Jakarta
Dara POV
Sekali lagi aku memandang ke dalam cermin.
Ah, sebenarnya aku tidak suka lama-lama menatap wajah itu. Tidak enak. Tidak ada yang menarik di sana.
Dan teriakan Chacha membuyarkan lamunanku.
"Ayo, Dar! Cepat!" teriakannya sudah menggelegar sebelum kepalanya muncul di ambang pintu kamar jaga mereka. "Pasiennya sudah mati dua kali, kamu belum siap juga?"
"Aku pakai sepatu sebentar," sahutku sambil bergegas meraih sepatuku.
Tetapi Chacha sudah lenyap. Dia memang tidak pernah sabar menungguku.
Aku sudah mencapai ambang pintu ketika tiba-tiba aku ingat stetoskop. Dokter ketinggalan sretoskop seperti koboi ketinggalan pistol.
Jadi cepat-cepat aku berbalik untuk mengambil stetoskop. Tapi celaka! Di mana benda kramat itu?
Dan suara Chacha telah meledak lagi. Cukup untuk mengusir sekawan nyamuk yang sudah berpesta pora semalaman di kamar jaga.
"Dara! Kamu masih hidup?"
"Separuh!" Aku balas berteriak. Dan mataku bertemu dengan benda kramat itu. Bersembunyi di balik kursi.
Lekas-lekas aku meraihnya dan berlari keluar menyusul Chacha.
"Selamat pagi, Dokter," sapa seorang keluarga pasien yang belum bisa membedakan koasisten dari dokter.
Aku membalasnya dengan sepotong senyum. Tetapi Chacha menoleh pun tidak. Dia tidak pernah sempat menoleh kepada keluarga pasien. Kecuali kalau sedang ujian.
"Ingat, Dar, sepatumu parkir di luar!"
"Mulutmu juga!"sahutku jengkel.
Aku sudah bosan digurui terus. Tidak peduli di mana, Chacha selalu mengguruinya. Dan aku sudah jemu diberitahu terus. Memangnya aku anak kecil?
"Selamat pagi," sapa Suster Nanda begitu kami sampai di dalam kamar operasi. "Sudah siap?"
"Siap apa, Sus?"
"Latihan membuka mata lebar-lebar dan menutup telinga rapat-rapat." Suster Nanda tersenyum kecut.
Seperti para koasisten juga, aku dan para perawat ruang operasi harus sudah siap mental kalau mendampingi Dokter Adam (ayahku) operasi.
"Pasiennya sudah sampai, Sus?" tanyaku sambil membalas senyum Suster Nanda.
"Sudah."
"Dokter Adam sudah dihubungi?"
"Sedang dalam perjalanan. Siap-siap saja menerima ucapan selamat paginya. Mudah-mudahan kopinya tidak terlalu pahit!"
"Dar, cepat pakai seragam ruang angkasamu!" seru Chacha dari pintu kamar ganti. "Hari ini kan giliranmu asistensi!"
"Giliranku?" belalakku sengit.
Oh, kutu ini memang satwa paling egois di bumi! Kalau giliran asistensi Dokter Adam, dilemparkan pasiennya kepada orang lain! Ada-ada saja alasannya. Dia tahu, ,menjadi asisten Dokter Adam, sama saja dengan menyerahkan diri untuk dibakar hidup-hidup.
"Tapi pasien ini pasienmu, Cha! Kamu yang terima dia tadi malam!"
"Oh, dia pasien arisan, Dar! Aku yang bikin statusnya. Kamu yang buat laporan operasinya! Adil, kan?"
"Curang! geramku gemas. "Aku sudah dua kali jadi asisten Dokter Adam!"
"Hey, jangan lupa, aku juga sudah tiga kali asistensi operasi!"
"Tapi jadi asisten Dokter Mirna kan beda!"
"Pasti lagi ribut siapa yang asistensi hari ini," tersenyum Dokter Devan yang tahu-tahu sudah muncul di belakang kami.
Tetapi Dokter Devan pun tidak mampu memancing senyumku.
Jadi asisten Daddy! Duh, seandainya Dokter Devan melamarku sekalipun pasti tidak akan terdengar!
Aku sudah dua kali menjadi asisten Daddy. Semua pekerjaanku pasti salah. Dari mulai memasang duk sampai menjahit, aku pasti dimarahi habis-habisan di kantornya dan di rumah.
***
Author POV
"Kapan haid terakhirnya?"
"Lupa, Dok..." Datanglah, sang maut. Ambil nyawaku.
"Wanita ini hamil berapa minggu?"
"Tiga puluh delapan minggu, Dok," sahut Dara menahan tangis. Matanya panas. Mukanya juga.
"Kapan kira-kira taksiran partusnya?"
"Dua minggu lagi, Dok."
"Ada rumus untuk mencari haid terakhirnya?"
"Ada, Dok..."
"Nah, apa susahnya?" belalak Dokter Adam sambil melangkah ke sisi pasiennya. "Itulah kalau cara menghafalmu masih seperti anak SD! Ayo, cepat pasang duknya! Tunggu apa lagi? Kamu mau asistensi atau bertapa di situ?"
Bergegas Dara menyambar kain steril yang masih terlipat rapi di atas meja instrumen.
Babak pertama telah lewat. Tapi baru babak pemanasan. Sekarang datang babak pembantaian. Kalau ada neraka, inilah nerakanya.
"Dep darahnya!" bentak Dokter Adam gemas. "Kamu di sini mau asistensi atau hanya mau nampang?"
Percuma Dara berusaha sebaik apa pun. Karena mulut Dokter Adam tidak henti-hentinya mengomel selama tangannya bekerja. Seolah-olah gerutuannya malah menenangkan dirinya seperti musik yang mengalun.
Ruang operasi itu baru tenang kembali setelah Dokter Adam pergi. Damai menyelubungi semua manusia di bumi setelah Daddy menyingkir. Semua boleh menarik napas lega. Kecuali Dara.
Dia sedang mencuci tangannya ketika Dokter Devan menghampirinya dari belakang.
"Makan, Dar," ajaknya ramah. "Ke kantin yuk."
Tapi Dara diam saja. Dia tidak menjawab. Bahkan tidak mengangkat kepalanya. Ketika Dokter Devan melangkah ke sampingnya, dia baru sadar, Dara sedang mencuci tangan sambil menahan tangis. Kepalanya tertunduk dalam. Seolah-olah hendak menyembunyikan air yang menggenangi matanya.
"Semua koas pernah dimarahi ayahmu, Dar," katanya terenyuh. "Cuek ajalah."
Dara tidak menyahut. Dia mematikan keran air. Memutar tubuh. Dan melangkah tanpa menoleh lagi ke kamar ganti.
Lama Dokter Devan masih mengawasinya dari belakang. Dara yang lembut. Dara yang rapuh. Dia sudah menangis pada saat koas lain masih bisa tertawa sumbang.
Ah, entah sudah berapa lama Dokter Devan menaruh perhatian kepada gadis itu. Barangkali sejak enam tahun yang lalu. Ketika untuk pertama kalinya dia menyadari, betapa miripnya Dara dengan istrinya.
***
Lombok
Author POV
Gwen menarik napas jengkel. Pemandangan yang itu-itu saja. Yang setiap hari dilihatnya. Yang membuatnya bukan hanya kesal. Lama-lama malah muak.
Suaminya sedang berdiri di depan cermin di kamarnya. Hanya mengenakan celana renang.
Rangga sedang mempertontonkan otot-otot yang bersembulan di tubuhnya. Dia berlatih. Bergaya. Sekaligus mengagumi dirinya.
Dia tengah memperagakan otot biseps-nya ketika tiba-tiba Kasih, menyelinap dari balik tubuh ibunya. Dan dia memekik jijik.
"Papa! Kenapa pagi-pagi begini sudah telanjang?!"
Tentu saja Rangga masih mengenakan penutup kutub selatan tubuhnya. Tetapi bagi seorang anak perempuan sekritis Kasih, memakai celana renang bukan di kolam renang sama saja seperti telanjang.
Rangga tidak menggubris komentar anaknya. Tidak mengacuhkan istrinya yang sudah memalingkan muka karena tidak tahan melihat ulahnya. Dia melanjutkan aksinya. Memamerkan otot triseps-nya dengan gaya seperti di atas panggung binaragawan terbaik versi Mister Olympia.
Wah, makin lama gayanya memang makin mirip binaragawan profesional. Otot-ototnya juga semakin mengangumkan.
Bukan main, desis Rangga dalam hati. Makin lama aku makin macho saja!
Besok dia harus berlatih lebih keras lagi. Umur tidak boleh mereduksi massa ototnya. Tidak boleh membuat ototnya hipotrofis. Dia harus tetap tampil sejantan ini! Saat ini dan selamanya!
To Be Continued