Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 158 - Flowers

Chapter 158 - Flowers

Lombok

Karina POV

Kabut masih ada meskipun mulai menipis saat aku menuju kebun tomat. Pekerja di sana sudah mulai memanen. Tomat sebaiknya dipanen di pagi atau sore hari untuk mengurangi proses respirasi. Untuk masa tanam yang sama, tomat tidak dipanen sekaligus. Butuh waktu tiga sampai lima hari untuk memanennya, karena buahnya tidak matang serentak.

Badeng-badeng tomat penuh dengan ajir yang berfungsi sebagai tempat merambat dan menopang batang tanaman, sehingga tidak rebah saat mulai berbuah. Kelihatannya hasil panen hari ini banyak, melihat warna oranye dan merah yang memenuhi perkebunan.

Lewat sudut mata aku mendapati Juan mendekat. Dia sepertinya memulai inspeksi di calon wilayan kekuasannya sejak pagi ini.

"Kelihatannya hasilnya banyak, ya?" katanya setelah berada di sampingku. "Selain tomat, apa lagi yang akan dipanen hari ini?"

"Mentimun, kangkung, bayam dan ada beberapa lagi."

"Kemarin aku lihat jambu di sana juga sudah banyak yang matang." Juan menunjuk perkebunan jambu. "Dipanen hari ini juga?" Dia terlihat antusias dengan perkebunan ini.

"Tidak dipanen sekarang. Jambu di bagian sana dibuka untuk wisata petik buah hari ini. Sisanya akan dipanen sore untuk dijual atau dijadikan jus." Aku menjelaskan seperti memberi tur kepada pengunjung.

"Kamu beneran kelihatan nyaman di sini, Rin. Kamu tidak seharusnya pergi hanya karena aku akan mengambil alih tempat ini."

Aku mengepalkan tangan sambil menatapnya. "Aku memang tidak akan pergi."

Juan balik menatapku. Matanya menyipit seolah ingin membaca pikiranku. Dia tidak akan bisa. Aku tidak akan membiarkannya.

"Itu keputusan bagus," responsnya kemudian. "Aku tidak mau merasa mengusirmu dari sini. Aku kekanakan dengan apa yang aku lakukan dulu. Itu tidak akan terjadi lagi."

Bukan kekanakan, tetapi keterlaluan. Bermain dengan perasaan orang sangat tidak manusiawi.

"Aku tidak mau bicara soal itu lagi. Kita sudah berpisah baik-baik dan aku sudah punya kehidupan baru. Tidak ada alasan untuk menghindari kamu lagi."

"Kalau menurut kamu perpisahan kita baik-baik, kamu seharusnya tidak ke sini, kan? Kamu sendiri yang bilang kalau bisa, kamu akan menghindari pertemuan denganku. Kalau mau marah, lampiaskan saja. Aku memang pantas menerimanya."

Aku tertawa getir. Dalam beberapa waktu, sudah ada dua orang yang memintaku melampiaskan kemarahan. Ini bukan hari yang terlalu buruk.

"Marah untuk masa lalu? Untuk apa? Aku sudah tidak di sana lagi." Aku memutuskan untuk kembali ke rumah. "Silahkan lihat-lihat tempat yang akan kamu beli ini. Kalau kamu punya ide untuk perbaikan, nanti sampaikan ke aku. Kalau kita tidak bertemu, kamu bisa e-mail. Nanti aku kirimkan alamatnya setelah itu."

Aku berbalik. Lebih baik jangan berinteraksi terlalu lama. Aku tidak suka berbohong.

***

Wardana's House

Satya POV

Setelah makan malam besar itu,aku langsung membuka komputer dan mencari semua informasi tentang Tante Hara. Terutama tentang masa lalunya, seperti tempat dia bersekolah. Ketika melihat nama sekolah Om Sultan sama dengan nama sekolah yang diberitahukan Mom, aku berpikir keras. Tante Hara dan Om Sultan pernah satu SMA walaupun hanya satu tahun. Aku mencari informasi lagi tentang SMA tersebut. Aku melihat halaman alumni SMA tersebut. Alumni lulusan dua puluh enam tahun yang lalu. Nama Tante Hara berada di kelas yang sama dengan nama Om Sultan.

Aku menarik napas panjang. Aku sudah menemukan benang merah hubungan Om Sultan dan Tante Hara. Tante Hara adalah wanita yang pernah disukai Om Sultan. Aku sekarang tahu segalanya. 

Kemungkinan besar Tante Hara sudah membuat Om Sultan patah hati. Itulah sebabnya Tante Hara selalu menatap mata Om Sultan dengan penuh kesedihan. Aku tidak akan tinggal diam membiarkan calon ibu mertuaku berlarut-larut dalam kesedihan. Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul satu dini hari.

Sudah terlalu malam untuk membangunkan tetangga samping kamarku. Aku akan membiarkan Om Sultan tidur nyaman malam ini. Tapi dalam beberapa jam berikutnya. Aku akan membuat Om Sultan tidak nyaman lagi.

***

Jakarta

Hara POV

Tidak sengaja aku menemukan catatan harianku ketika sedang membenahi barang-barang. Dan sejenak aku tertegun. Menatap buku lusuh yang sudah sepuluh tahun tidak pernah aku sentuh lagi.

Kalau hari ini aku tidak kebetulan bertemu dengan Devan di rumah sakit, mungkin aku tidak ingin membuka buku itu lagi. Buku harianku hanya tinggal menjadi inventaris di dalam kardus yang bertumpuk di gudang.

Tetapi itulah. Cinta pertama dan kenangan masa lalu yang seperti bayangan yang tertinggal jauh di belakang, tiba-tiba melihat kembali di depan mataku.

Aku menatap buku yang masih kupegang. Debu yang melekat di sampul sudah begitu tebal.

Ketika aku meniupnya, debu itu beterbangan seperti ingatan. Aku seperti diterbangkan kembali ke masa lalu.

Masa muda serasa kembali menjelang. Semua pengalaman pahit dan manis dari masa itu seperti terbayang kembali di depan mataku.

Begitu jelas. Begitu runtun. Seperti film yang berputar....

***

Flashback ON

Bandung

"Hara! Aku punya berita bagus!" teriak Ka Bayu sambil menghampiriku.

"Apa? Aku dinobatkan jadi perempuan berpenampilan terburuk dalam pesta perpisahan kita."

"Bukan! Bukan!"

"Lalu apa?"

Ka Bayu menyeringai nakal. Setan yang satu ini memang punya bakat jadi playboy. Seringainya sangat menggoda. Tapi aku membaca akal bulus dalam matanya.

"Sogok dulu!"

Nah, benar, kan? Ka Bayu memang licik!

"Dengan apa? Minuman ini bukan punyaku kok. Ambil saja yang mana yang kamu mau!"

"Bukan minuman."

"Habis apa?"

"Cium aku."

Aku membelalak pura-pura kesal.

"Itu namanya pemerasan!"

"Tapi tidak rugi, kan?"

"Mana aku tahu? Aku kan belum pernah dicium."

"Sama ayahmu juga belum?"

"Maksudku, sama buaya seperti kamu!"

"Oh, tidak usah khawatir, neng! Aku tidak menggigit!"

"Daripada dicium kamu, mendingan aku tidak usah dengar beritamu!" Dengan kasar aku mendorong tubuh Ka Bayu yang menghalangi langkahku. "Minggir!"

"Hara, jangan begitu dong!" Ka Bayu berusaha menangkap lenganku.

Karena aku mengelak, gelas hampir terlepas dari tanganku. Untung ada seseorang di dekatku yang dengan sigap menangkap gelas yang sedang melayang jatuh ke lantai itu.

"Terima kasih," dengusku sambil meraih gelas itu dari tangan penolongku.

Aku sudah hendak melangkah meninggalkan pemuda itu tanpa sempat melihat wajahnya ketika tiba-tiba pemuda itu menyapa dengan sopan.

"Boleh minta minum?"

"Minum apa?" sahutku segan.

"Harus minta minum apa supaya bisa mengobrol seperti dia?"

Sekarang aku menoleh. Dan tatapanku bertemu dengan tatapan yang sudah sangat aku kenal.

"Sultan!" sergahku tidak percaya. "Kamu atau hantumu?"

Pemuda itu tertawa geli.

"Aku belum mati," gumamnya sambil meraih tanganku dan menggenggamnya erat-erat. "Belum jadi hantu! Apa kabar, gadis manisku?"

Gadis manisku! Aduh. Dia masih menggunakan ungkapan itu.

"Sama siapa kamu kemari?"

"Sendiri. Kudengar dari Adam ada pesta perpisahan."

"Kenapa ke sini?"

"Masih nanya lagi! Jelas buat ketemu kamu!"

"Jangan bilang kamu pergi dari Jakarta untuk mencariku!"

"Kalau iya, memang kenapa? tidak percaya?"

"Kamu lupa satu hal."

"Apa?"

"Kamu tidak pernah bisa bohongin aku!"

Kami tertawa geli. Begitu riang. Begitu cerah. Seolah-olah bumi pun turut tertawa bersama kami.

"Kamu Sultan, mantan ketua Osis, kan?" sela Ka Bayu yang merasa tersisih.

"Matamu boleh juga," sahut Sultan sambil tersenyum tipis. "Tapi sorry, aku tidak kenal kamu."

"Permisi, kami ingin berduaan dulu," tanpa melupakan senyumnya, Sultan menggendengku pergi. Meninggalkan Ka Bayu melongo jengkel.

"Jangan jauh-jauh," protesku. "Aku lagi tugas!"

"Oke. Kita ngobrol di dekat sini saja."

"Bagaimana persiapan kuliahmu?"

"Kenapa lagi nanya kuliah!"

"Terus nanya apa lagi dong?"

"Nanya yang lain! Yang lebih seru!"

"Apa? Kamu sudah punya pacar belum?"

"Aku masih tetap setia sama kamu."

"Bohong! Katanya Namira cantik."

"Iya sih. Tapi aku masih tetap kembali ke pangkuanmu."

"Pasti ada alasannya. Orangtuamu rujuk kembali?"

"Apa hubungannya?"

"Kamu ikut ibumu ke Jakarta karena orangtuamu bercerai, kan?"

"Sekarang aku ikut ayahku di Bandung."

"Berapa tahun kontrakmu di sini?"

"Kontrak?"

"Katanya kamu akan ikut ibumu dua tahun di Jakarta. Berapa tahun kamu boleh ikut ayahmu di sini?"

Sultan tersenyum pahit.

"Kalau boleh memilih, lebih baik aku di sini selamanya. Di samping gadis manisku."

Tidak sadar aku tersenyum sendiri. Memang manis mengenang masa lalu. Apalagi kalau menyangkut masa remaja. Masa pacaran. Cinta pertama. Lelaki pujaan.

Tapi Sarah sentimen. Setiap kali aku terima surat, setiap kali aku mulai melamun, Sarah pasti memutar kasetnya keras-keras.

Dan lagu-lagu underground yang memekakkan telinga itu memang hanya cocok untuk membangunkan orang tidur. Tidak cocok untuk mengenang manisnya cinta pertama.

"Kecilin dikit dong kasetnya!" teriakku marah.

Terus terang aku sudah bosan teriak-teriak. Beberapa minggu belakangan ini, Sarah memang mengajak bertengkar terus. Tapi kalau aku tidak berteriak, bagaimana Sarah bisa mendengar suaraku?

Dan karena Sarah tidak mendengar juga suaraku, aku bangkit dari tempat tidurku. Menyambar radio kaset milik Sarah. Dan mengecilkan volumenya dengan gemas.

"Kenapa?" gerutu Sarah sengit. "Memangnya kamar ini punya nenekmu?"

"Punya siapa kek, asal telingaku belum budek, tidak perlu nyetel kaset begitu keras!"

To Be Continued