Lombok
Karina POV
Pasti tidak akan butuh waktu yang lama untuk menumbuhkan perasaan sayang kepada Juna. Enam tahun terakhir ini, hubungan kami sebagai teman lumayan dekat. Aku sudah mengenal kepribadianya dengan cukup baik. Aku tidak akan memutuskan hendak mengubah status hubungan kami dari pertemanan yang nyaman menjadi sesuatu yang lebih serius kalau tidak yakin dia pantas mendapatkan kesempatan itu.
Dering telepon membuatku mengalihkan perhatian dari cermin yang sejak tadi kupandangi. Aku pikir Juna yang menghubungiku untuk menyakinkan jika aku tidak mangkir dari janji makan malam kami, ternyata bukan.
"Ya, Ka Rangga?"
Ka Rangga adalah bos yang nyaris tidak pernah kutemui di hari kerja karena dia membiarkanku mengurus usahanya tanpa berniat membantu. Aku bahkan tidak yakin dia peduli kalau bisnisnya kubuat bangkrut. Dia punya usaha lain yang menghasilkan lebih banyak uang daripada yang kukelola ini. Usaha yang ditanganinya sendiri dengan serius.
"Tamu kita sudah tiba di Lombok. Kamu tidak lupa suruh orang menyiapkan vila yang paling besar untuk dia, kan, Rin?"
Aku tidak mungkin lupa. Seminggu terakhir, Ka Rangga sudah beberapa kali mengingatkan. Dia bukan bos yang rewel, jadi aku langsung tahu kalau tamu yang akan berlibur di tempat wisata yang aku kelola ini adalah orang penting.
"Sudah disiapkan. Vila paling besar untuk tamu spesial." Aku mengulang kata-kata Ka Rangga untuk menegaskan.
"Bagus. Tolong kamu sambut sendiri, ya, Rin."
Tidak bisa. "Aku ada acara di luar." Aku punya kencan pertama setelah bertahun-tahun tenggelam dalam penderitaan yang sepertinya sengaja kupelihara supaya tetap merana. Ini momen kebangkitanku, jadi aku tidak akan mengacaukan kencan dengan Juna untuk tamu penting Ka Rangga sekalipun. Karyawan yang mengurusi tamu yang menginap sudah di training dan aku yakin, mereka bisa melaksanakan tugas menyambut tamu istimewa Ka Rangga dengan baik. Tamu penting itu bisa kusapa besok pagi saja.
"Batalkan saja. Atau kamu keluar setelah bertemu dia. Aku sudah mengirim mobil untuk jemput dia di bandara."
Enak saja dibatalkan. Juna mengajakku makan malam di Lombok. Itu berarti kami harus berangkat sore. Kalau harus menunggu dan menyambut tamu itu, kencan pertamaku dengan Juna akan batal.
"Tidak bisa dibatalkan, Ka." Enaknya punya bos yang sekaligus suami kakakmu adalah aku bisa menegosiasikan perintah.
"Paling juga kamu mau keluar dengan Juna, kan? Tunda besok saja. Juna tidak akan ke mana-mana. Tamu ini jauh lebih penting daripada dia."
Lebih penting utnuk Ka Rangga, maksudnya. Tamu itu pasti kolega bisnisnya. "Tapi ..."
"Tolong, Rin. Aku lebih percaya kalau kamu sendiri yang menyambutnya."
Aku mendesah pasrah. Ka Rangga jarang berkeras seperti ini. "Baiklah."
"Layani dia baik-baik. Aku akan nyusul ke situ kalau urusanku sudah selesai."
Kenapa juga tamu itu harus menginap di tempat ini kalau mau meeting dengan Ka Rangga? Bukankah akan lebih praktis kalau dia menginap di hotel berbintang lima milik Ka Rangga? Mungkin saja tamu itu adalah seorang kakek yang sudah kenyang menghirup polusi kota besar. Dia butuh tempat seperti ini untuk sesekali memasukkan udara bersih ke paru-parunya.
Apa boleh buat, aku harus menghubungi Juna untuk menjadwalkan kencan pertama kami di lain waktu. Semesta ternyata belum mendukung langkah awalku untuk move on. Padahal, niatku sudah bulat. Namun, seperti kata Ka Rangga, Juna tidak akan ke mana-mana. Kami akan punya banyak waktu bersama. Kalau semua berjalan lancar seperti rencanaku, batasnya adalah sampai mau memisahkan. Tamu Ka Rangga paling lama hanya akan tinggal dua hari. Pengusaha sukses lebih menikmati bekerja daripada berlibur.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, aku kemudian mengecek vila yang sudah disiapkan untuk tamu penting Ka Rangga. Sempurna. Sekeranjang buah segar bahkan sudah tersedia di atas meja makan. Kulkas juga sudah diisi dengan minuman dan camilan.
Aku keluar dari vila saat mendengar suara mobil berhenti di depan pintu. Itu pasti tamu Ka Rangga. Tidak ada orang lain lagi selain karyawan yang akan datang karena jam berkunjung di tempat wisata ini sudah selesai beberapa jam lalu.
Yang berhenti di depan vila itu memang salah satu mobil Ka Rangga. Aku bergegas keluar dan menyiapkan senyum terbaik.
Baiklah, mari kita sambut kakek tua yang sudah mabuk polusi itu. Semoga saja dia tidak mabuk darat juga karena perjalanan dari bandara kesini memakan waktu cukup lama, terutama kalau dia terjebak macet.
Aku sudah berdiri di teras saat pintu mobil terkuak dan tamu itu akhirnya turun. Senyumku langsung surut saat melihat wajah tamu itu.
Oh tidak.
Brengsek.
***
Jakarta
Sultan POV
"Aku letih," begitu katamu. Malam itu. Dan rembulanpun mendadak pucat saat mataku memaku pelupuk matamu. Ada kabut melintas disana.
"Kamu terlalu jauh kurengkuh," katamu lagi. Lalu anginpun tiba-tiba berhenti berbisik. Pucuk pepohonan meneteskan airmata. Batinku tersayat pisau keyakinanku. Kala matamu yang luka menghunjam "Jangan tinggalkan aku lagi," ucapmu lirih.
Dan teratai kolampun tertunduk lesu. Angsa-angsa tak lagi menari. Aku tersenyum dan mataku berkata:
"Aku tetap disampingmu." Lalu jemariku, jemarimu bertaut.
***
Hamburg
Author POV
Anika mengendarai mobil mengitari Hamburg. Dia duduk bersama Dara, sementara pasangan duduk di belakang, sedari tadi tak saling melepaskan.
Sejujurnya Anika sedikit jengah melihat Mika yang terus-terusan manja pada Devan. Seperti tak punya
tempat lain saja untuk bermesraan.
"Heh, kalau mau manja-manjaan turun gih. Aku jijik liat kalian," ucap Dara, membuat Anika terkekeh pelan.
"Makanya jangan jomblo!" seru Devan tertawa.
Dara menghela napas.
Sore itu Anika mengajak teman-temannya menyusuri sungai Alster.
"Aku mau kesana," ucap Mika menunjuk sungai Alster.
Anika mengangguk, kemudian mengurus segala sesuatunya. Beberapa saat kemudian dia bergabung dan mengatakan, "Masuk aja. Mmm... aku nggak ikut ya. Bosan. Ntar kalian cari gue di sekitaran sungai Alster aja." Anika menyerahkan kunci mobil ke Mika.
Mika mengangguk saja, setuju.
Anika berjalan pelan, menikmati keindahan Hamburg. Dia suka tempat itu. Sejak dulu, sejak berumur belasan tahun, dia senang merasakan angin musim gugur yang mendingin. Termasuk juga
memandangi daun-daun berguguran di tepi jalan.
Anika terus berjalan menyusuri jalanan panjang. Perasaan aneh datang lagi. Dia menoleh ke belakang, merasa dikuntit seseorang.
Oh, tidak mungkin kan teman-temannya mengerjai Anika dengan sengaja mengikutinya? Lalu kenapa perasaan aneh itu datang lagi?
Anika kembali menoleh ke belakang.
Akhirnya Anika memilih mengabaikan perasaan itu dan terus menyusuri jalanan panjang menuju sungai Alter.
Anika duduk di tepi sungai Alter. Mungkin airnya akan beku saat musim dingin tiba. Selain musim gugur, ia juga menyukai musim dingin.
Dia tak tahu alasan apa yang membuatnya menantikan musim dingin. Saat musim dingin, dia gemar menatap langit, seperti mengingatkannya pada sesuatu.
Mungkin kesepian dan kedinginan yang Anika rasakan selama itu membuatnya menjadi satu dengan kedua musim tersebut.
Kamu mirip langit musim dingin.
Mungkin juga karena kata-kata itu Anika menantikan musim dingin agar bisa menatap lama langitnya.
"Well, pemandangan ini memang bagus."
Anika membeku di tempat. Suara berat itu... Sebegitu rindukah Anika akan sosoknya sehingga suaranya langsung dikenalinya?
"Aku suka berada di sini."
Anika mendapati sosok yang begitu dia rindukan, tapi hanya terbelalak tak percaya.
Penampilan Satya dengan jaket kulit hitam yang sangat tiba-tiba membuat Anika tercekat. Jantungnya melompat-lompat kencang dan tubuhnya menjadi panas, padahal angin musim gugur benar-benar menusuk tulang.
Mata Anika dan Satya bertemu. Sorot mata Anika tak sedingin dulu. Kini gadis itu lebih membuka diri, Satya bisa merasakannya.
Satya tersenyum tanpa bicara. Ia terlalu merindukan Anika. Anikanya. Ia tak pernah jatuh cinta lagi, sama seperti Anika. Perasaannya terbawa Anika. Ia sangat menyayangi gadis itu.
Anika terdiam, sulit mengendalikan perasaannya. Dia ingin memeluk Satya, tapi gengsi. Jadilah dia berlama-lama menatap pemuda itu.
"Kenapa? Sadar kalau kamu juga kangen sama aku?"
"Kenapa kamu ada di sini, Sat?"
Satya terkekeh. "Beberapa hari aku ngikutin kamu. Kamu baru sadar tadi bahwa kamu diikutin."
Anika memutar bola mata. Pantas saja Dara dan Devan kebingungan saat dia menanyakan Satya. Ternyata Satya datang ke Hamburg lebih awal daripada mereka.
Anika berdeham. "So... gimana kabarmu?"
Satya tersenyum. "Kabarku atau kabar hatiku?"
Anika merasakan jantungnya kembali berdegup kencang.
"Semua orang juga tahu aku masih stuck sama kamu."
Anika menunduk. Bagaimana bisa Satya mengungkapkannya secara gamblang, sedangkan dia kesusahan menenangkan degupan jantungnya?
Bagaimana bisa Satya membawa kembali hal yang
seharusnya sudah mati sejak dulu?
Satya meraih tangan Anika, menggenggamnya. "Mana mungkin aku tidak menunggu jawaban pernyataanku waktu itu?"
Ah... pernyataan waktu itu! Saat mengingatnya wajah Anika langsung bersemu merah.
"An, kamu belum menjawabnya," ucap Satya lirih.
"Aku tidak maksa kamu. Kalau penantianku kurang cukup selama ini... aku bisa..."
"Aku mau."
Satya terdiam, menatap Anika yang tersenyum manis kepadanya.
Eh, Anika mengatakan apa? Satya terkekeh geli.
"Mau? Aku belum ngajuin permintaannya!"
Anika mendengus, kemudian menarik tangannya dari genggaman Satya. Bukankah Satya menantikan jawabannya selama ini? Lalu kenapa pemuda itu masih bermain-main dengannya?
Satya tersenyum, buru-buru meraih tangan Anika. "Kamu selalu di hatiku, An, selamanya."
Anika mengangguk. Kebahagiannya lengkap. Dia membiarkan saja dirinya meleleh di depan Satya.
Toh dia harus mengakui bahwa dirinya memang mencintai Satya sejak dulu. Cinta yang datangnya
tidak diketahui secara pasti. Cinta yang membuat kebekuan dalam dirinya mencair seketika.
Cinta memang tak pernah adil kalau kita tidak menuntut keadilannya. Anika menyadari betul hal itu.
Anika tersenyum saat Satya merengkuhnya erat. Di tepi sungai Alter, mereka berikrar memulai sesuatu
yang baru.
To Be Continued