Jakarta
Sultan POV
Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menyapanya dulu dengan semacam 'hai' atau aku harus berdiri membungkuk lalu menyalaminya?
Aku benar-benar kikuk. Entah kenapa, justru yang kulakukan adalah hampir mengulungkan tangan ke arah cangkir matcha tea yang mungkin sudah dingin, untuk mencoba keluar dari belitan salah tingkah yang brengsek ini.
Tapi yang kudapati dari kebodohanku justru dia mengambil dulu cangkir itu. Lalu mendekatkan ke mulutnya, kemudian sambil memejamkan mata, dia menyeruput matcha tea itu.
Ketika dia meletakkan cangkir di atas meja kembali, pelan dia berkata, "Maaf ya, aku minum..."
Aku hanya bisa mengangguk. Dia memberi kode kepada pramusaji, dan ketika yang diberi kode datang, dia memesan pelan, "Matcha tea lagi satu..."
Setelah dua puluh enam tahun tidak bertemu. Lebih tepatnya, setelah dua puluh enam tahun tidak berani menemuinya. Supaya lebih tepat lagi, setelah dua puluh enam tahun berusaha menghindarinya. Menghindari? Itu juga tidak tepat. Karena aku tidak yakin dia berusaha menemuiku.
Jadi untuk apa dihindari? Sulit dijelaskan. Intinya, aku khawatir bertemu dengannya, dan berusaha agar sebisa mungkin menghindari tempat-tempat memungkinkanku bertemu dengannya.
Dia berdeham. Dia tersenyum. "Hai..."
Suaranya masih sama. Aku gugup sekali. "Hai..." aku membalasnya, tapi tak yakin apakah balasan sapaanku terdengar olehnya.
"Apa kabar?"
Aku makin gugup. Tapi sekaligus ada rasa geli di hatiku, bagaimana bisa seorang laki-laki dewasa sepertiku, berusia kepala empat, gugup bertemu dengan seorang wanita? Ah, yang benar saja.
Aku menarik nafas panjang, mengembuskan pelan, dan menjawab ala kadarnya. "Kabar baik, kamu?"
Dia tersenyum lagi. "Lebih kurus dari dua puluh enam tahun lalu?"
Kini aku yang bingung menjawab. Lalu masih dengan agak grogi, aku menjawab, "Lebih kurus daripada seorang wanita berkepala empat, dengan dua anak." Aku merasa lega. Jawabanku agak cerdas. Mungkin hanya sepuluh menit lagi, aku akan kembali menjadi seorang lelaki yang matang secara usia, tapi akan mengeluarkan kalimat dan pernyataan bodoh.
***
Hamburg
Anika POV
Ting tong!
Aku membuka mata perlahan. Bel apartemen berbunyi nyaring sejak tadi. Mengganggu tidur saja, sungutku dalam hati.
Aku mengenakan sandal, kemudian membuka pintu kamar. Apartemen itu mempunyai dua kamar, satu kamarnya dan satu lagi kamar tamu. Selain itu terdapat ruang santai, dapur, serta kamar
mandi.
"Mika... kamu buka pintu deh," teriakku.
"An, aku lagi mandi," balas Mika berteriak dari kamar mandi.
Aku berjalan ogah-ogahan. Menuju wastafel untuk membasuh wajah, kemudian merapikan kuciran rambut sambil berjalan menuju pintu. Begitu membuka pintu, aku spontan terbelalak.
"SURPRISEEE!"
Aku melongo. Mengerjap beberapa kali, meyakinkan diriku bahwa aku sudah benar-benar bangun dan berada dalam kenyataan.
"Aihh... Rim, kamu makin cantik aja!" jerit Dara langsung memelukku dengan erat. Di belakang Dara menanti giliran dengan tersenyum lebar adalah Devan.
"Bisa-bisanya kalian ke sini tanpa ngabarin!" protesku dengan senyum lebar. Tentu saja aku kaget dengan kedatangan teman-teman yang tak pernah bertemu dengannya dalam enam tahun ini.
Devan berdecak. "Rim, sambutanmu gitu amat," ucapnya sambil pura-pura memperlihatkan wajah masam.
Aku membuka pintu apartemen lebar-lebar.
"Istriku mana?" ucap Devan saat memasuki apartemen dan tak melihat orang lain.
Dara cekikikan. "Kaget kan?"
Aku hanya mengangguk, sadar bahwa apartemennya bakal diacak-acak. Aku memperlihatkan wajah galak. "Heh... kalian jangan ngacak-ngacak apartemenku ya!" teriakku.
Dara menutup sebelah telinganya.
Devan yang ingin menyentuh pigura berisi fotoku, Mika, dan Bunda segera menarik tangan.
Dara tertawa. "Kami rencanain ini udah lamaaa banget, Rim."
"Wow... bagus banget pemandangan Hamburg dari sini. Kamu emang pinter nyari view ya, Rim," puji Devan yang berada di depan jendela besar yang langsung menghadap ke jalanan.
Cklek...
Pintu kamar Mika terbuka. Wanita itu tersenyum, menghambur memeluk Devan. "Aaa... miss you, honey!"
Aku merasa ada yang aneh dengan teman-temannya itu. Ah, maksudnya, ke mana teman-teman yang lain? Bukannya mereka selalu hadir dalam acara seperti itu?
Apalagi sekarang musim liburan, kan?
"Kalian... cuma... datang berdua?" tanyaku akhirnya,
memutus rasa penasarannya.
Dara tercengang mendengar pertanyaanku, menata Devan yang sama-sama heran.
"Kamu nyariin Satya?" tegas Devan mengambil alih perhatian.
"Katanya dia patah hati sama kamu." Dara terkikik pelan, dan disambut gelak tawa Devan dan Mika.
Aku melayangkan tatapan aneh kepada mereka. Aku yakin ada yang tidak beres.
"So, sore ini kita ke mana nih, Rim?" tanya Devan.
"Kok nanya aku?" jawabku masih bingung.
"Aku nggak mau tahu, kamu harus ngajak kami jalan-jalan!" ucap Dara membuatku kaget.
"Kami jauh-jauh ke sini, masa nggak diajak jalan-jalan?" protes Dara merengut, setengah manja.
Sekakmat. Mereka masih tetap suka memaksaku untuk melakukan sesuatu.
Aku mendengus, kemudian beranjak ke kamar untuk segera mandi. "Merepotkan!"
***
Jakarta
Rangga POV
Aku memerhatikan anak kecil yang tertidur nyenyak di pangkuan Nenek Asri. Sejak kami memasuki ruang kerja ini, aku hanya diam, masih tidak mampu mengatakan apapun.
"Namanya Kasih." Nenek memulai percakapan. "Lahir enam tahun yang lalu."
Aku tidak bersuara, saat mataku menatap takjub wajah mungil yang tengah tertidur nyenyak. Mataku memerah, aku mengerjap beberapa kali.
Aku menarik napas berulang kali untuk mengendalikan diriku sendiri. "Kasih Wardana." ujarku menatap lekat putri kecilku.
"Ya." Nenek tersenyum. "Kasih Putri Wardana."
Aku mengangguk dengan mulut terkatup rapat, airmataku jatuh, aku dengan cepat memalingkan wajah untuk mengusapnya.
"Dia menyukai lukisan dan musik."
"Seperti Gwen." Ujarku pelan, menatap ujung sepatuku.
"Dan juga suka berdebat." Nenek menambahkan.
Aku tersenyum, mengingat kembali semua perdebatan yang pernah aku dan Gwen lakukan, wanita itu tidak pernah ingin mengalah sedikitpun dan selalu menyimpulkan sesuatu sesuka hati.
"Kasih juga menyukai custard. Ia bisa makan itu tiga kali sehari."
Aku mengangguk, airmataku kembali turun. Kali ini aku membiarkannya, aku hanya terus menunduk.
Gwen juga sangat menyukai custard.
"Kasih anak yang pintar dan aktif. Kecerdasannya di atas rata-rata anak seumurannya, dan aku tahu, hal itu berasal darimu."
Kepalaku kembali terangkat, aku menatap putriku lekat.
"Bolehkah aku memeluknya?" aku bertanya ragu.
"Tentu saja."
Aku mendekat, berlutut di depan Nenek. Lalu meraih tubuh mungil Kasih secara hati-hati agar tidak membangunkan tidur nyenyaknya, lalu membawa tubuh itu ke dadaku. Memeluknya.
Kasih bergerak kecil, tapi tanganku dengan cepat mengusap punggungnya, menepuk-nepuknya pelan. Kasih kembali bergerak, tapi kali ini mencari posisi yang lebih nyaman, kedua tangannya memeluk leherku.
Aku berdiri, membuai Kasih dengan gerakan pelan sambil terus menepuk-nepuk punggungnya.
Lalu airmataku turun semakin deras. Aku memeluk Kasih lebih erat dan mengecup puncak kepalanya. Mataku terpejam rapat dan aku terisak tanpa suara.
"Pa..." Kasih bergumam, mengingau dalam tidurnya.
"Papa disini, nak." Aku berbisik pelan, mengecup sisi kepalanya. "Papa disini." bisikku serak dengan airmata yang terus mengalir deras.
Aku merasakan Kasih meresponku, putri kecilku itu memeluk leherku semakin erat.
"Papa disini." ujarku sekali lagi dalam bisikan lembut.
To Be Continued