Jakarta
Anika POV
Aku beranjak dari balkon dan masuk ke kamar. Aku baru meletakkan hp dan hendak melangkah ke kamar mandi ketika keheningan pagi terbelah setengah terlompat kaget, sebelum aku sempat bersuara, sudah terdengar suara melengking Mika.
"Anika, kamu sudah bangun? Sebaiknya kamu bergegas, jangan sampai telat. Aku dengar Om Rama baru pulang ke rumah Wardana semalam dari London, kemudian Om Sultan datang pukul dua pagi kesini. Oh ya, jangan pakai celana jins. Kamu kan tahu Om Sultan itu entah kenapa seperti disetrum kalau melihat ada yang pakai jins. Om Adam sebenarnya juga sering pakai jins, tapi teguran Om Sultan tidak pernah mempan ... Lagi pula, Om Sultan mau melakukan apa kalau Om Adam menolak? Sementara kita? hanya rakyat biasa," cerocos Mika hampir tanpa jeda. Ia berhenti sebentar untuk mengambil napas.
Aku membayangkan Mika, dengan rambut yang berdiri tegak, bercerita penuh semangat hingga kecamatanya melorot sedikit. Aku berkata. "Iya, aku ..." Ucapanku tidak selesai karena Mika sudah mencerocos lagi.
"Kamu tahu tidak, Bunda dan Devan tadi malam bilang ada yang harus mereka lakukan di Restoran dan Rumah Sakit sepagi ini. Mungkin mereka baru pulang sebelum petang. Nah, kalau kamu tidak sarapan juga kan aku sendirian. Sendirian! Bayangkan, Anika!"
Anika berdecak, ini bukan kali pertama aku mendengar reaksi dramatis Mika. Aku menanggapi. "Kamu kan tahu aku pasti sarapan! Memangnya aku mau makan di mana?"
"Iya, aku tahu, makanya aku panggil kamu!" potong Mika lagi. "Eh, maaf ya, Anika, kalau aku membangunkanmu sepagi ini. See you at breakfast!"
Aku melongo menatap gagang pintu yang tertutup. Sesekali Mika mungkin harus dijitak supaya tidak seenaknya memotong dan memutus pembicaraan orang tanpa peringatan! Tak heran anak itu sering diomeli oleh Bunda.
Bunyi ketukan pintu lagi.
Kebiasaan!
Aku membuka pintu dengan berapi-api. "Hei, dengar ya .... lain kali aku akan mendiamkanmu dua hari kalau kamu memutus pembicaraan seperti tadi!"
Hening sejenak sebelum sebuah suara jernih yang terdengar.
"Dua hari waktu yang cukup lama, sayang. Aku akan sangat kecewa jika kamu mengabaikan aku selama itu."
Napasku langsung tercekat. Satya! Aduh, celaka!
"Sa... Satya... I'm so sorry... Aku kira Mika yang ketuk," ucapku terbata-bata. Kenapa aku tadi main sambar saja?
"It's okay, sayang. Aku mengerti bagaimana Mika bisa sangat mengesalkan kadang-kadang ... Kelakuannya sama persis dengan adik perempuanku. Tapi, aku sarankan lain kali kamu pastikan siapa lawan bicaramu sebelum menyemburkan kemarahan. Bukankah lebih aman seperti itu?"
"He he... Iya." jawabku buru-buru.
"Aku kesini karena Bunda minta aku antar kamu ke kantor... Pukul tujuh kamu ditunggu Om Sultan di kantor. Is that alright with you?"
"Yes, no problem," jawabku.
"Aku hanya ingin memastikan kamu punya cukup waktu untuk bulan-bulan kedepan. Minggu lalu aku lihat jajaran botol entah apa di meja rias rumahmu. Aku yakin kamu perlu waktu lebih lama dari Mika atau Dara untuk bersiap-siap jika botol-botol itu termasuk rutinitas persiapanmu di pagi hari. I'll see you soon,"
Pintu ditutup.
Aku nyengir, kemudian terduduk dikasur. Salah satu kesibukanku selama ini adalah belanja, bukan hanya secara sukarela, tapi juga karena terpaksa. Tante Anita, wanita yang selama ini selalu membantuku untuk tetek-bengek urusan perempuan, memberikan daftar belanja barang-barang yang harus aku beli untuk melengkapi isi lemari baju menjelang hari pernikahanku. Jadilah aku berburu baju luar, baju dalam, baju olahraga, aksesoris, make up, perawatan wajah dan tubuh, bahkan cat kuku.
Aku melangkah dengan perasaan ringan ke kamar mandi. Aku memang selamat dari kemarahan Satya, tapi aku bertekad untuk tetap menjitak Mika jika bertemu dengannya nanti!
***
Anika POV
Wardana's Corp
Pukul 07.00 aku membuka pintu ruang kerja Om Sultan dan melangkah masuk.
"Good morning! How are you doing, young lady?" sapa Om Sultan sambil mendekat menyambutku. Om Sultan memakai kemeja berwarna biru tua yang ditarik hingga siku yang menampilkan arloji mewah di pergelangan tangan, serta celana katun krem dan sepatu kasual warna cokelat yang senada lebih tua dari celananya, penampilan pria itu tampak santai namun tak bercela.
"Fine, Uncle, thanks," jawabku ringan. Hidungku menangkap aroma samar pinus saat menyambut pelukan hangat itu.
Om Sultan melepaskan pelukannya lalu memperhatikanku. "You look... fresh. Kamu terlihat jauh lebih baik daripada saat kita bertemu terakhir, minggu lalu," ucapnya.
"Thank you, Uncle. You look great as well," jawabku sambil tersenyum.
Roda kehidupan memang berputar dengan aneh, membawa manusia masuk ke banyak skenario yang satu sama lain tampak bertentangan. Siapa yang pernah menyangka pria yang dulu menyakiti ibuku kini malah menjadi tumpuan hidupku? Saat ini semua kenangan yang melibatkan pria di hadapannya ini seakan hanyalah potongan adegan yang berada di kehidupan yang terpisah dengannya. Selama tujuh tahun terakhir ini Om Sultan mendampingiku melalui hari-hari yang sangat sulit. Mungkin berlebihan untuk berkata bahwa Om Sultan telah menjadi sosok pengganti ayah, tapi pria ini telah menunjukkan sisi lain yang sebelumnya tak pernah terbayangkan ada.
Om Sultan memperilahkanku duduk di sofa kemudian duduk di sebelahnya.
"Latihanmu sudah dimulai kemarin sore, bukan? How was it?"
"It was okay. Hanya lari biasa. Tidak ada target waktu," jawabku. Sebenarnya lebih mirip jogging dan jalan santai daripada latihan lari, imbuhku dalam hati.
"Kenapa aku mendapat kesan kamu kecewa?" tanya Om Sultan dengan seulas senyum.
Aku gelagapan dan langsung menggeleng. "Tidak, bukan itu maksudku... hanya saja dulu kan latihan-latihannya lebih berat, jadi aku kira akan seperti itu juga."
"Sama sekali tidak menarik ya ... Taruhan, kamu pasti tidak menyangka kehidupanmu yang sebentar lagi menjadi seorang Nyonya Muda Wardana akan membosankan seperti ini," ucap Om Sultan santai sambil menyilangkan kaki.
Aku tersenyum sambil menggigit bibir untuk mencegah senyuman berubah menjadi cengiran. Om Sultan kelihatannya tahu persis apa yang aku pikirkan. Kalau dipikir-pikir, rutinitas harianku tak beda jauh dengan di Jerman: terasa normal-normal saja, di luar kegilaan anggota keluarga Wardana.
Om Sultan kemudian berbicara dengan intonasi lebih serius. "Akhir minggu ini kalian akan bertunangan. Di keluarga ini, tunangan punya makna khusus, karena dianggap sebagai titik penanda keseriusan suatu hubungan. Seseorang yang bertunangan dianggap cukup dewasa untuk mengambil keputusan dan sanggup bertanggung jawab secara penuh atas keputusan dan tindakannya. Bagimu, makna tunangan akan terasa lebih besar lagi, karena setelah jamuan nanti, aku mengharapkan kamu segera bisa beradapatasi secara penuh dengan semua kebiasaan keluarga ini. Itu seharusnya disampaikan Adam sebagai calon ayah mertuamu, tapi karena kesibukannya, jadi aku wakilkan."
Aku mengangguk. Aku sudah diberitahu bahwa acara pertunaganku akan dirayakan dengan jamuan makan malam khusus yang dihadiri seluruh anggota keluarga dan orang-orang yang punya hubungan erat dengan keluarga Wardana.
Om Sultan melanjutkan,"Sudah waktunya kamu fokus untuk membangun masa depanmu dan tidak terjebak dalam kenangan masa lalu. Banyak hal yang harus kamu pelajari untuk memenuhi ekspektasi sebagai seorang Wardana, baik keterampilan fisik maupun sosial."
Aku menarik napas panjang tanpa kentara ketika bayangan orangtuaku muncul di benakku. Sejenak pikiranku melayang dan kembali dihantui pertanyaan. Bisakan ayahku memikirkan diriku sebagaimana Om Sultan memikirkanku saat ini?
"Rumahmu sudah di renovasi?" tanya Om Sultan.
Pertanyaan itu membawa benakku kembali. Aku mengangguk. "Sudah. Di bantu Bunda dan Mika."
"Kalau ada apa-apa lagi, segera hubungi aku, aku bisa membeli rumah baru untuk kalian tempati."
"Yes, Uncle."
"Kamu sudah mulai membaca The Code?" tanya Om Sultan lagi.
The Code adalah buku tebal bersampul kulit hitam berisi semua aturan dan kode etik yang berlaku dalam keluarga Wardana. Aku pernah melihatnya dikamar Gwen dulu.
"Sudah... aku baca salinan yang di ruang duduk kecil," jawabku, kemudian bertanya dengan hati-hati untuk memastikan, "dibaca saja kan, tidak perlu dihafal?"
"Ya, tidak perlu dihafal, setidaknya, belum sekarang. Namun, aku harap kamu mengerti dan bisa menjelaskan bagian-bagian yang membentuk fondasi keluarga ini. Di perpustakaan ada satu -salinan The Code yang pasal-pasal intinya sudah ditandai. Kamu bisa mulai dari sana."
Om Sultan berdiri, aku mengikutinya. "Apa agendamu hari ini?" tanyanya sambil mengantarku ke pintu.
"Pagi ini aku mau ke tempat kursus, kemudian siangnya aku mau ke rumah,"
"Kenapa kamu ke tempat kursus hari ini? Bukankah kursusmu baru mulai minggu depan?"
"Iya... kursus mulainya minggu depan. Tapi, aku hari ini ada janji dengan teman."
Om Sultan menatapku sebentar, lalu berkata, "Aku tidak tahu kamu punya teman di Jakarta selain saudaramu dan anggota keluarga Wardana."
"Apakah ini teman yang dulu pernah kamu bahas bersama Mika dan Dara dengan suara keras?"
Aku mengangguk dengan perasaan sedikit malu.
"Pastikan saja kamu mematuhi protokol yang berlaku, dan menjaga nama baik keluarga dari orang luar," ucapnya, lalu menambahkan,"siapa yang akan menemanimu hari ini?"
"Tidak ada... Satya dan Devan belum pulang dari tempat kerjanya. Lagipula, aku rasa tidak perlu ditemani lagi. I'm okay now."
Om Sultan tersenyum dan membukakan pintu. "I'm very glad to hear that. Tapi, aku rasa akan lebih baik jika kamu ditemani. Aku akan menelpon Satya dan memintanya meluangkan waktu untukmu. Have a good day, young lady."
To Be Continue