Lombok
Karina POV
Pemasukan bersih bulan ini melampaui target. Aku menatap laporan keuanagn dengan perasaan puas. Kemajuan usaha ini terlihat pesat. Seandainya saja aku mengambil alih tempat ini sebelum didahului Juan. Toh, sejak awal Ka Rangga hanya setengah hati menjalankan agrowisata ini baginya yang adalah seorang seniman sejati. Namun, siapa yang menduga Juan tiba-tiba muncul dan membuatku menyesal ketinggalan langkah?
"Masuk." Aku mengangkat kepala merespons ketukan di pintu. Citra, salah seorang pegawai bergegas masuk. "Ada apa, Cit?"
"Ada tamu, Mbak."
"Mencari saya? Suruh masuk saja." Citra sebenarnya adalah resepsionis. Agak aneh juga dia tiba-tiba muncul di ruanganku hanya untuk mengantar tamu. Biasanya, dia akan menyuruh orang lain untuk melakukannya.
"Bukan... bukan mau ketemu Mbak. Tamunya mau nginap di vila. Tapi mereka mau vila yang paling besar. Spesifik pakai nunjuk lagi. Mbak, vilanya, kan, kelihatan pas masuk."
Aku mengerti maksud Citra sekarang. Juan memang meminta vila yang ditempatinya setiap kali datang tidak disewakan untuk tamu. Kebiasaan anak manja yang tajir melintir sejak berbentuk zigot. Dia tidak suka berbagi dan tidak akan membiarkan properti pribadinya dipakai orang lain. Vila itu sudah dia klaim sebagai salah satu benda yang paling pribadi.
"Kamu sudah bilang kalau vila itu tidak disewakan?"
"Sudah, Mbak, tapi orangnya berkeras mau yang itu." Citra mencondongkan badannya ke arahku. "Kelihatannya orang kaya, Mbak." Dia terlihat sangat terkesan.
"Tidak reservasi dulu sebelum datang?" Biasanya, tamu seperti itu sudah memesan vila jauh-jauh hari sebelumnya, karena mereka menginginkan pelayanan dan fasilitas VIP. Seperti kata pepatah kuno, ada uang, ada barang.
"Tidak ada reservasi sebelumnya, Mbak. Tiba-tiba saja datang. Katanya mereka tidak peduli harganya berapa, asal di vila Pak Juan. Jadi gimana, Mbak?"
Aku paling tidak suka beradu argumen dengan pelanggan. Prinsipku, selagi permintaan mereka masih bisa aku penuhi, aku akan membuat mereka senang dan menikmati liburannya di tempat ini. Promosi dari mulut ke mulut, terutama dari orang-orang yang punya uang dan koneksi VVIP bagus untuk bisnis.
"Kasih saja."
Sekarang hari Senin. Juan tidak akan datang di hari kerja seperti ini. Aku juga belum mendengar kabarnya sejak pertemuan terakhir kami hampir satu minggu lalu, saay dia mengembalikan cincin itu. Mungkin saja dia juga tidak akan kembali ke sini lagi. Dia tahu aku akan mengelola tempat ini dengan baik, walaupun aku tidak terlalu yakin dia peduli.
Penghasilan tempat ini hanya nol koma nol sekian persen dari penghasilan utama grup keluarganya.
"Tapi, Mbak, bagaimana kalau Pak Juan tiba-tiba datang?" Citra tampak khawatir.
Aku paham ekspresinya. Untuk orang yang tidak terlalu mengenal, Juan memang terlihat ramah, tetapi sekaligus membuat sungkan. Orang hanya akan mengaguminya, tetapi tetap menjaga jarak.
"Dia tidak akan datang," jawabku yakin. "Saya yang akan bertanggung jawab. Dan tamunya juga pasti tidak akan nginap lama."
Jarang ada tamu yang menginap sampai seminggu penuh. Biasanya, penyewa vila masuk jumat sore atau sabtu pagi dan keluar minggu sore. Di musim liburan sekolah, waktu tinggal mereka akan sedikit lebih lama, tetapi jarang sekali sampai seminggu.
"Baik, Mbak." Citra kemudian keluar dan aku kembali melanjutkan pekerjaan.
Aku meminta makan siangku diantarkan ke ruangan dan baru keluar setelah sore melihat pekerja yang memanen buah dan sayur di kebun.
Sejauh mata memandang, dari kendaraan khusus yang aku pakai untuk ke kebun, hanya hijau yang tampak. Ini memang tempat yang sempurna untuk menghabiskan sisa hidup. Aku bisa tinggal selamanya di sini. Jauh dari hiruk-pikuk kota, jauh dari polusi dan jauh dari masa lalu.
Baiklah, yang terakhir itu tidak sepenuhnya benar. Aku tidak bisa sejauh yang kuinginkan, karena sewaktu-waktu masa lalu itu bisa saja menghampiri. Dia bisa datang dan pergi seenaknya, sementara aku tidak bisa ke mana-mana. Mungkin bukan tidak bisa, tapi aku akan ke mana kalau tidak di sini? Seperti yang terus-menerus aku ulang, aku memang belum sepenuhnya bisa melanjutkan hidup, tetapi aku tidak bodoh. Meninggalkan semua kenyamanan yang kubangun dengan susah payah begitu saja untuk menghindari Juan itu konyol.
Beberapa hari ini, aku banyak memikirkan masa lalu. Tidak seperti sebelumnya yang kulakukan dengan emosional dan cenderung subjektif. Dan aku menyadari satu hal yang selama ini luput dari perhatianku karena tertutupi kemarahan serta kekecewaan sebab merasa ditipu. Juan hampir tidak pernah membantah atau menolek ide apapun yang kuajukan untuknnya. Kalaupun melakukannya, dia akan membungkusnya dengan candaan.
***
Author POV
"Bunda menemukan cincinnya."Anika melihat cincin bintang pemberiannya di tangan kiri Hara saat Anika pulang ke rumah.
Hara menunjukkan jemarinya sebentar pada Anika. "Ya. Bunda menemukannya di dapur restoran. Bunda pasti melepaskannya saat mencuci peralatan masak."
Anika tersenyum tipis. "Bunda masih harus kembali ke restoran malam nanti?"
Hara mengangguk.
"Bunda pulang malam sekali kemarin. Bagaimana kalau malam ini bunda pulang jangan terlalu malam? Aku terlalu khawatir. Muka Bunda terlihat sedikit pucat." Anika memandang Hara khawatir.
"Baiklah," kata Hara. "Malam ini Bunda akan pulang lebih cepat."
"Bunda bekerja terlalu keras," omel Anika. "Bagaimana kalau bulan depan kita jalan-jalan
sekeluarga ke luar negeri? Kita belum pernah melakukannya."
Hara tertawa. "Kepalamu selalu penuh dengan ide aneh. Kalau kita jalan-jalan, siapa yang mengurus pernikahanmu? Kau mau keluarga Wardana yang ambil alih persiapannya?"
Anika cemberut.
Hara mendekatkan wajahnya ke wajah Anika. "Sebenarnya usulmu bagus juga kok. Mungkin
tidak sekarang. Lain kali saja. Bagaimana?"
Anika tertawa. "Aku akan mengusulkannya pada Mika."
***
Hara POV
Aku terbangun dengan rasa sakit yang amat sangat di lutut kanannya. Tubuhku berkeringat. Aku meminum obat antisakit, tapi sepertinya efek obat itu hanya sementara. Aku tahu, pasti ada masalah dengan kaki. Di dalam kamar aku berusaha tidak berteriak kesakitan dan membangunkan Anika. Aku perlu menemui Dokter Adam.
Pagi harinya, ketika aku bangun, Anika sudah berangkat ke kantor. Aku menelpon Dokter Adam untuk membuat janji temu. Sejam kemudian, Aku sudah berada di rumah sakit.
Aku tidak terlalu suka dengan bau rumah sakit, karena mengingatkanku pada kecelakaan itu.
Dokter Adam tersenyum ramah ketika aku memasuki ruang prakteknya. Aku mulai
menjelaskan rasa sakit di kakiku.
"Sudah berapa lama?" tanya Dokter Adam.
"Sekitar beberapa minggu, Dok. Saya tidak tahu mulai pastinya kapan. Awalnya hanya merasa
kelelahan, lalu kram, dan sekarang obat antisakit hanya bisa meredakan sementara."
Dokter Adam terlihat khawatir, dan memutuskan untuk memeriksa kaki kananku secara menyeluruh.
Dua jam kemudian, aku kembali ke ruang praktik untuk mendengarkan hasil pemeriksaan kakiku. Saat melihat wajah Dokter Adam yang murung, aku berkesimpulan bahwa hasil pemeriksaannya tidak bagus.
"Kakimu mengalami infeksi lagi." Dokter Adam menatapku.
"Apakah sangat parah?" tanyaku. Dalam hati, aku benar-benar putus asa mendengar penjelasan
itu.
Dokter Adam mengangguk. "Anda harus menjalani operasi lagi, Nyonya Hara."
"Kapan?" tanyaku lirih.
"Secepatnya. Saya sarankan minggu ini. Lebih cepat lebih baik. Kalau infeksinya sampai menjalar kemana-mana, kondisi kakimu akan menjadi lebih parah, dan kau akan mengalami rasa sakit yang luar biasa."
Aku tidak bisa bernafas. "Apakah dengan operasi, kaki saya bisa normal kembali?"
Dokter Adam memperlihatkan hasil pemeriksaan kakiku dan memandangnya dengan serius. "Saya akan berusaha sekeras mungkin supaya operasi kakimu berhasil."
"Dan kalau operasinya tidak berhasil...?" ucapku perlahan. Air mata sudah menggenangi mataku. "Kalau infeksinya sudah terlalu parah?"
Dokter Adam terdiam.
"Saya akan kehilangan kaki saya, bukan?" Aku mencoba untuk menelan kenyataan pahit yang
akan aku terima.
Dokter Adam mendesah perlahan. "Saya akan berusaha supaya itu tidak terjadi. Kau harus
optimis."
Air mata mulai membasahi pipiku. Aku mengusapnya dengan cepat. "Tolong katakan yang
sebenarnya, Dokter."
Dokter Adam menatap Hara dengan sedih. "Kalau memang infeksinya parah, saya terpaksa
mengamputasi kakimu. Tapi itu adalah jalan terakhir. Kakimu harus dioperasi secepatnya. Karena kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan infeksinya akan semakin parah. Saya akan memberitahu Anika."
Aku menggeleng. "Jangan. Tolong jangan bilang padanya. Tidak hari ini."
"Hara, kau harus dioperasi secepatnya," Dokter Adam bersikeras. "Keluargamu perlu tahu. Kau butuh dukungan mereka untuk operasimu."
Hara berdiri dari kursinya. "Saya tahu. Tapi jangan beritahu mereka hari ini. Saya akan memberitahu setelah acara pertunangan Anika. Setelah itu saya bersedia dioperasi. Tolong beri saya waktu. Saya
mohon, Dokter."
Dokter Adam mengangguk. "Baiklah. Tapi kalau besok kau tidak datang ke rumah sakit, saya pasti akan menghubungi Anika. Saya tidak bisa menyimpan hal sepenting ini darinya. Biarpun dia akan menjadi anggota keluargaku, tapi dia berhak berada disampingmu disaat seperti ini."
Aku mengangguk. Aku keluar dari rumah sakit dengan linglung. Aku terduduk di salah satu halte
bus. Tanganku menyentuh kaki kanan. Mungkin hari ini hari terakhir aku bisa menggunakan kaki kanan ini. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak ingin kehilangan kaki kanan ini. Aku ingin berdiri dengan kedua kaki ini di dapur dan melakukan pekerjaanku.
Setelah tangis mereda, Aku membasuh mukaku di toilet umum. Mataku masih sedikit merah. Tapi aku tidak akan melewatkan hari ini dengan kesedihan. Aku akan melakukan pekerjaanku di dapur restoran. Walaupun mungkin itu terakhir kalinya aku bisa berdiri dengan kedua kaki.
To Be Continued