Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 157 - Obsesi

Chapter 157 - Obsesi

Jakarta

Dara POV

"Kamu tidak sakit," diagnosis Dokter Devan dilontarkan setelah enam kali aku mengunjunginya. Termasuk sekali pemeriksaan laboratorium lengkap, endoskopi, CT scan kepala, pemeriksaan mata dan telinga dalam. "Tidak ada yang salah pada tubuhmu."

"Tapi kenapa aku selalu mengalami sakit kepala, Ka?" keluhku antara cemas dan kesal. "Kenapa aku merasa mual bahkan sampai muntah hampir tiap sore?"

"Kamu menderita penyakit psikosomatis. Gangguan kejiwaan yang menyebabkan tubuhmu merasa sakit."

Tentu saja aku tahu apa artinya psikosomatis.

"Aku menduga kamu sedang mengalami gangguan psikis yang cukup berat. Penyebabnya banyak. Antara lain stress, trauma kejiwaan, pengalaman buruk masa lalu..."

Stress. Siapa yang tidak stres di zaman serbasulit ini? Tapi tidak semua orang mengalami gangguan seperti yang kualami!

"Sebaiknya kamu pergi ke psikiater. Kamu perlu seorang ahli untuk menumpahkan unek-unek. Jika perlu, psikiater juga akan melakukan psikoanalisa untuk mengorek penyebab yang berada di alam bawah sadar. Bila dibiarkan, gangguan ini akan semakin berat. Kamu akan semakin menderita."

Jadi aku masih memerlukan dokter kejiwaab, pikirku dalam perjalanan pulang. Aku tidak sakit tapi merasa sakit! Tubuhku sudah memprotes atas penderitaan batin yang kualami selama ini!

"Ah, Devan bisa saja bicara seperti itu!" komentar Ka Satya ketika aku menyampaikan hasil pemeriksaan Dokter Devan. "Kalau diagnosisnya tidak ketemu, enak saja dia bilang psikosomatis! Itu kan penyakit tong sampah! Kalau semua pemeriksaan baik, tidak ada penyakit yang ditemukan di tubuhmu, dia mau bilang apa lagi? Psikosomatis! Beres. Sudah kakak bilang, kamu tidak sakit!"

Aku sudah bosan diganggu penyakit ini. Hampir tiap sore aku mual. Kalau datangnya pagi, asumsinya aku hamil! Tapi sore?

Dan sakit kepalaku! Mengapa aku diserang sakit kepala terus-menerus? Ada penyakit apa di kepalaku? Tumor?

"Tidak ada yang salah pada tubuhmu."

Berarti tidak ada tumor di kepalaku. Tidak ada janin di rahimku. Tidak ada iritasi, radang atau hernia di lambung. Semua beres, Semua baik. Semua terkendali.

"Kamu menderita penyakit psikosomatis."

Itu pendapat Dokter Devan. Pendapat seorang ahli. Mustahil dia mengada-ada.

 ***

Author POV

Semuanya berlangsung seperti biasa. Sama seperti kemarin. Dan kemarinnya lagi. Rutin. Kadang-kadang malah membosankan. Pernikahan di ambang tahun kelima memang gersang. Apalagi kalau Devan sedang marah-marah begini.

Akhir-akhir ini dia memang sering marah-marah. Kesibukannya bekerja membuat dirinya selalu tegang. Dan ketegangan mudah memercikkan kemarahan.

Kalau sedang sabar, Mika memang pasrah. Dia diam saja menerima dan mendengarkan gerutuan suaminya.

Tetapi kalau dia sendiri sedang tegang seperti ini, kesabarannya rendah sekali ambangnya.

"Urusan pekerjaan jangan dibawa-bawa ke rumah, Mas," tegur Mika di meja makan.

Dia sedang menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Tetapi Devan sendiri lebih tertarik pada note book-nya.

"Terus harus kubawa ke mana?" gerutu Devan sengit. "Semuanya tidak beres! Ditinggal sebentar saja berantakan begini!"

"Tapi semua itu kan salahku, Mas!" cetus Mika tak sabar. "Kenapa harus selalu aku yang menerima omelanmu? Kenapa Mas tidak marah-marah di rumah sakit saja nanti?"

Entah terkejut entah heran, Devan langsung menghentikan kerjanya. Untuk pertama kalinya dia mendengar istrinya menjawab sekeras itu. Biasanya dia selalu sabar dan patuh.

Kalaupun sedang kesal, tak pernah Mika berani melontarkan jawaban sekasar itu pada suaminya. Biasanya paling-paling dia menjawab dengan dingin. Atau membungkam seharian.

"Ada apa, Mika?" tanya Devan sambil menutup note book-nya.

Dia langsung menghampiri istrinya di meja makan.

Mika segera menyadari kekeliruannya. Tidak pantas berkata sekasar itu pada suaminya.

"Maafkan aku, Mas," sahutnya dengan suara selunak biasa.

"Aku juga tidak pantas marah-marah begini di rumah." Devan tersenyum malu. "Kalau aku jengkel pada pekerjaanku itu, seharusnya aku marah-marah di rumah sakit. Bukan di meja makan."

"Mas terlalu letih."

"Pekerjaanku banyak, Mika."

"Pekerjaan kan tidak ada habis-habisnya, Mas. Tapi Mas perlu istirahat."

Devan memegang bahu istrinya dengan lemah lembut.

"Habis ini aku istirahat, Mika."

"Kapan?" Mika tersenyum. "Kalau rumah sakit itu bangkrut? Atau kalau manusia sudah tidak membutuhkan rumah lagi?"

"Akan kukurangi sedikit demi sedikit kegiatanku."

"Dulu, Mas janji begitu juga. Ternyata sekarang pun Mas malah lebih malam lagi pulang ke rumah."

"Kalau sedang bekerja, kadang-kadang aku lupa, Mika."

"Kalau sedang kesepian menunggu Mas pulang, kadang-kadang aku ingin memindahkan rumah ini ke kantor."

Mika mengharapkan Devan akan memeluknya. Dan membujuknya dengan janji yang muluk-muluk.

Dia tidak peduli janji itu bohong atau tidak. Pokoknya dia ingin dirayu. Dibujuk. Dimanjakan.

Entah kenapa hari ini dia ingin sekali dimanjakan oleh suaminya. Mungkinkah karena bayi dalam kandungannya.

Tetapi Devan tetap Devan yang Mika kenal.

***

Gwen POV

POLIO!

Ya Tuhan! Anakku polio?

Seperti petir kata-kata Om Adam itu menyambar telingaku. Tidak keras. Tidak keras memang. Malah pelan. Terlalu pelan. Hampir-hampir tidak terdengar. Tapi ketika mendiagnosis penyakit anakku, ketika memvonis Kasih, kata-katanya seperti ledakan halilintar di telingaku. Polio!

Sejenak aku tidak mampu berkata apa-apa. Sejenak otakku terasa kosong. Hanya suara sepotong kata itu yang selalu memantul kembali di otakku. Polio. Polio. Gemanya seakan-akan terasa sampai ke ujung jari kakiku.

Aku bukan dokter. Aku hanya seorang ibu yang malang. Ibu dari seorang anak perempuan kecil yang sedang lucu-lucunya yang harus kehilangan kelincahannya karena penyakit terkutuk itu! Polio. Bagi orang awam seperti aku, sama saja artinya dengan kelumpuhan. Seperti anak tetanggaku di Surabaya. Yang kakinya kecil sebelah itu. Yang timpang. Oh, aku tak pernah menertawakannya. Sungguh aku malah selalu menaruh belas kasihan padanya. Kenapa Tuhan, kenapa kini harus anakku sendiri?

Anakku hanya seorang. Satu-satunya. Kenapa harus anankku? Kenapa bukan orang lain, yang punya anak selusin.... ah, aku tidak boleh punya pikiran seperti itu! Aku tak berhak mencampuri kodrat yang telah digariskan Tuhan.

Lebih baik mengharapkan yang lain. Misalnya saja, barangkali Om Adam salah diagnosis. Bisa saja terjadi. Oh, mudah-mudahan demikian.

Ah, seandainya ada Mas Rangga disini.

Mas Rangga! Tidak sengaja air mataku menitik. Wanita memang selalu merasa lebih aman jika didampingi suaminya. Apalagi pada saat-saat seperti ini. Saat anaknya sakit. Tetapi Mas Rangga tidak mungkin kemari.

"Saya anjurkan supaya Kasih masuk rumah sakit saja," kata Om Adam lagi. "Tapi tentu saja kamu boleh berunding dulu dengan Rangga."

"Rangga sedang di Lombok, Om," kataku menahan tangis.

"Oh?"

Ada perubahan memang di paras itu. Tapi cuma sekeja[. "Kalau begitu, lebih baik Kasih istiharat di rumah sakit untuk sementara waktu."

"Po.... lio...." susah sekali rasanya menyebutkan kata itu dari celah-celah bibirku. "Om.... yakin...?"

Aku tak dapat lagi mengatur kata-kataku. Kutatap wajahnya dengan sejuta permohonan. Berharap semoga dia akan menggelengkan kepalanya.

Tapi dia tidak menggeleng. Tidak menumpuhkan harapan yang hampir mati di hatiku.

"Untuk sementara, saya rasa tak ada diagnosis yang lebih tepat dari polio. Karena itu, Kasih akan saya terapi dengan terapi polio. Tapi tentu saja selama itu dia akan saya awasi terus. Saya tidak menutup kemungkinan terhadap timbulnya gejala-gejala baru yang akan membawa kita ke diagnosa yang lain."

Jadi habislah sudah. Kasih kena polio. Dan dia harus masuk rumah sakit. Oh, alangkah tipisnya batas antara kebahagiaan dan penderitaan.

Sampai dua bulan yang lalu kami adalah pasangan yang paling bahagia. Keluarga yang paling harmonis. Walaupun Mas Rangga kadang-kadang harus pulang-balik dari Lombok ke Jakarta.

Aku sendiri sudah pasrah. Lama-lama jadi betah juga tinggal di rumah. Walaupun mula-mula aku hampir mati didera kesepian, walaupun sudah dua kali aku lari kembali ke Surabaya karena tidak tahan hidup terasing begini. Sekarang tidak lagi.

Tetapi sebulan yang lalu, musibah datang menimpa Mas Rangga. Dan selagi kemelut yang satu belum berlalu, datang lagi musibah berikutnya.

Kasih sakit. Kasih yang sehat. Kasih yang lincah. Kasih yang tak pernah menyusahkan. Jangankan sakit berat, pilek saja jarang.

Kalau soal makanan Kasih, Mas Rangga cerewetnya bukan main. Semua harus yang paling baik. Yang bergizi tinggi. Supaya pintar katanya. Supaya jadi juara kelas terus.

Aku masih ingat bagaimana cermatnya Mas Rangga mengatur jadwal Kasih minum susu. Kadang aku jadi jengkel sendiri.

Tengah malam pun ketika aku dan Kasih sedang enak-enak tidur, dibangunkannya semata-mata karena aku lupa memberi Kasih susu sebelum tidur.

Mula-mula dia cuma menggerak-gerakan ujung bibirnya di telinga. Walaupun merinding kegelian, aku tetap berpura-pura tidur. Berlagak tidak mendengar bisikannya.

"Bangun, Manis. Sudah jam sebelas."

Dan melihat senyum tertahan yang tersembul di bibirku. Mas Rangga tambah konyol lagi. Bibirnya menjalar makin jauh ke balik telingaku. Sementara jari-jemarinya meremas buah dadaku dengan lembut. Kalau sudah sampai di sana. Tak ampun lagi. Terpaksa aku bangun. Tak bisa berpura-pura tidur lagi.

Sambil menggelinjang bangun, melepaskan diri dari rangkulannya, kupukul tangannya. Tentu saja hanya pukulan sayang.

"AUW!" Biasanya Mas Rangga pura-pura menjerit.

"Sakit?" kutanya juga. Walau jawabannya sudah tahu. Konyol. Tapi tidak konyol untuk pasangan yang sedang dilanda cinta. Malah mesra. Bikin ketagihan saja.

"Sangat," sahutnya manja. "Lagi, ya.."

Matanya menatapku dengan penuh gairah. Ada gelepar-gelepar cinta yang membuat mata itu bersinar-sinar dalam kegelapan.

Kalau sudah begitu, biasanya aku tak tahan lagi. Kucium matanya. Ingin kuisap kenikmatan yang bersorot di mata itu. Kubiarkan kehangatan menjalar dari matanya ke bibirku. Dan hangatnya terasa sampai di dalam sini.

Lalu Mas Rangga akan mencumbuku sebentar. Tapi begitu kantukku hilang, ia akan menyerahkan Kasih ke dalam gendonganku.

"Ayah yang paling baik," katanya sambil tersenyum. "Anak dulu baru ayahnya."

To Be Continued