Wardana's House
Author POV
Hara turun dari mobil pribadinya di depan kediaman keluarga Wardana. Hari ini hari ulang tahun pernikahan orangtuanya Satya.
Hara masuk ke rumah itu,tempat Satya berjanji menunggunya. Hara melihat Satya. Tapi ia juga melihat Sultan bersamanya. Setelah berusaha mati-matian menghindari Sultan, ia malah bertemu lagi dengannya. Hara sudah mau pergi dari restoran, tapi Satya keburu melihatnya.
"Tante Hara!" Satya memanggilnya.
Sultan membalikkan badan dan melihat Hara. Dia tersenyum. Hara pasti tidak menyangka Satya sedang bersamanya. Seperti biasa, melihat Hara dapat meredakan rasa rindunya setelah kemarin tidak bertemu dengannya.
"Duduklah." Satya menunjuk tempat duduk di sampingnya.
"Aku baru saja berbicara dengan Om Sultan soal bisnis kerja sama. Kuharap kau tidak keberatan."
Hara duduk perlahan. "Tentu saja tidak."
"Aku sudah memesan kopi untuk kalian," kata Satya sambil melambaikan tangan pada salah seorang pelayan di depan mereka.
Sultan menatap Hara dengan tajam. Hara menghindari tatapan Sultan. Hara lupa bahwa Satya tidak tahu tentang ketidaksukaannya terhadap kopi. Setelah kejadian di rumah sakit enam tahun yang lalu ketika Satya membuatkan kopi untuknya.
Secangkir kopi tiba di depan Hara. Tangannya ragu untuk meraih cangkir tersebut. Ia tidak mungkin berterus terang pada Satya sekarang. Terutama di hadapan Sultan
"Tante, tidak meminum kopinya?" tanya Satya heran
Hara mencoba tersenyum. "Aku akan meminumnya kalau sudah lebih dingin."
Hp Satya berbunyi. Satya mengangkat teleponnya. Setelah meminta maaf pada Sultan dan Hara, dia keluar dari teras. Hara menunduk menatap kopinya.
"Calon menantumu tidak tahu kau tidak suka minum kopi," kata Sultan kemudian. "Kau berpura-pura tidak mengenalku. Apalagi yang kau sembunyikan?"
Hara menatap Sultan tajam. "Bukan urusanmu. Lagi pula, tidak penting apakah aku menyukai kopi atau tidak. Kalau orang yang anakku cintai memberikannya padaku, rasa menjadi tidak penting, bukankah begitu?"
Sultan tidak menjawab.
Hara mengangkat jemarinya dan mencoba menyentuh pegangan cangkirnya perlahan-lahan. Saat tangannya sudah hampir menyentuh cangkir, sebuah tangan lain sudah mengambilnya dari tangan Hara.
Hara melihat Sultan meminum kopi yang ada di cangkirnya. Lalu setelah selesai. Sultanmengembalikan cangkir tersebut ke depan Hara.
Dari belakang, Satya memperhatikan hal itu dengan bingung. Kenapa Tante Hara membiarkan Om Sultan meminum kopinya? Keheranannya makin menjadi-jadi ketika dia menutup teleponnya dan kembali ke kursinya. "Tante sudah meminum habis kopimu?" tanya Satya,memancing jawaban Hara. "Aku pesan satu cangkir lagi,ya?"
"Tidak usah," jawab Hara cepat. "Aku tidak haus lagi."
Jawaban Hara semakin membuat Satya kebingungan. Perlahan-lahan, tanpa sepengetahuan keduanya, dia menatap Sultan,lalu kembali ke Hara. Satya melihat Sultan menatap Hara dengan tatapan penuh kesedihan. Kenapa Om Sultan menatap Tante Hara seperti itu? tanya Satya dalam hati.
Tante Hara juga seakan menghindari tatapan Sultan. Aneh. Padahal mereka baru bertemu beberapa kali. Atau...
"Om," kata Satya mengalihkan perhatian, "Kamu tidak pernah bercerita padaku bagaimana kau bisa menerima beasiswa di Hamburg?"
Sultan melepaskan tatapannya dari Hara dan menatap Satya, senyumnya mengembang perlahan.
"Seorang gadis menunggu berjam-jam untuk menyerahkan hasil risetku pada Kantor Kedutaan Jerman."
"Oh, benarkah?" Satya terlihat tertarik dengan cerita Sultan. "Dia pasti gadis yang istimewa."
Sultan menatap Hara. "Ya. Dia memang gadis yang istimewa." Hara mendongak perlahan dan balas menatap Sultan. "Cerita yang menarik." Ia memutuskan untuk memainkan peran pura-puranya. "Mungkin suatu hari nanti aku bisa bertemu denganya."
Sultan tertawa pendek. "Aku yakin kau bisa bertemu dengannya."
Telepon Satya berbunyi. Anika sudah sampai di depan kediaman rumah keluarga Wardana. Hara menarik napas lega. Ia tidak tahu harus berapa lama lagi berpura-pura tidak mengenal Sultan.
"Anika sudah ada di depan," kata Satya pada Hara. "Maaf,kami harus pergi dulu. Lain kali kita ngobrol lagi."
Sultan ikut berdiri mengantar kepergian Hara dan Satya.
Satya berbalik dan pergi ke lapangan tenis yang berada di belakang rumah. Tampaknya makin hari Hara makin pandai menyembunyikan perasaanya. Sultan mengganti bajunya dan mengambil raket tenisnya. Selama satu jam berikutnya dia tak henti-hentinya memukul bola tenis yang keluar dari mesin pelempar.
Napasnya terengah-engah. Tubuhnya penuh keringat.
Dia kini menyadari bahwa dia tidak hanya menyukai Hara, tapi juga mencintainya.
Sultan memukul bola terakhir yang keluar dari mesin dengan sekuat tenaga. Saatnya berpura-pura sudah berakhir. Sultan mengambil handuknya lalu berjalan keluar dari lapangan tenis rumahnya.
***
Satya memperhatikan keluarganya makan bersama dengan perasaan bahagia. Dia ingin tinggal dalam perasaan ini selamanya. Melihat Daddy dan Mommy tertawa gembira bersama Tante Hara. Melihat Anika tersenyum karena salah satu lelucon yang di ceritakan Daddy. Tapi ada satu masalah yang
mengganjal hatinya. Om Sultan. Satya punya perasaan kuat bahwa Om Sultan sudah mengenal Tante Hara sebelum dirinya. Satya semakin curiga ketika Tante Hara membiarkan Om Sultan meminum kopi dari cangkirnya. Dan Tante Hara tidak memberitahukan hal tersebut padanya.
Ketika Tante Hara sedang ke toilet, Satya mendekati Mommy yang berada di dapur mencuci piring.
"Mom tidak perlu mencuci piring. Biarkan saja salah satu pembantu yang melakukannya," ujar Satya.
Mommy tertawa pada Satya. "Sepertinya Mom tidak bisa menghentikan kebiasaan lama. Mom sudah terbiasa melakukannya. Rasanya aneh kalau orang lain yang mengerjakannya. Lagi pula Mom senang mengerjakan hal ini. Mencuci piring keluarga sehabis makan. Rasanya menyenangkan."
Satya tersenyum. "Biar kubantu." Satya mengambil lap dan mulai mengeringkan piring dan gelas
yang sudah dicuci.
"Mom, bolehkah aku bertanya tentang Om Sultan?" tanya Satya.
Mommy mematikan keran air. Tugas mencuci piringnya sudah selesai. "Tentu saja."
"Apakah Om Sultan pernah menyukai seseorang selama ini?" tanya Satya langsung.
Mommy mengerutkan kening. "Mengapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?"
Satya menutupi rasa penasarannya dengan senyuman. "Habis, aku tidak pernah melihat Om Sultanberpacaran. Jadi aku ingin tahu, apakah dia pernah menyukai seseorang sebelumnya?"
Mommy tersenyum mendengar pertanyaan Satya. "Sultan terlalu memfokuskan hidupnya pada dunia bisnisnya. Tapi... Sultan pernah menyukai seseorang,dulu sekali sewaktu masih sekolah, begitu kata ayahmu."
Satya sudah menduganya. "Apakah Mom tahu nama orang itu?" Penyelidikannya tentang masa lalu Om Sultan sedikit demi sedikit mendapat titik terang.
Mommy menggeleng. "Mom tidak tahu namanya. Ayahmu dan Sultan tidak pernah memberitahu. Dia menyukai orang itu tapi orang tersebut sudah punya pacar. Jadi rasa suka Sultan bertepuk sebelah tangan."
"Om Sultan patah hati,bukan?" Satya sudah bisa menebak dengan benar sekarang.
Mommy mengangguk. "Iya. Dia terus-menerus mengejar orang itu. Bahkan berusaha masuk kelas
yang sama dengannya. Dia bilang tidak masalah baginya kalau orang itu tidak menjadi pacarnya.
Tapi dia ingin menjadi temannya dan mengenalnya. Suatu hari, Sultan menangis berjam-jam. Dia bilang dia sudah kehilangan orang itu. Mommy tidak pernah melihatnya sesedih itu. Sultan pasti
benar-benar menyukai orang tersebut."
"Om Sultan tidak pernah bertemu dengan orang itu lagi sesudahnya?" tanya Satya.
"Mommy tidak tahu," ungkap Mom jujur. "Kami pindah Bandung ke Jakarta sesudah Sultan lulus ujian akhir dan dia langsung ke Hamburg."
Satya mengerti sekarang. "Mom, apakah Mom ingat tempat sekolah Om Sultan dulu?"
Mommy mengangguk dan memberitahukan nama SMA Sultan. Satya mengingatnya dalam hati.
***
Hara POV
Aku tidak seharusnya berada di sini, pikirku resah ketika aku sedang melangkah di kediaman rumah Wardana. Tempatku di samping anak-anakku. Aku tidak boleh meninggalkan mereka, apapun yang terjadi.
Tapi bagaimana mengentikan darah yang masih meleleh di hatiku? Bagaimana mengusir rasa ini, setiap kali memandang wajah Sultan.
Aku perlu waktu untuk menenangkan diriku. Perlu waktu untuk mencerna segalanya. Perlu waktu untuk introspeksi.
Aku menarik napas panjang. Dadaku terasa pengap meskipun cuaca demikian bersahabat.
Deretan dessert eksklusif di sepanjang teras yang aku lewati juga tidak mampu memancing keinginanku untuk mencicip. Bahkan berhenti untuk sekedar mencuci matapun rasa enggan.
Sepasang suami-istri yang sepertinya anggota keluarga Wardana sedang mencicipi dessert di teras pun tidak mampu memancing keinginanku untuk singgah. Padahal makanan itu tampaknya begitu lezat. Keju yang meleleh menyelaputi roti di ujung garpu mereka demikian memancing selera.
Biasanya aku pasti tidak mampu mengekang seleraku. Bukankah karena itu juga berat badanku naik dalam enam tahun terakhir ini?
Apalagi santapan itu tampak lezat. Dan perutku sejak kemarin belum terisi.
Tetapi hari ini jangankan tergiur untuk mencicipi dessert. Makan sepotong hamburger di kedai cepat saji pun rasanya tak berselera. Bahkan french fries, yang aromanya biasanya begitu memancing selera, sama sekali tidak menitikkan liurku.
Rasanya aku sudah ingin cepat-cepat saja sampai di rumah. Mandi. Menukar baju dan tidur. Kalau benar akuk bisa memicingka mata. Karena akhir-akhir ini, tidur yang biasanya begitu bersahabat pun rasanya sulit sekali di gapai.
Rumah kami tidak terletak di pinggir jalan. Agak masuk sedikit kira-kira sepuluh meter. Tetapi sejak dulu aku menyukai rumah yang satu ini. Desainnya yang country style, perabotannya yang antik, dan ruangannya yang ditata ala rumah tradisional Swiss, seperti aroma terapi yang diharapkan mampu meniupkan ketenangan ke dalam diriku.
Ketika membuka pintu kamar dan menemukan sebuah ranjang mungil yang diselebungi seprai berwarna merah muda, aku menemukan alasan lain mengapa aku menyukai nuansa rumah ini.
To Be Continued