Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 142 - Bridesmaid

Chapter 142 - Bridesmaid

Bandung

Sarah POV

Shakespeare salah. Dia melakukan kesalahan besar di karyanya yang paling terkenal. Kalian pasti tahu karya mana yang sedang aku bicarakan ini. Sepasang kekasih yang bernasib sial. Kisah asmara yang penuh kemalangan. Dipisahkan oleh keluarga dan keadaan. Memang terdengar seperti kisah cinta yang sempurna; memiliki seseorang yang sangat mencintai sampai-sampai rela mati deminya. Tapi, satu hal yang tidak pernah diingat orang-orang tentang Romeo dan Juliet adalah bahwa itu bukan sebuah kisah cinta; itu adalah sebuah drama. Sebenarnya, Romeo dan Juliet bahkan bukan judul yang cocok untuk drama itu. Drama itu lebih cocok kalau berjudul Tragedi Romeo dan Juliet.

Tragedi. Semua orang mati demi cinta yang menurut pendapatku, memang sejak awal tidak kuat. Maksudku, keluarga mereka saling membenci. Jadi, meskipun mereka benar-benar bertahan, setiap hari semuanya hanya akan menjadi sebuah rasa sakit yang mendalam. Belum lagi kenyataan bahwa mereka tidak punya teman. Yang ada hanya mereka berdua. Romeo dan Juliet, berdua saja selamanya.

Mungkin kisah itu terlihat romantis bagi remaja usia tujuh belas tahun, atau orang-orang di usia berapa pun, tapi itu benar-benar tidak realistis. Maksudku, aku tidak bisa menganggap akhir kisah ini sebagai akhir yang romantis. Seharusnya kisah cinta ini tidak berakhir dengan cara itu.

Satu hal lagi, jika kalian menyimak dengan cermat, kalian akan menyadari bahwa di sana pernah ada seseorang yang singgah di hati Romeo sebelum Juliet datang dalam kehidupannya. Seorang gadis yang pernah sangat dicintai Romeo. Nama gadis itu adalah Rosaline. Gadis itulah yang menjadi alasan Romeo pergi ke pesta pada malam semuanya bermula. Semua orang selalu berpikir kalau Romeo dan Juliet begitu tak berdaya melawan takdir, bahwa mereka hanya hidup dengan cinta mereka pada satu sama lain. Itu tidak benar. Juliet itu bukanlah gadis manis dan polos yang terkoyak oleh takdir. Dia tahu pasti apa yang sedang dia lakukan. Masalahnya adalah, Shakespeare tidak tahu. Romeo bukan milik Juliet; dia milik Rosaline. Seharusnya Romeo dan Rosaline yang hidup bahagia bersama selamanya. Itu pasti terjadi kalau Juliet tidak muncul dan mencuri Romeo. Mungkin saja semua ini bisa dihindari dan mereka masih hidup.

Bagaimana kalau ternyata semuanya benar? Bagaimana seandainya kisah cinta terhebat yang pernah diceritakan itu adalah kisah yang salah?

Flashback ON

26 tahun yang lalu

Kring... kring... kring... handphone-ku berbunyi. Ku lihat layar 

handphone-ku Hara meneleponku.

"Halo Hara .. apa kabar?" tanyaku pada Hara. 

"Ehm... aku merasa... kurang baik saat ini," jawab Hara singkat.

Kuterdiam sejenak, kemudian kutanya Hara "emangnya ada apa?". Aku sedikit khawatir karena Hara tak seperti biasanya ketika dia menelponku. 

"Sar .. aku sangat bingung saat ini. Aku mau memutuskan sesuatu, tapi aku ragu-ragu," jelas Hara.

Hara sepertinya sedang mengalami masalah, tapi dia ragu-ragu untuk mengatakannya. Biasanya, ketika Hara mengalami masalah, dia akan langsung menceritakannya padaku. Namun, kali ini dia sepertinya sulit untuk menceritakan masalahnya. Aku mencoba untuk menenangkannya, dan perlahan-lahan menanyakan apa masalahnya.

Hara pun menjelaskan massalahnya "Sar... aku kecewa dengan orang tuaku, mereka tidak memperdulikan keadaanku. Mereka tidak memberiku uang untuk membayar kuliah." 

"Lalu?" tanyaku penasaran.

"Aku memutuskan untuk berhenti kuliah, karena aku merasa menjadi beban buat orangtuaku," jawab Hara. 

Aku merasa kaget dengan apa yang diceritakan oleh Hara. 

Dia memutuskan untuk berhenti kuliah hanya karena merasa orangtuanya tidak memperhatikannya.

"Hara... apa hanya karena orang tuamu, kamu memutuskan untuk berhenti kuliah?"

Lalu Sarah menjawab "Yaaa... menurutmu apa lagi? Mana mungkin aku bisa melanjutkan kuliahku tanpa membayar uang kuliah? 'kan ngak mungkin."

"Lalu... apa rencanamu setelah berhenti kuliah?" tanyaku penasaran.

"Aku memutuskan untuk menikah Sar," jawab Hara pelan.

Aku pun tersentak kaget mendengar ucapan Hara. Kemudian timbul berbagai pertanyaan dibenakku. Sebelumnya, Hara pernah bercerita bahwa dia sudah memiliki seorang pacar, hubungan mereka sudah sangat jauh. Dalam pikiranku timbul pertanyaan, jangan-jangan dia hamil? Aku sudah berulangkali 

memperingatkan Hara, supaya dia hati-hati. Tetapi Hara tetap mempertahankan hubungannya dengan sang pacar.

Beberapa bulan kemudian, Jelita menemuiku di rumah.

"Sar... kamu tahu gak, kabar Hara?"

"Ngak tuh, memangnya ada apa?"

"Dia sebentar lagi jadi seorang ibu! Hahahaha .... ngak nyangka aku dia begitu," jawab Jelita sambil tertawa.

"Haaaa???? Hara kan belum menikah" jawabku kaget.

"Itu dia Sar... dari awal aku udah curiga kalo akhirnya dia akan seperti itu," kata Jelita. Kami akhirnya menutup pembicaraan kami. Aku pun menitikkan airmata mendengar apa yang dialami Hara.

Selang beberapa jam, aku mencoba untuk menelpon Hara. ".... Halo ini dengan siapa?" Ternyata bukan Hara yang mengangkat teleponnya.

"Lha, kamu sendiri siapa?" tanyaku.

"Oh... aku Bayu, suaminya Hara."

"Eh... saya Sarah, temannya Hara" sahutku "apakah bisa bicara dengan Hara?" tanyaku lagi. 

"Ohh.. maaf, Hara ngak ada di rumah, dia sedang pergi," sahut Bayu, laki-laki yang sepertinya belum pernah ku kenal selama pertemananku dengan Hara.

Dua minggu kemudian, aku memutuskan untuk pergi menemui Hara. Sesampainya di rumah Hara, aku disambut oleh seorang pria, dan ternyata itu Bayu suaminya Hara. 

"Sarah yaa..? ayo silakan masuk, Hara udah tunggu di dalam," kata Bayu. Aku hanya tersenyum, sambil melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah.

"Saraaaah... aku kangen banget sama kamu," sambut Hara sambil memelukku. 

"Aku juga Hara," jawabku.

Hara kemudian menceritakan apa yang dia alami selama ini, dan ada satu hal yang membuat aku terkejut. Ternyata Bayu bukan pacar Hara. Bayu seorang pria pengusaha yang kaya, meskipun dia tahu Hara sudah hamil sebelum menikah dia tetap menikah dengan Hara. 

Akhirnya Hara terpaksa memutuskan untuk menikah dengan Bayu, pria yang tiga tahun lebih tua dari dia.

"Aku sangat menyesal dengan semua yang sudah aku lakukan Sar.." ucap Hara sambil menangis terisak-isak.

"Sudahlah, semuanya sudah terjadi, kesalahan yang lama jangan sampai terulang kembali," kataku sambil memeluk Hara.

"Ini semua karena sakit hatiku terhadap orang tuaku Sar. Mereka sama sekali tidak peduli sama aku. Aku menikah pun mereka biasa-biasa saja," jelas Hara.

"Hara... setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya, tapi jangan sampai kamu hidup terus menerus dalam kegagalanmu. Kalau kamu sudah menyadari pernah menjalani hidup yang tidak benar, tugasmu sekarang 

adalah memperbaikinya. Jika kamu kecewa dengan perlakuan orangtuamu yang tidak peduli denganmu, maka kamu harus bisa menjadi orang tua yang peduli dan mengerti dengan anakmu kelak."

"Iya Sar, janganlah kesalahanku kubalaskan pada anakku. Aku harap dapat jadi orang tua yang baik." Wajahnya mulai sedikit cerah seakan langkah baru harus dimulai untuk meraih harapan yang lebih baik. 

"Baguslah, walaupun kamu pun harus mengasihi orangtuamu. Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, jika musuhmu harus dikasihi apalagi orang tua yang membesarkanmu."

***

Adara POV

Kringgg....

Aku mengela napas. Pasti si anika lagi. Heran juga sama calon kakak iparku ini.

Aku mengangkat telepon dan langsung menyambar. "Iya, Nik, aku sudah siap-siap kok..."

"Hmmm.... halo, Dara."

Jantungku berdetak dua kali lebih cepat daripada sebelumnya saat aku mendengar suara yang sama sekali berbeda dengan suara Anika yang tegas. Suara ini terdengar gugup, suara gugup yang aku sukai.

"Hmm... Devan... tumpen telepon pagi-pagi, ada apa?"

"Oh ya... foto kamu sudah jadi. Kapan kamu mau ambil?" Aku tersenyum. Devan meskipun sudah menajdi dokter tetap hobi menjadi seorang fotografer. Fotografer pribadiku, tepatnya. Entah mengapa, kala Devan yang mengabadikan gambarku, pasti jadinya akan bagus sekali.

"Oh... yang waktu di Hamburg? Bagaimana? Bagus?"

"Ya.. ya pasti bagus lah. Kamu kan cantik..." 

Aku tersenyum kecil.

"Oke deh. Nanti kalau keburu, pulang dari ketemu Anika aku ambil."

"Oke kalau... kalau begitu. Sudah dulu yaa.. sampai nanti."

Tok Tok ....

Masih sambil tersenyum kecil, aku membuka pintu.

"Morning, Dara...." Anika langsung memelukku dengan hangat.

"Kamu sudah siap, kan?" tukas Anika, tanpa memperhtikan senyumku yang masih lebar. Tampaknya Anika benar-benar punya pengemuman penting pagi ini.

Aku mengangguk. Aku mengambil tas kemudian keluar mengikuti Anika.

Jalanan minggu pagi masih lenggang. Sudah jelas! Siapa juga yang mau bangun pagi-pagi di hari minggu? Setelah satu minggu bekerja gila-gilaan, hari minggu adalah hari balas dendam untuk tidur sampai puas.

Aku duduk di samping Anika. Sebenarnya aku masih mengantuk. Kemarin malam aku terpaksa menyelesaikan rancangan kalung dari seorang anak konglomerat. Pesanan itu bisa dibilang dadakan juga, tapi bayarannya lumayan. Makanya aku mati-matian menyelesaikan rancangan kalung itu sampai larut malam.

"Lalu, kapan big day nya?"

"April tahun depan" desah Anika bahagia.

Aku menghitung dalam hati, berarti masih ada waktu enam bulan.

"Sudah mulai mengurus segala pernah-perniknya? Katanya repot..." Aku mengutip artikel-artikel yang pernah aku baca di majalah pernikahan. Menurut artikel itu, setidaknya satu tahun sebelum hari pernikahan, semua persiapan harus sudah mulai dilakukan. Mulai dari pemesanan gedung, gaun, gereja, katering, ini, itu dan lainnya.

Anika menggelng. "Belum lah. Baru juga dilamar. Makanya aku butuh bantuan kamu..."

"Aku mau kamu jadi salah satu bridesmaid-ku," ujar Anika sambil menggenggam tanganku. "Walaupun komunikasi kita sejak dulu terhitung sangat jarang, tapi kamu adalah adiknya Satya. Kamu yang paling pertama dan pantas menjadi bridesmaid-ku. Mau, ya, Dara...."

Aku menghela napas. Mendengar pernyataan Anika seperti itu, ditambah tatapan memohon dan mata yang bersinar, siapa yang bisa menolaknya? Lagipula, aku memang akan dengan senang hati ikut ambil bagian dalam hari besar kakakku. Tanpa diminta menjadi bridesmaid pun, aku pasti akan membantunya.

Aku mengangguk dan tersenyum.

Anika tersenyum tipis dan merangkulku erat.

***

Anika POV

Anika Prima Maheswari, nama yang disematkan saat terlahir ke dunia. Menjadi anak dan cucu kesayangan dari keluarganya, tidak lantas membuatku jadi pribadi yang manja, angkuh ataupun sombong. Dari kecil, kami bersaudara diajarkan untuk saling menyayngi dan menghormati siapapun. Tidak pernah memandang seseorang dari materi dan rupa, jika ingin sesuatu harus berusaha mendapatkannya.

Saat ini, aku sedang berada di butik langganan Bunda untuk fitting baju. Kalau tidak ada aral melintang, dua minggu lagi aku akan melangsungkan pernikahan dengan Satya yang sudah melamarku saat di Hamburg satu minggu yang lalu.

Sembari menunggu kedatangan calon suami, kuhabiskan waktu dengan melihat-lihat koleksi baju yang akan dipakai saat prosesi nikah dan pesta. Saking ayiknya memperhatikan model baju, aku tidak menyadari kalau Satya sudah berdiri di samping manekin sambil tersenyum.

"Kamu sudah datang dari tadi?" tanyaku sambil merangkul lengannya.

"Belum lama. Kamu terlalu fokus melihat bajunya, jadi tidak sadar kalau ada aku di samping," ujarnya.

Aku hanya tersenyum mendengarkan perkataannya. Kami kemudian fokus untuk mencoba gau dan jas yang telah dipilihkan Mamanya Satya. Setelah semuanya selesai, kami segera pergi makan siang di sebuah kafe.

Selesai makan siang, aku diantar Satya ke tempat rumah kembali. Dalam perjalanan, dia menanyakan sudah sampai mana persiapan acara pernikahan kami?

"Kata Bunda sudah hampir delapan puluh persen," jawabku.

"Baguslah. Rasanya sudah tidak sabar menunggu hari itu," ujarnya sambil memegang tanganku.

"Semoga dilancarkan sampai harinya, ya,"

"Amin."

To Be Continued