Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 175 - Juan

Chapter 175 - Juan

Author POV

Juan tengah sibuk dengan pekerjaannya ketika Rangga tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruang kerjanya sambil membawa bungkusan di tangannya.

"Ada apa?" Juan mengangkat wajah dan menatap Rangga yang segera membuka bungkusan yang di bawanya dan meletakkannya di atas.

"Kesini sebentar." Panggil Rangga.

Juan menghela napas. Mau tidak mau mengikuti permintaan Rangga dan mendekat. Duduk di seberang Rangga.

"Apa?"

"Makan ini." Rangga menyodorkan satu mangkuk bubur ayam ke hadapan Juan. Kedua mata Juan memelotot melihat bubur itu. Pasalnya ia sangat membenci bubur ayam.

"Aku tidak mau!" Tolaknya tegas.

"Makan saja, mataku sejak pagi gatal sekali ingin melihatmu makan bubur ini."

"Heh, memangnya Abang hamil?"

"Kakak iparmu yang hamil."

"Lalu?"

"Sejak pagi, aku ingin sekali melihatmu makan bubur ini."

Juan, memicing curiga. "Yang hamil sebenarnya kau atau istrimu sih?"

"Istriku."

"Lalu kenapa jadi Abang yang mengidam begini?"

"Pokoknya makan saja." Rangga memaksa.

"Tidak mau."

"Kau mau keponakanmu mengeluarkan air liur?"

"Kau benar-benar mengidam ya?"

"Tentu saja, Bodoh!" Maki Rangga kesal. "Sekarang makan."

"Kau pasti cuma mau mengerjaiku sama seperti Dara. Sana pergi!" Usir Juan kesal.

"Aku tidak akan pergi sebelum kau makan bubur ini!" Rangga bersikeras.

Keduanya bersitegang, saling berpandangan tajam dan tidak ada yang mau mengalah.

"Aku tidak mau."

"Baiklah. Kalau begitu videomu yang sedang mabuk di tepi kolam renang dua hari yang lalu akan aku sebarkan sampai Karina tahu. Kau telanjang bulat sambil menari." Rangga memperlihatkan ponselnya pada Juan. Kedua mata Juan hendak meloncat keluar melihat apa yang telah Rangga tekam. Pria itu hendak menyambar ponsel Rangga tapi Rangga dengan cepat menyimpannya. "Sekarang kau mau makan atau tidak?"

"Brengsek!" Maki Juan dengan suara kencang dan mulai memakan bubur ayamnya. Wajah pria itu nyaris pucat karena menahan desakan untuk muntah.

"Habiskan." Perintah Rangga sambil tersenyum lebar.

"Akan kubunuh kau." ujar Juan dengan suara kesal.

Sedangkan Rangga hanya tertawa terbahak-bahak.

Begitu mangkuknya kosong, Rangga memotretnya dan mengirimnya ke Gwen.

Sayang, aku sudah menghabiskan bubur darimu

Send.

"Sebenarnya Gwen membelikan ini untukku, dia ingin sekali aku memakan ini. Tapi aku juga benci bubur ayam. Sepertimu. Jadi terima kasih atas kerja kerasmu siang ini." Rangga menepuk bahu Juan beberapa kali sebelum ia berlari keluar dari ruang kerja adiknya.

"Akan kubunuh kau, brengsek!"

Juan memaki dengan suara kencang, benar-benar terdengar murka. Ia baru saja hendak mengejar Rangga tapi dorongan untuk mengeluarkan isi perutnya sudah tidak tertahankan lagi. Ia lebih memilih berlari ke kamar mandi dari pada mengejar kakak sialannya itu.

Rangga benar-benar bajingan!

Sedangkan Rangga tertawa puas dan kembali ke ruang kerjanya karena merasa berhasil mengerjai Juan. Rasanya menyenangkan sekali bisa mengerjai adiknya itu.

***

Serena POV

"Kamu apa kabar?" Suara pelan dari lelaki yang sangat akrab di telingaku kembali, entah setelah berkelana berapa lama, aku tidak mau terlibat lagi dalam situasi ini namun aku harus.

Kita sedang berada di sebuah kedai kopi di pinggir kota, agak ramai, suara mesin penggiling kopi yang juga tersedia disana terdengar mengusik, tapi tidak kuhiraukan, kita duduk di sebuah kursi di ujung ruangan, berhadapan dan saling sibuk dengan kopi dan pikiran kita sendiri. Aku bahkan tidak menjawabnya.

"Ren? You ok? Tanyanya lagi.

"Hah? Iya, aku baik, kamu gimana?"

Aku dan dia kembali asing, setelah pernah dekat begitu akrab, kata Aku-kamu kembali kita gunakan kali ini, namun rasanya lebih sakit daripada sebelumnya.

"Aku baik juga." Ucapnya. Lalu kita diam lagi untuk beberapa saat. Aku pasti terlihat canggung, aku terlihat bingung di depan Jhonny, laki-laki yang amat ku kenali, waktu memang mengubah banyak hal, termasuk aku yang dulu suka bicara padanya kini lebih banyak diam. Tidak tahu kenapa, mungkin karena perpisahan itu atau karena usaha mengikhlaskan yang selalu gagal, mari biarkan ...

Aku tidak tahu kenapa aku harus bertemu dengannya lagi, setelah aku percaya bahwa hidup tanpanya juga akan baik-baik saja.

"Sejak kapan di Jakarta?" tanyaku dengan tetap tidak berani menatap matanya.

"Sudah tiga hari."

"Ada urusan apa kesini?" Tanyaku. Mungkin, nada bicaraku terdengar menyebalkan, seperti ingin mengatakan 'pergi saja' secara tidak langsung.

"Aku...."

"..."

"Aku liburan" kata Jhonny, seketika aku berhenti dari aktifitasku mengaduk-aduk kopi yang mungkin sudah terlanjur dingin, aku tidak selera meminumnya.

"Sengaja sekali ya?"

"Sengaja apa?"

"Sengaja, seolah kamu liburan kesini, tiba-tiba ketemu aku di jalan dan kita harus bicara lagi," kataku.

"Ya memang aku...."

"Jhon," aku memotong kalimatnya. "Indonesia sebegitu luasnya, kenapa harus Jakarta?"

"Kalau kamu balas pesanku, mungkin aku tidak akan ada di sini sekarang, Ren."

"Membalas pesanmu? Untuk apa? Untuk mengulangi rasa sakit aku yang dulu?"

"Ren, sorry...."

"Jhon, Stop! It was my fault, i know. I just wanna see you happy with you choice and it wasn't me."

"Dulu kamu pernah minta maaf, saat kamu ikut andil dalam kehancuran hidup aku. Aku susah payah memaafkan, lalu kamu minta maaf lagi saat kamu harus pergi ke US, dengan berat hati aku memaafkan mu lagi. Sekarang, mau minta maaf lagi? minta maaf untuk menambah antrean luka yang sedang kamu rencanakan?" tanyaku.

Jhonny menggeleng pelan. "Kamu menjauh?" tanya Jhonny. Aku yang masih memalingkan wajah, rasanya ingin sekali bicara di depan wajahnya, tapi aku memilih menahan diri.

"Bukannya itu yang kamu mau?" aku menjawabnya dengan sedikit ketus.

Jhonny menggeleng lagi, matanya seolah menjawab tidak, aku melihat cahaya mulai redup di matanya.

"Kita seharusnya bisa bicara lebih baik dari ini." kata Jhonny.

"Atau lebih baik kita tidak usah bicara," jawabku.

"Serena, aku mencari kamu 3 tahun ini. 3 tahun dari 7 tahun sia-sia aku habiskan untuk jauh dari kamu."

"Untuk apa nyari aku? Untuk mengulang perdebatan?"

"Tidak."

"Terakhir kita bicara, kamu cuma minta aku untuk berhenti berharap" kataku. Suasana seketika hening, seperti waktu sudah berhenti, sekelilingku rasanya membelu... Angin mulai terasa lebih kencang.

"Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk tau alasannya, Jhon" kataku pada lelaki di depanku yang masih menatapku tajam, sesekali aku memalingkan wajahku, menahan agar air mataku tidak jatuh, aku menahan agar pertahanankku kuat setidaknya sampai pertemuan itu selesai malam ini.

Jhonny terdiam, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, atau apa yang akan dia katakan kali ini, rasanya aku tidak peduli.

Kulirik jam di tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini, kecuali beranjak dari kursi.

"Aku harus pulang, besok ada rapat pagi" kataku sembari merapikan bajuku.

"Ren"

"Kalau kamu mau liburan, ya udah, have fun disini, jangan bawa luka apa-apa lagi" ucapku pelan tapi aku tahu dia masih mendengarnya.

"Apa kita tidak bisa bicara sebentar?"

"Tadi kan udah."

"Bukan itu maksudku, aku masih ingin ngobrol."

"Aku tidak ada waktu banyak, Jhon" ucapku dengan sedikit mendorong kursiku ke belakang, aku tidak tau kenapa aku harus bicara malam ini, aku tau Jhonny kecewa, tapi aku juga tidak mau melukai perasaanku sendiri.

"Dimana aku bisa bertemu kamu lagi?" Tanya Jhonny

"Aku ada dimana pun, di tempat dimana tidak kamu disana" kataku

"Tidak usah cari aku Jhon" tambahku kemudian, aku bergegas keluar dari kedai kopi itu, sampai akhirnya aku mendengar Jhonny sedikit berteriak,

"Besok jam 6 aku tunggu di toserba dekat kantormu" teriaknya.

Aku mendengarnya, tapi tidak aku hiraukan, aku bergegas melangkahkan kaki dengan memeluk diriku sendiri sepanjang malam.

To Be Continued