Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 168 - Not yet

Chapter 168 - Not yet

Wardana's House

Author POV

"Pelan-pelan buka pagarnya. Jangan sampai membangunkan seisi rumah." Tanpa mengalihkan pandangan dari balik kemudi mobil ke pintu pagar rumahnya, Dara merogoh kunci pagar dari asbak mobil dan melemparkannya kepada Chacha yang duduk di sampingnya.

Tanpa banyak protes, Chacha menangkap kunci tersebut dan membuka pintu mobil, lalu berlari menuju pagar. Jauh sebelum mobil itu mendekati kompleks tempat tinggal Dara, Chacha mempersiapkan diri dengan melepaskan high heels yang ia kenakan dan bersiap sesuai rencana yang disusun matang temannya agar mereka bisa masuk ke rumah itu dengan aman.

Dara menggenggam erat kemudi sementara matanya menatap tajam menatap tajam Chacha yang berusaha membuka pagar dengan perlahan agar tidak seorang pun terbangun. Ia tidak mempedulikan Anika yang semakin mencondongkan tubuhnya ke depan dari bangku belakang.

"Apa ada yang masih bangun? Kita bisa langsung masuk ke rumahmu?" bisik Anika sangat tegang.

"Hush!" sergah Dara cepat. 

Tanpa mengalihkan pandangan dari Chacha, Dara kembali memperingatkan Anika. "Inget kata-kataku tadi ya! Jangan mengeluarkan suara sedikit pun. Jika saja aku yang pergi malam ini, mungkin aku tidak perlu setegang ini. Tapi gara-gara Chacha dan kamu ikutan nyusul naik taksi segala, sekarang kita hanya bisa berdoa agar Dad dan Mom tidak bergadang untuk menghukum kita bertiga. Terutama karena kamu ikut Anika."

"Ta-tapi kan aku memang harus ikutan," gumam Anika. Hati Dara sebenarnya tidak tega melihat temannya sekaligus calon kakak iparnya merasa bersalah. Ia tahu bagaimana kedua orangtuanya ekstraketat menjaga nama baik keluarga, terutama Anika—si calon menantu keluarga. 

Dara yang berjiwa pemberontak sesekali bertingkah, membuat orangtuanya pusing tujuh keliling. Namun kali ini ia tidak habis pikir, Chacha yang selalu mencontoh tingkah lakunya, bisa-bisanya nekat mengajak Anika menyusulnya nonton konser grup musik internasional malam itu. 

Dara menghela napas berat, lalu menginjak gas mobil perlahan saat melihat kedua pagar besi yang berdiri kokoh melindungi rumahnya sudah terbuka lebar dan Chacha memberikan tanda OK agar ia bisa cepat masuk ke halaman. 

"Sudah! Jangan mengeluh! Jangan lupa lepas sepatumu dan tutup mulut rapat-rapat begitu aku mematikan mesin mobil." Dara memerintahkan Anika sambil menjalankan mobil perlahan, lalu mengerem persis di depan garasi.

Saking konsentrasinya, ia tidak menangkap anggukan Anika. 

Dengan cepat ia mematikan mesin mobil dan keluar untuk membantu Chacha menutup pagar. 

BUK!!!

Dara langsung menghentikan usahanya menarik salah satu pintu pagar begitu mendengar Anika kelepasan menutup pintu mobil agak keras. Matanya melotot marah pada Anika yang meringis meminta maaf dalam ekspresi wajahnya.

"Ini semua salahmu," desis Dara, melemparkan kekesalan pada Chacha yang masih memegangi sisi lain pintu pagar. "Sekalian saja kalian berdua menekan bel rumah dan membangunkan semua orang."

Sambil menggerutu, Dara dan Chacha mendorong pagar itu sampai tertutup.

"Kalian benar-benar membuat malam indahku menjadi berantakan."

"Aku yang memaksa ikut. Tidakkah kamu juga ikut senang jika kita bertiga bisa pergi ke konser bersama? Dan lagi ini pertama kalinya kita ke konser sampai lewat tengah malam." 

Chacha yang sudah tidak tahan dengan omelan Anika akhirnya membuka mulut. Ia memperhatikan Dara mengalungkan gembok pagar dengan perlahan dan menguncinya, lalu melirik pada Anika yang mendekap tas tangan dan sepatunya sambil menatap kedua temannya dengan wajah 

sedih. 

"Sedikit lagi Anika pasti ngomel lagi," bisik Chacha menatap Dara. 

Sambil menghela napas panjang, Dara menegakkan punggungnya dan menatap bergantian antara Chacha dan Anika. Tanpa menggunakan alas kaki seperti saat itu membuat tubuhnya sedikit lebih rendah daripada kedua temannya.

"Tentu saja aku senang." Dara mendesah sambil melangkah dan berhenti di antara Chacha dan Anika. "Tapi mengingat banyaknya misscall di ponselku, ponselmu…"

Ia menunjuk Chacha, lalu beralih menunjuk Anika, "…dan ponselmu, belum lagi pesan dengan isi penuh ancaman hukuman dari Dad dan Mom. Yang pasti aku akan menanggung hukuman paling berat untuk kejadian malam ini... Tentu saja aku kesal.

"Kalau cuma kamu yang datang sendiri, masih bisa aku tanggung akibatnya. Nah ini, kamu juga bawa Anika. Aku sudah bilang kemungkinannya hanya seupil bahwa Dad dan Mom tidak menunggu kita dengan sapu untuk menyabet kita." Dara berkacak pinggang dan menatap bergantian 

pada kedua temannya.

Seketika Anika mengalungkan kedua tangannya yang memegang tas dan sepatu ke bahu Dara. Dara masih berkacak pinggang dan menoleh kaget pada Anika yang tiba-tiba saja memeluknya erat. Tidak perlu diragukan 

lagi, tingkat sedih dan rasa bersalah Anika pasti super tinggi.

"Dar, jangan marah lagi. Meski kemungkinannya kecil. Bisa jadi orangtuamu sudah tidur. Apalagi tadi mereka ada acara di luar, mungkin mereka sudah pulas karena kecapekan," ucap Anika pelan, tetap mendekap temannya. 

Sorot tajam mata Dara menghentikan suara tawa Chacha setelah mendengar kalimat Anika. Dara menghela napas panjang dan balas merangkul Anika, lalu menepuk pundak Anika perlahan. "Meskipun mereka sudah tidur, masih ada 

besok pagi untuk menerima hukuman," sahut Dara pasrah. 

"Sudahlah. Aku gerah, mau mandi, lalu tidur. Memikirkan hukuman yang harus kutanggung karena ulah kalian berdua membuat aku capek setengah mati."

"Lain kali jangan merencanakan pergi ke konser sendirian, ya?" Chacha mendekatkan bibirnya ke telinga Dara. "Bawa aku juga lain kali." Senyum usil Chacha membuat Dara tidak dapat berkata-kata. Hati Dara terbelah antara 

merasa bersalah tidak mengajak kedua temannya dan kesal karena mereka berdua selalu membuntuti dan meniru kelakuannya. 

Krek… DAK!!

Jantung Dara serasa lepas ketika daun pintu rumah terbuka lebar. Ia seperti berada di dalam film horor, juga yakin kedua temannya merasakan hal sama.

Kakinya lemas begitu melihat kedua orangtuanya dan Kakaknya, Satya yang mengenakan pakaian tidur berdiri dengan wajah garang, mengadang di depan pintu.

Dad mengacungkan stik golf tinggi-tinggi sementara Mom dan Satya berkacak pinggang di belakang tubuh Papa yang tingginya sejajar.

Sungguh, pasangan Adam Wardana dan Namira Wardana tengah malam itu membuat siapa pun yang melihatnya jadi tersenyum geli. Namun tidak bagi Dara yang sudah bersiap menerima segala omelan dan hukuman.

"Anak siapa yang dini hari seperti ini baru pulang? Hah!" Dad berteriak sambil maju dan melambaikan stik golf panjang yang terlihat lebih panjang daripada tubuhnya sendiri.

Spontan Dara merentangkan kedua tangan untuk melindungi kepala kedua temannya yang langsung merunduk. 

Ia sendiri otomatis menunduk sambil berteriak. "Dengar dulu, Dad!" pekik Dara yang sudah terlatih dengan gerakan orangtuanya. Pekik kedua temannya dan omelan Mom dan Satya dibelakang suaranya tidak ia pedulikan. Kedua tangannya bergerak tanpa ia sadari, menangkup ujung stik begitu benda itu hendak mendarat di kepalanya.

Posisi Dara setengah berjongkok sementara kedua temannya sepenuhnya berlutut di kanan-kirinya.

"Anak siapa yang tidak tahu aturan seperti ini? Jawab Dad! Anak siapa?!" Dad membentak sambil menggoyang-goyangkan sapu yang berhasil ditangkap Dara. Dara berusaha keras agar sapu itu tidak terlepas dari tangannya.

Ia sudah sering mengalami kejadian menyakitkan ketika stik itu mendarat sukses di bokongnya.

"Anak Dad." Dara menjawab sambil mengimbangi arah goyangan stik di atas kepalanya. 

Mendengar Dara menjawab dan menahan serangannya, Dad semakin geram. Mom menahan tangan Dad agar berhenti. Namun emosi Dad malam itu tak terkendalikan. 

"Berani kamu sama Dad? Kamu seorang dari Keluarga Wardana, tapi tingkahmu yang paling menjadi-jadi."

"Dad sendiri tadi yang tanya anak siapa. Aku cuma menjawab pertanyaan Dad. Dad dengar dulu penjelasanku," jawab Dara terengah-engah. Ia melirik temannya di sampingnya. "Kalian kenapa diam saja?! Bantu aku," bisik Dara kesal.

"Dokter Adam, aku yang menyusul bersama Dara. Kami cuma ingin menonton konser bersama Dara." Akhirnya Chacha meraih tengah gagang stik keramat yang jadi rebutan Dara dan Dad. Masih berlutut, Chacha segera memberi kode kepada Anika untuk ikut membantu. Mereka semua tahu Anika 

paling bisa membuat orangtua itu luluh. 

Namun bukannya membantu dengan membuka mulutnya, Anika malah mulai terisak dan pura-pura sambil merangkul sepatu dan tas tangannya semakin erat. "Semua ini gara-gara aku… Hoaaaaa…."

Tangis Anika yang pecah pada tengah malam membuat semua gerakan berhenti seketika. Mereka sontak memandang Anika. 

Dara menghela napas panjang melihat Anika akting menangis. Tangannya melonggar dan dengan pasrah melepaskan ujung stik dari genggamannya. Tanpa disangka stik terjatuh di hadapannya karena Dad dan Chacha juga melakukan hal yang sama. 

Memang tidak ada yang bisa menang jika tangis Anika sudah pecah. Mom langsung maju dan berkacak pinggang menatap ketiga anak gadis itu.

"Semua berlutut!" perintah Mom cepat. Dara langsung bergerak tanpa sempat berpikir. Ia sepenuhnya berlutut bersama Chacha sementara 

Anika di sampingnya masih sibuk menyeka air mata.

Dara melirik orangtuanya yang berdiri di hadapannya. 

"Mom tahu kamu tidak membawa teman-temanmu keluar. Tapi kamu sendiri seharusnya memberikan contoh yang baik. Bukannya keliaran sampai tengah malam begini. Karena mencontoh kamu, makanya mereka berdua ikut-ikutan menyusul."

Bibir Dara mengerut. Kalimat itu sudah beratus-ratus kali atau mungkin malah ribuan kali ia dengar sepanjang hidupnya. Sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga ekstraketat seperti keluarganya ini, ia harus bertanggung jawab atas ulah kedua temannya. 

"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan calon tunanganku, kamu bisa apa?" Pertanyaan yang melengking dari mulut Satya membuat lamunan Dara buyar. Ia memandang Mom dan Satya yang masih berkacak pinggang.

"Angkat tangan!" perintah Mom. Dengan lesu Dara mengangkat kedua tangannya. Chacha juga melakukan hal yang sama sementara Anika yang masih terisak-isak, bergerak lebih lambat. 

"Kalian sudah mengerti kesalahan kalian?" tanya Mom lantang.

"Iya... sudah," jawab Dara dan Anika dengan malas. 

"Kalian hanya bisa menjawab sudah, tapi pasti akan mengulangi lagi. Terutama yang dua ini," Mom berkata sambil menunjuk Dara dan Anika.

Telunjuknya berhenti di depan Anika. "Hukuman untuk kalian bertiga, besok 

pagi-pagi bangun jam enam, terus ikut Mom fitness."

"Jam enam?!" Chacha menurunkan tangan untuk melihat jam tangan. "Sekarang saja sudah jam dua pagi. Masa cuma tidur empat jam? Belum lagi nanti mesti mandi dulu. Mana bisa tidur nggak sampai empat jam," protes Chacha.

"Tangan!" Mom mendelik tajam kepada Chacha yang langsung menutup mulutnya dan kembali mengangkat tangan nya lurus ke atas. "Tante tidak peduli. Semua salah kalian sendiri. Pulang fitness, kita semua makan siang dengan keluarga Dokter Gilang. Setelah itu kalian harus bantu bersih-bersih rumah. Hukuman kali ini terpaksa agak ringan mengingat kita ada janji makan siang penting."

"Dokter Gilang?" Dara berusaha mengingat dokter yang disebut Mom. Namun Dad langsung beranjak maju dengan telunjuk memperingatkan. 

"Dad sudah bertemu Dokter Benny. Besok kita hanya makan siang bersama supaya acara perkenalan tidak terasa terlalu kaku. Ingat, jangan buat Dad malu. Mereka keluarga dokter terkenal. Kamu sudah membuat Mom dan Dad khawatir dengan semua teman laki-lakimu yang tidak jelas itu. Jadi, perjodohan ini jangan dianggap mainan."

Dara melongo. Ternyata orangtuanya benar-benar serius dengan perkataan mereka. Baru beberapa hari lalu mereka melontarkan ide untuk mencarikan calon menantu yang pas untuk Dara. Selain prihatin dan menganggap semua 

mantan pacar yang dibawa pulang Dara tidak ada yang pas, mereka juga berkewajiban mencarikan laki-laki yang bisa mengendalikan anak perempuan mereka yang terkesan seperti kuda liar.

"Jadi Mom sama Dad serius?" tanya Dara tidak percaya.

"Superserius!" Terdengar jawaban keduanya. 

Dad melanjutkan, "Jangan dikira Dad tidak akan memberikan hukuman setelah acara makan siang besok."

"Acara perjodohan ini kan juga hukuman," gumam Dara lesu. Bahunya melorot. Ia memikirkan cara untuk lolos dari ide gila ini. 

"Tangan sudah boleh diturunkan," Mom berkata sambil menunduk untuk menggapai stik yang tergeletak di antara mereka. "Kalian boleh masuk, mandi, lalu cepat tidur karena nanti tepat jam enam, Mom akan bangunkan."

Dara hanya bisa menatap kosong. Ia belum ingin berdiri. Chacha dan Anika seketika mendekat. 

Dara mendesah perlahan. "Kita lihat dulu besok.Belum tentu baru ketemu sekali, lalu main putuskan jadi nikah. Kalau ternyata orangnya jelek, bagaimana? Iihh…"

Dara mendadak merinding membayangkan besok siang. 

"Tapi…" Anika menunjuk ke arah Dad yang sudah berbalik menuju pintu. "Akhir-akhir ini Om Adam keranjingan makanan sehat. Belum lagi Tante Namira, yang entah kenapa, giat nge-gym lagi. Apa itu tanda-tanda mereka pingin cepat dapat menantu dokter juga?"

"Hush! Kalian mau sampai kapan berlutut di tanah?" Satya melambaikan stik di tangannya dan menghentikan bisik-bisik penuh rahasia di antara ketiga gadis itu.

"Aku mau berlutut sampai Mom dan Dad membatalkan niat perjodohan ini," ucap Dara spontan. Dagunya terangkat dan menatap wajah Satya, yang langsung melongo menatap wajah adik dan kekasihnya.

Selama beberapa detik mereka saling menatap dalam suasana hening. Satya menghela napas panjang. Bukannya marah, ia hanya memberikan tatapan tajam sebelum berbalik dan beranjak santai ke dalam rumah.

"Tidak ada perubahan rencana. Kamu boleh berlutut sampai pagi di situ. Yang pasti hari ini ada tetangga di blok belakang yang baru meninggal. Siapa tahu arwahnya bersedia menemanimu berlutut di situ sampai matahari terbit," sahut Satya ringan, sebelum benar-benar menghilang. 

Serentak ketiga gadis itu berdiri dan saling menatap, 

ketakutan. 

"Kamu pikir ini cuma akal-akalannya?" bisik Chacha curiga.

"A-aku ta-takut…" timpal Anika, merinding. Ia memandang ke sekeliling yang sunyi. Suara burung hantu tiba-tiba terdengar, membuat mereka membayangkan yang tidak-tidak. 

Dara sempat bergidik, lalu setengah mendorong kedua adiknya agar bergerak bersamanya. "Sudah, kita menyerah kalah aja. Sekarang lebih menakutkan daripada memikirkan jadi istri dokter."

 To Be Continued