Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 155 - Alasan

Chapter 155 - Alasan

Lombok

Karina POV

Saat sudah berada di dalam kamar, aku mengambil sehelai kertaas dan pulpen. Aku harus membuat daftar alasan kenapa aku harus meninggalkan, atau malah bertahan di tempat ini. Bukan saatnya lagi aku membuat keputusan berdasarkan banyak hal di masa lalu karena memutuskan sesuatu tanpa berpikir panjang. Aku tidak ingin mengulangnya lagi.

Jadi, alasan aku harus meninggalkan tempat ini adalah:

1. Untuk menghindari sakit hati dari pertemuan dengan Juan kelak, karena itu akan terjadi kalau aku tetap di sini.

2. Memudahkan aku memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu.

Alasan aku tetap bertahan di sini adalah:

1. Aku suka tempat ini. Seperti kata Rangga, tempat ini seperti anak yang kulahirkan sendiri. Tidak ada ibu yang suka meninggalkan anaknya.

2. Pindah kerja berarti memulai semuanya dari awal lagi. Butuh waktu untuk penyesuaian.

3. Bekerja di tempat Ka Rangga yang lain tidak otomatis aku akan terbebas dari kemungkinan bertemu Juan. Dan aku tidak berpikir untuk melarikan diri ke tempat lain lagi. Masa laluku menyesakkan, tetapi bukan berarti aku akan menggunakan seluruh masa kini dan masa depanku untuk bersembunyi.

4. Aku punya Mbak Nia di sini. Aku datang ke sini karena dia. Pergi dari Jakarta hanya untuk menghindari Juan jelas bukan keputusan cerdas. Aku sudah kehilangan dia, Masa sekarang aku harus pergi dari Mbak Nia juga karena Juan?

Aku memandangi daftar itu lama sebelum akhirnya masuk dalam selimut. Saat meninggalkan Jakarta enam tahun lalu, aku tidak pernah berpikir akan menghadapi dilema seperti ini. Waktu itu aku mengira pergi berarti menutup bagian dari hidupku yang melibatkan Juan dan keluarganya. Karena itulah aku bahkan mengganti nomor telepon supaya orangtuanya tidak bisa menghubungiku, padahal mereka sudah begitu baik kepadaku.

Kalau mau jujur, memutuskan hubungan dengan orangtua Juan membuatku tidak kalah jahatnya dari lelaki itu sendiri. Mereka yang lebih dulu hadir dalam hidupku sebelum Juan. Kalau bukan karena ibunya, entah bagaimana aku bisa menyelesaikan kuliah. Aku tahu mereka pasti mengerti keputusanku, tetapi rasanya aku tetap saja seperti orang yang tidak tahu berterima kasih.

Aku tidak bisa memejamkan mata meskipun sudah berulang kali berganti posisi. Aku menyerah dan meraih ponsel untuk menghubungi Mbak Nia. Semoga saja dia belum belum tidur.

"Hai," sapa Mbak Nia begitu mengangkat teleponku. "Mas Rangga sudah cerita. Aku minta maaf atas sikap brengseknya karena minta kamu tinggal di Lombok hanya untuk memuluskan deal dengan Juan. Sekarang aku malah tidak tahu siapa yang lebih brengsek dari mereka berdua. Aku tidak langsung menghubungi kamu karena aku pikir kamu butuh waktu untuk mengendapkan kemarahan sebelum menghubungiku. Kalau mau marah sekarang, aku akan dengarkan."

Aku mengerti apa yang dipikirkan otak pengusaha Ka Rangga. "Aku tidak marah, Mbak." Ka Rangga pasti sudah dibantai Mbak Nia, jadi aku tidak perlu membuat hubungan mereka semakin memburuk. "Aku hanya bingung."

"Bingung soal apa? Tidak usah bingung. Mas Rangga bisa cari investor lain. Dia tidak akan menjual tempat itu sama Juan. Aku akan memastikannya." Mbak Nia terdengar masih emosional. Responsnya lebih buruk daripada aku saat mendengar berita ini. Mau tidak mau, aku jadi kasihan kepada Ka Rangga.

"Jangan seperti itu. Mendapatkan investor itu tidak mudah. Apalagi usaha yang mau Ka Rangga bangun itu perlu biaya yang luar biasa besar. Aku tidak masalah kalau Ka Rangga melepas tempat ini pada Juan. Jangan menyalahkan dia. Aku tidak mau kalian ribut gara-gara aku."

Desahan Mbak Nia terdengar jelas. Aku tahu dia paham dengan apa yang aku katakan. "Tapi, Dek..."

"Pengusaha itu tidak akan berhasil kalau mengandalkan perasaan untuk memutuskan sesuatu. Kamu hidup nyaman seperti sekarang karena insting bisnis Ka Rangga yang luar biasa."

"Aku tahu."

"Ya sudah, jangan marah-marah lagi sama Ka Rangga."

"Kalau begitu, kemasi barang-barang kamu dan datang ke Jakarta sekarang!"

Aku tidak bisa menahan senyum. Mbak Nia memang lebih blakblakan daripada aku. "Ka Rangga tidak akan mendapatkan investasi itu kalau aku pergi dari Lombok."

"Kamu tidak harus bertahan di situ untuk Mas Rangga. Kamu tidak berhutang apa-apa sama dia!"

Aku mengembuskan napas. "Kalau aku pergi, aku mau ke mana, Mbak? Aku ke sini karena kamu." Aku mengatakan apa yang ada di dalam daftar yang aku tulis tadi secara lisan. "Aku tidak mau menjadi orang yang kalah kalau memutuskan pergi."

"Mas Rangga benar-benar tidak akan melepas tempat itu." Suara Mbak Nia terdengar pecah. Selain blakblakan, dia juga lebih cengeng.

"Biar saja. Ka Rangga benar, meskipun Juan mengambil alih tempat ini, dia tidak akan sering-sering ke sini. Dia mungkin langsung lupa kalau sudah membeli tempat ini. Dia dulu pernah membeli lahan yang bagus di Bali. Katanya mau dijadikan tempat liburan, tapi dia tidak pernah kembali ke sana lagi."

"Aku tidak terlalu yakin." Mbak Nia kembali mendesah. "Menurutmu, dia sudah tahu kamu ada di Lombok sehingga dia memutuskan minta menginap di situ?"

"Ini kebetulan. "Aku mencoba menggeleng, meskipun tahu Mbak Nia tidak akan melihat. "Lagian, untuk apa dia mencari tahu dan menemuiku? Urusan kami sudah selesai dulu."

"Kamu benar tidak mau terima usul Mas Rangga, Dek." Mbak Nia kembali ke masalah kesepakatan itu.

"Beneran tidak apa-apa." Aku mencoba menenangkannya. "Aku suka di sini. Aku baru sadar kalau ternyata aku lebih menikmati bekerja di alam terbuka seperti ini daripada terkurung di dalam kantor. Di sini faktor stressnya lebih kecil. Kalau pusing, tinggal jalan-jalan ke kebun dan lihat tanaman yang siap panen."

"Tapi Juan akan jadi bos kamu, Dek. Dan kamu masih mencintai dia! Kamu harus memikirkan perasaan kamu sendiri. Bagaimana mau move on kalau begitu?"

Mbak Nia seharusnya tidak perlu mengucapkan kalimat itu keras-keras. Aku juga tahu itu. "Aku sedang berusaha melupakannya. Aku berpikir akan memberi Juna kesempatan."

"Arjuna baik." Embusan napas panjang Mbak Nia terdengar lagi. "Tapi kamu tidak bisa memulai sama dia kalau belum selesai dengan Juan."

"Tidak akan sulit mencintai Juna." Aku tidak yakin, tetapi tidak ada salahnya berharap, kan?

"Kamu dulu juga bilang tidak akan sulit melupakan Juan. Lihat keadaannya sekarang!"

Aku tertawa getir. "Aku sebenarnya mengharap support kamu, Mbak, bukan penghakiman seperti ini."

"Maaf, Dek."

"Tidak apa-apa, Mbak. Aku bercanda. Sudah malam. Aku tutup, ya. Lusa aku ke Jakarta. Kita lanjutkan bicaranya nanti."

To Be Continued