Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 141 - Sekali Lagi

Chapter 141 - Sekali Lagi

Jakarta

Rangga POV

Aku berlutut di sebuah makam, sedangkan Nenek memeluk Kasih yang masih tertidur nyenyak. Aku menyentuh nisan yang ada disana, membelainya lembut.

Aku sejak tadi tidak bersuara, hanya airmata terus turun begitu saja. Aku membelai nisan itu dengan jemari, menyusuri satu persatu huruf yang tertera disana.

Seakan dadaku di belah dan jantungku direbut secara paksa. Aku tidak mampu menjabarkan perasaan sakit yang aku rasakan saat ini. Rasa kehilangan yang teramat sangat. Juga rasa bersalah.

Seharusnya aku bisa melindungi keluargaku. Melindungi anakku, melindungi istriku.

Tapi istriku berjuang seorang diri, berjuang mempertahankan anak kami seorang diri tanpa bantuan dariku. Istriku menangis seorang diri tanpa aku di sampingnya.

Apa Gwen akan memaafkanku kali ini?

Apa Gwen akan memberiku satu kesempatan lagi?

Aku berjanji akan berjuang lebih keras untuk membahagiakan keluargaku. Gwen harus memberiku satu lagi kesempatan untuk melihat bagaimana usahaku untuk membesarkan putri kami.

Gwen seharusnya ada di sampingku dan melihat semua ini. Kali ini aku akan berjuang seumur hidupku untuk menjaga kalian.

Sebuah tangan menyentuh bahuku, aku menoleh kepada Nenek yang tersenyum lembut.

"Jangan pernah salahkan dirimu sendiri. Gwen tidak akan menyukainya."

Aku hanya diam. Ini semua memang salahku. Sejak awal ini semua adalah kesalahanku.

"Kehamilannya memang berat saat itu, tapi sekarang Gwen sudah baik-baik saja. Tidak ada yang disesalinya lagi."

Aku menarik napas yang terasa mencekik. Seperti sebuah film yang diputar, semua kenangan itu perlahan membanjiri benakku. Saat aku bersikap kasar kepada Gwen, saat aku melecehkannya, saat aku berjuang untuk mendapatkan maaf dari Gwen, dan saat aku mengatakan perasaanku kepada Gwen.

Semua seperti sebuah video yang berputar cepat.

"Mari kita pergi. Sebentar lagi hujan. Kasih juga mulai gelisah dalam tidurnya."

Aku mengangguk. Menatap makam itu sekali lagi sebelum bangkit berdiri.

"Maaf." Bisikku pelan, lalu mengikuti langkah Nenek Asri menuju mobil yang menunggu diluar pemakaman.

***

Flashback On

5 Years Ago

Karina POV

"Aku ingin menunda pernikahan kita."

Aku membisu mendengar nada bicara lirih dari Juan. Teras belakang rumah itu langsung berubah senyap. Sementara itu dalam kepalaku begitu riuh, ada berbagai pertanyaan yang ingin sekali aku lontarkan. Entah mengapa semua pertanyaan itu lebur di tenggorokan.

"A-aku rasa aku masih butuh waktu untuk memikirkan semuanya," tambah Juan lagi. Suaranya terdengar serak dan pilu.

"Juan..." panggilku pelan.

"Aku akan menikah denganmu, tapi beri aku waktu lagi. Aku ingin sempurna untukmu, Sayang," katanya dalam satu tarikan napas.

Sempurna untukmu?

Pandangan matanya beralih kepadaku. Sisi wajah yang selalu kubelai selama ini terasa begitu asing. Ada kepahitan yang aku temukan dari rona wajah itu, seakan-akan Juan mengatakan semua itu dengan terpaksa. Aku menghela napas berat. Digesernya kursi yang didudukinya hingga posisinya berhadapan denganku.

Tanganku yang terkulai di atas pankuan, Juan meraih dan mendekapku erat. "Kamu... sudah lebih dari cukup. Bersamamu itu yang aku inginkan. Kebersamaan tanpa jarak." ucapku

"Aku butuh jarak." Juan berkata lugas.

Aku tersentak. Jari-jemariku otomatis mengenggam tangannya makin kencang. Tatapanku yang tertancap pada Juan menyorotkan permintaan penjelasan darinya. Namun dia seolah tidak terganggu dengan ekspresi kagetku. Kedua matanya tetap menatap ke titik lain, namun pikirannya entah menerawang ke mana.

"Kamu meminta? Jarak yang kita punya sudah berlebihan menurutku. Sekarang kamu meminta untuk menambah lagi?" tanyaku bergetar.

"Kita bisa bertahan satu tahun. Aku hanya minta sebentar." Juan balas memadangku. Ada senyuman menghiasi wajahnya. "Karina, hatiku tidak akan ke manapun, kamu menggenggamnya untukku."

Flashback Off

***

Itu adalah pelajaran berharga yang tidak mungkin aku lupakan seumur hidup. Antusiasme bisa menghilangkan kewaspadaan. Aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama.

"Karina..." Lelaki itu mendekat ke hadapanku.

Selama beberapa saat, mataku memejam. Aku harus profesional. Meskipun lelaki ini adalah adiknya Ka Rangga, aku hanya pegawai disini. Aku tidak boleh mengecewakan Ka Rangga.

"Vila anda sudah disiapkan." Aku menoleh pada pegawai yang berdiri di belakangku. "Bawa tas tamu Pak Rangga ke dalam."

Wajah dan sikapku terlihat formal. Aku tahu dan sudah terbiasa memasang ekspresi seperti itu. Syukurlah, aku belum lupa karena semenjak mengelola tempat ini, aku lebih banyak tersenyum dan terlihat ramah. Di Jakarta dulu, aku lebih banyak berurusan dengan pegawai yang butuh ketegasan, sementara di sini, aku berpapasan dengan pengunjung di mana-mana. Tidak mungkin memakai strategi yang sama untuk dua jenis pekerjaan yang jauh berbeda.

"Karina, ki...."

"Anda bisa makan malam di restoran," potongku segera. "Tapi kalau mau makanannya diantarkan ke kamar, silahkan menghubungi resepsionis. Kami akan berusaha membuat anda merasa nyaman berada di sini. Silahkan beristirahat." Aku mengulas senyum, kemudian berbalik.

Syukurlah, dia tidak memanggil atau berusaha mengajakku bicara lagi. Mungkin dia juga sama terkejutnya denganku. Rasanya aku belum pernah membenci kebetulan seperti saat ini.

Begitu masuk kamar, aku langsung menghubungi Mbak Nia. Aku harus memastikan kalau ini bukan bagian dari rencananya juga.

"Kamu tahu siapa tahu Ka Rangga yang menginap di sini?" Aku menembak tanpa basa-basi.

"Tamu Rangga yang menginap di situ?" Mbak Nia malah mengulang pertanyaanku. Artinya, dia juga memang tidak tahu.

Aku hanya bisa mendesah. "Aku pikir Lombok sudah cukup jauh dari Jakarta. Seharusnya bertemu dia di sini itu kemungkinannya kecil, kan?" kalimatku mungkin akan susah ditangkap Mbak Nia tanpa penjelasan lebih dulu, tetapi aku harus mengeluarkan uneg-uneg.

"Dia siapa?" Mbak Nia diam sesaat sebelum berseru. "Astaga!"

Ya, astaga. Itu juga yang ada dalam pikiranku tadi. "Aku tidak suka bertemu dia."

"Aku tahu. Kalau suka, kamu tidak akan ada di sana. Kamu masih di Jakarta. Jadi, kalian sudah bicara apa saja?"

"Kamu pikir aku mau bicara?" Nadaku spontan naik. "Apa yang harus dibicarakan dengan playboy seperti dia? Setelah kejadian dulu, aku tidak akan bisa membedakan apa dia bicara jujur atau sedang berbohong. Aku belum pernah bertemu tukang tipu dan plinplan selihai dia!"

"Kamu tidak harus bertemu dia selama dia di situ, kan?" Mbak Nia ikut mendesah.

Memang tidak ada niatan sedikit pun aku bertemu dengannya. Semoga saja dia juga merasa seperti itu, sehingga memutuskan mempersingkat kunjungannya.

Ponselku berdering tidak lama setelah mengakhiri percakapan dengan Mbak Nia. Dari Juna. Calon cinta masa depanku. Hanya saja, itu bukan saat yang tepat untuk bicara dengannya, jadi aku memutuskan tidak mengangkat teleponnya. Aku benci saat masa lalu dan calon masa depan berbenturan di masa kini. Karena aku mendadak tersadar, kalau sebenarnya aku hanya menggunakan Juna sebagai tameng untuk melupakan masa lalu. Padahal, aku belum beranjak sedikit pun dari sana.

Melihat lagi lelaki itu masih menyakitkan hati. Kemarahanku belum sepenuhnya padam. Sakit hari dan marah adalah pertanda bahwa sebenarnya aku belum melepas masa lalu. Kalau masa lalu itu sudah tidak berarti lagi, melihat lelaki itu tidak akan membuatku emosional seperti tadi.

To Be Continued