luar pasti dingin banget."
Juan menangkap pergelangan tanganku dan ikut turun dari kursinya. "Jangan kasih dia kesempatan, Rin!"
"Dan jangan mengaturku. Kita baru saja sepakat untuk berdamai, kan? Baru beberapa menit yang lalu." Sulit sekali untuk mendinginkan kepala supaya tidak memulai pertengkaran. Aku tidak ingat kami pernah bertengkar sebelum peristiwa itu, tetapi setelahnya, hanya dengan melihatnya, aku bisa masuk mode mengamuk dalam beberapa detik.
"Kamu tidak akan berhubungan dengan orang lain." Juan menarikku sehingga menempel kepadanya. Dia menunduk, memiringkan kepala dan menciumku dalam. Aku masih membelalak kaget saat dia menjauhkan kepala dan bilang, "Orang sempurna seperti kamu tidak akan melibatkan diri dalam hubungan yang rumit. Ini akan membuat hubungan kamu dengan siapapun akan rumit." Lalu dia kembali menciumku.
Butuh beberapa detik untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Tanganku yang bebas punya dua pilihan, antara mengalungkannya di leher Juan sehingga bisa membalas ciumannya dengan posisi yang lebih baik, atau memukulnya supaya dia melepasku. Dan karena akal sehatku belum benar-benar ikut terbang, aku memilih opsi kedua. Aku memukul bagian tubuh Juan yang bisa kujangkau. Punggung. Namun,aku tetap tidak bisa melepaskan diri. Dia memelukku erat.
Aku tidak punya piliham, jadi aku memilih menggigit bibir bawahnya sebelum benar-benar membalas ciumannya dan mempermalukan diri.
"Aduuuhhh..." Juan mundur beberapa langkah. Dia spontan memegang bibirnya dan menatapku tidak percaya.
"Kamu tidak boleh mencium orang seenaknya." Aku ikut mundur sehingga jarak kami menjadi lebih lebar. "Kalau tahu akan jadi begini, aku akan membiarkan kamu membeku di luar."
"Bibirku berdarah, Rin."
Oh ya? Aku tidak menggigitnya sekuat tenaga tadi. Hanya cukup untuk membuatnya menarik diri. Sekarang ide yang tadinya cemerlang itu tidak terasa bagus lagi. Kalau bibirnya benar-benar cedera, keluarganya akan curiga. Astaga, kenapa aku tidak memikirkan kemungkinan itu tadi? Alasan apa yang bisa membuat orang percaya bibir bawah cedera tanpa melibatkan ciuman dan gigitan?
"Beneran luka?"
"Lihat sendiri kalau tidak percaya!" Juan masih menutup mulut dengan sebelah tangan. "Kamu tega, Rin."
"Itu tidak akan terjadi kalau bibir kamu tidak piknik ke mana-mana!" Aku membela diri. "Coba lepas tanganmu, aku mau lihat."
"Lihat dari situ?"
"Aku tidak akan dekat-dekat. Kamu tidak bisa dipercaya!"
"Sebentar lagi bengkaknya akan membesar."
"Jangan nakut-nakutin aku!" Aku memelotot kepadanya. "Lepas tanganmu, aku mau lihat beneran luka atau nggak. Kalau bengkak, bisa dikompres es, kan?"
"Sudah mulai bengkak, nih. Cepet banget. Bibir memang sensitif." Jawaban Juan sama sekali tidak membantu.
Aku tidak punya pilihan kecuali mendekat. "Lepas tanganmu. Berapa kali aku harus bilang?!"
Juan melepas tangannya dan aku bisa melihat kalau bibirnya memang sedikit membengkak. Ada sedikit darah dan yang mengerikan adalah cetakan yang dibuat gigiku. Itu jelas-jelas bekas gigitan. Memalukan. Satu-satunya orang yang bisa dijadikan tersangka untuk bekas seperti itu di tempat ini adalah aku. Keluarganya tidak perlu bertanya, mereka akan segera tahu. Ya Tuhan, mau ditaruh di mana mukaku?
Aku buru-buru berbalik mengambil es di kulkas dan membungkusnya. "Duduk di sofa!" Aku menjejalkan kantong es itu ke tangan Juan. "Tekan ini di bibirmu."
"Kamu saja yang kompres. Kamu yang gigit aku." Juan mengulurkan kantong itu kembali padaku.
Aku menatapnya geram. Apa aku benar-benar pernah berhubungan dengan lelaki kekanakan ini? Di mana otakku waktu itu? Aku merenggut kantong es itu kasar dan mulai menekannya ke bibir Juan.
"Aduh.... pelan-pelan, Rin. Bukannya sembuh, nanti malah makin bengkak."
Aku mengembuskan napas sebal. Hidup ini cobaannya bisa aneh-aneh seperti ini?
"Aku tidak mungkin ke pemakaman baby Rafa dengan bibir seperti ini." Artikulasi Juan tidak terlalu jelas karena sebagian bibirnya tertutup bungkusan es. "Kalau meradang, aku mungkin bisa demam. Mungkin aku harus istirahat saja di sini. Aduuuhhh.... jangan ditekan kuat-kuat, Rin."
"Kamu pikir kamu bicara dengan anak umur tiga tahun?" Ada-ada saja. Demam karena bibir meradang akibat digigit? Memangnya aku anjing liar yang bisa menyebar rabies? Itu pernyataan paling tolol yang pernah kudengar. Kalau aku tidak tinggal di paviliun keluarganya, aku tidak akan peduli kalau luka di bibir Juan lebih besar. Aku bisa langsung mengusirnya dari tempatku. Namun, aku tidak bisa melakukan hal itu sekarang. Aku benar-benar khawatir dengan yang dipikirkan keluarganya tentang hubunganku dengan Juan. Berpisah tapi saling memakan bibir? Astaga, rasanya aku jadi ingin menghilang saja.
"Rin..." Nada suara Juan jauh lebih pelan sekarang.
"Apa?" jawabku jengkel.
"Aku beneran minta maaf."
Karena aku duduk di lengan sofa, posisiku jadi lebih tinggi daripada Juan. Aku menunduk menatapnya. Dia memang terlihat menyesal. Namun,apa itu penyesalan yang tulus? Aku dulu sudah salah menilai semua sikapnya.
"Tapi jangan diulang." Lebih baik tidak membicarakan ciuman. Aku tidak nyaman membahas kedekatan fisik seperti itu. Berdasarkan pengalamanku, keintiman itu lebih mudah dilakukan daripada dibahas. "Kamu benar, aku tidak mau punya hubungan yang rumit. Kita tidak akan bisa beneran berdamai kalau kamu berdiri di tengah-tengah, antara aku dan hubungan yang coba aku bangun dengan orang lain."
"Aku minta maaf untuk semua yang pernah aku ucapakan sama Mommy yang kamu dengar dulu, Rin, bukan untuk ciuman tadi." Juna menahan tanganku yang kuangkat beserta kantong es dari bibirnya.
"Kita sudah sepakat untuk tidak mengungkitnya lagi." Aku mengingatkan.
"Tapi rasanya tetap mengganjal. Kamu belum sungguh-sungguh memaafkan aku."
Aku melepaskan genggaman Juan dan memilih duduk di tempat yang terpisah dengannya.
"Kamu tahu apa yang paling membuatku sakit hati?" Aku terus menatap Juan, tidak mencoba menyembunyikan luka yang mungkin terpancar dari mataku. "Kamu orang pertama yang berhasil membuatku sadar kalau aku bisa tertipu. Aku dari kecil, hidup atas belas kasih keluargamu. Memang ada ibuku yang mengurusku di sini, sebelum Mbak Nia pindah dari Surabaya kesini, tapi hubungan kami tidak pernah benar-benar dekat. Aku harus melakukan semua hal sendiri, dan kemudian terbiasa memutuskan semua tanpa meminta pendapat orang lain. Aku belajar memahami karakter orang supaya tidak membuat keputusan yang salah saat berhubungan dengan orang lain, dan aku bisa melakukannya dengan baik. Aku bahkan sudah sampai pada tahap yakin bahwa aku tidak akan keliru menilai orang, tapi ternyata aku salah.
"Kamu berhasil membohongiku. Dan aku kehilangan kepercayaan diri. Aku kemudian meragukan semua penilaian yang sudah dan akan aku buat. Itu menyakitkan." Aku tersenyum getir. "Aku memang merasa janggal saat kamu mendekatiku, karena tahu aku bukan jenis perempuan yang akan kamu pilih sebagai pendamping hidup. Kita kenal cukup lama, jadi aku merasa sudah tahu karaktermu. Dan kamu bisa meyakinkanku. Aku percaya." Atau mungkin, aku ingin percaya bahwa lelaki yang aku cintai juga tertarik padaku.
"Bayangkan bagaimana perasaanku saat tahu bahwa penilaianku salah."
Juan menatapku. "Kamu sangat serius menjalani hidup, sedangkan aku jauh lebih santai. Aku merasa hubungan kita tidak akan berhasil dengan perbedaan seperti itu. Jujur saja, kamu jenis orang yang bisa mengintimidasi hanya dengan menatap. Kamu mungkin tidak mengatakan apa-apa, tapi sorot matamu rasanya meremehkan. Aku merasa aku tidak akan mencapai level yang kamu ingin sebagai pasangan."
Aku tidak melepaskan pandangan dari Juna, menunggu dia melanjutkan.
Juan berdiri dan mendekat kepadaku. "Yang mau aku bilang, Rin, kamu tidak salah menilai karakter orang. Aku tidak pernah berpura-pura dan membohongi kamu selama hubungan kita. Kamu pasti tahu kalau aku bohong. Ki..."
"Berhenti di situ, jangan mendekat!" Aku mengangkat tangan menghentikan Juan. "Kamu bisa bicara sambil duduk." Aku yakin dia tidak akan menciumku lagi dengan kondisi bibir seperti itu, tetapi aku lebih suka menjaga jarak.
Deringan telepon menyelamatkanku. Aku buru-buru mengangkatnya. "Iya, Dara?"
"Kenapa belum ke sini, Rin? Kita sudah mau pergi ke Rumah Duka."
"Aku akan ke situ sekarang. Dara. Semua sudah siap?"
"Sudah dari tadi. Oh ya, Juan ada di situ?"
Aku menatap Juan sebal. "Iya, dia ada di sini, Dar."
"Ya, sudah, kalian ke sini sekarang."
Mommy menatap aku dan Juan bergantian saat kami sampai di rumah. Dia menggeleng-geleng. "Bibir kamu kenapa?" Pertanyaan menakutkan itu terlontar juga.
"Digigit Karina, Mom. Tadi aku mencoba menciumnya, tapi dia tidak mau."
Aku langsung mendelik. Aku benar-benar tidak percaya pernah jatuh bangun mencintai lelaki tidak dewasa seperti ini. Ada banyak alasan lain yang bisa disebut, meskipun tidak masuk akal, dan dia memilih jujur untuk menjawab pertanyaan seperti itu? Sangat kekankan.
Aku benar-benar malu saat mendengar tawa tertahan Dara.
To Be Continued