6 Tahun Kemudian
Jakarta
Sultan POV
Di kepalaku terlalu banyak bertebaran kisah-kisah. Pecahan kenangan. Serakan adegan. Aku beralih menatap ke dua bungkus rokok dan sebuah korek yang terletak di meja. Aku tak punya keinginan menyentuhnya. Belum punya keinginan menyulutnya, lebih tepatnya begitu. Di kepalaku ada terlalu banyak pilihan ketakutan.
Takut? Khawatir? Aku tidak tahu. Tidak pernah benar-benar tahu. Sesekali kulirik ponsel yang kuletakkan di samping tas di tempat duudkku, sebuah sofa berwarna hijau, yang terlalu longgar untuk kududuki. Aku juga tak ingin menyentuhnya. Terlalu malas menyentuhnya.
Aku sering berada dalam situasi mirip seperti ini. Tak jelas. Tak jelas mau apa. Semua yang aku kerjakan pasti akan berakhir dengan runyam, jika memang kupaksa untuk mengerjakannya. Jadi hanya begini saja, duduk, diam. Tak ingin diganggu apapun dan siapapun.
Mei ini, dua puluh enam tahun persis, aku tidak bertemu dengannya. Aku memang tidak ingin menemuinya. Buat apa? Atau lebih tepatnya, aku tidak punya alasan untuk bertemu dengannya.
Mungkin aku terlalu membencinya? Tapi benarkah seperti itu?Kalau benci, kenapa aku sering merasa sangat kesepian? Kalau benci, kenapa kadang ada momen-momen tertentu yang kurindukan bersamanya?
Kalau benar-benar benci, kenapa dia sering datang ke mimpiku, dan ketika aku bangun, aku sering tertawa sendiri? kadang juga ingin menangis.
Tapi apapun itu, riang atau sedih, mimpi-mimpiku terasa indah. Keindahan, tak ada hubungannya dengan kesedihan atau keringan. Ia mungkin seperti lukisan, perpaduan warna, juga bentuk dan ruang yang berpadu-padan.
Hingga sebulan lalu, aku merasa, aku harus menemuinya. Tentu itu bukan hal mudah. Aku harus mengatasi semua perasaanku. Perasaan tentang 'jangan-jangan'.
Jangan-jangan dia tidak mau menemuiku.
Jangan-jangan dia masih marah kepadaku.
Jangan-jangan justru dia merasa sangat berdosa kepadaku sehingga tak sanggup menemuiku.
Jangan-jangan dia menghapusku dari seluruh kenangan hidupnya, hingga aku tak lebih dari sepasang sepatu yang dipakainya waktu masih remaja. Pernah penting, tapi tak mau dikenang lagi.
Jangan-jangan ...
***
Hamburg
Anika POV
Aku memasuki lift tergesa-gesa. Bot putih melekat
di kaki. Udara musim gugur mulai menyapa wilayah ini. Aku menekan tombol 20, lalu menggosok-gosokkan tangan, lupa mengenakan sarung tangan
dan syal.
Aku menekan password untuk masuk ke apartemen, kemudian dengan cepat menanggalkan sepatu, berjalan menuju kamar yang berada di kiri pintu masuk.
"An, kamu tidak bawa apa-apa? Huh. Padahal aku kelaparan."
Aku berdecak menanggapi suara itu. Suara lantang Mika yang sedang menikmati acara di televisi, entah netflix atau drama, tapi terlihat artis yang menangis-nangis.
"Beli sendiri di depan tidak bisa ya?" tanyaku ketus, kemudian menutup pintu kamar.
Mika mencibir. Aku masih tetap bersikap dingin kepadanya, walaupun telah menerimanya.
Tak lama kemudian aku keluar kamar, duduk di sampingnya. Aku membawa selimut untuk menutupi tubuh dan dengan seenaknya mengganti acara televisi.
"An, lagi seru tuh," teriak Mika tak terima.
Aku memutar bola mata. "Acara seperti itu bikin kamu melow.Udah deh, nonton ini aja."
Mika mendapati pembawa berita menyampaikan info terkini dunia. Ia menatapku sebal, kemudian mengentakkan kaki. Memutuskan beralih ke laptop, yang membuatnya tertawa girang.
Aku melihat Mika dengan ekor matanya. Wanita itu mengenakan headset dan menatap layar laptop dengan wajah berseri.
"Aku juga kangen banget sama kamu, Mas," ucap Mika manja.
Aku menelan ludah. Pasti Mika skyping dengan Devan. Entah kapan mereka menikah, aku tak ingat. Yang Mika ceritakan kepadaku, Devan meminta ia tak melihat pemuda lain, kecuali dirinya.
Huh..., batinku.
Aku mengalihkan pandangan ke berita yang ditonton. Enam tahun ini semuanya berjalan baik-baik saja. Mika memutuskan menikah setelah lulus, tidak sepertiku yang melanjutkan kuliah S2 disini.
Bunda dan Nenek pindah ke Jakarta beberapa hari setelah keberangkatanku dan ke Hamburg. Maheswari Group membuka cabang di Singapura, Thailand, dan Cina, yang dipimpin Om Sultan.
Perusahaan di Jakarta diserahkan kepada Om Rama.
Aku tak merasakan hidupku sulit. Aku hanya sedikit kewalahan dengan sikap Mika yang manja, kadang sampai membuatnya naik darah.
Dulu?
Aku terdiam. Enam tahun lalu semua terasa berat. Beban baru yang kupikul benar-benar membuatku terkurung dalam kebencian. Syukurlah sekarang bebanku menghilang pelan-pelan.
Aku juga bisa menahan emosi. Semuanya berjalan baik, kecuali satu hal.
***
Jakarta
Author POV
"Eyang!"
Nenek Asri tersentak kaget saat suara yang menggemaskan memanggilnya, juga mengguncang-guncang tangannya.
"Eyang!"
"Iya, sayang. Kenapa?" Nenek menunduk, menatap anak perempuan kecil berumur enam tahun, yang memiliki mata bulat dan jernih juga wajah yang cantik.
"Eyang, ngapain kita kesini?" Putri kecil itu, Kasih Putri Saraswati menatap eyang buyutnya dengan bosan.
"Kita akan ketemu dengan seseorang."
Kasih sudah menghabiskan pancakenya, dan kini gadis kecil itu tengah sibuk memerhatikan orang yang lalu lalang keluar masuk lobi hotel mewah itu. Nenek mulai merasa resah. Sepertinya orang yang ia tunggu tidak akan datang.
Nenek menghela napas, menatap Kasih yang tengah memerhatikan sebuah lukisan, anak itu sangat tertarik pada seni dan musik khususnya pada seni lukis. Seperti orangtuanya. Mengingat Nia membuat mata Nenek kembali memerah. Nenek mengerjap, menghalau airmata yang hendak turun. Sudah cukup, ia tidak akan menangisi takdir lagi.
Tuhan sudah melaukan hal yang terbaik. Dan sebagai manusia, kita hanya perlu mengikuti permainan takdir. Sekuat apapun kita mencoba membuat seseorang bertahan di dunia ini, jika Tuhan menyayanginya, maka Tuhan akan mengambilnya. Dan kita harus merelakannya.
Nenek berdiri sambil menggendong Kasih, hendak pergi dari lobi itu karena merasa sudah cukup lama menunggu, tepat saat itu matanya menatap seseorang memasuki lobi.
Pria tinggi, wajahnya dingin tanpa ekspresi, dan melangkah dengan langkah yang lebar tapi tidak tergesa. Semua orang tanpa menunduk hormat padanya, tapi ia hanya memandang lurus ke depan.
Kaki Nenek terasa goyah, tapi ia paksakan dirinya untuk melangkah.
"Pak Rangga." Nenek memanggilnya.
Pria itu berhenti melangkah, menoleh ke belakang, lalu memutar tubuhnya saat matanya menatap Kasih yang tengah memainkan selendang Nenek Asri.
Pria itu terpaku, tubuhnya membeku, kedua matanya menatap lekat Kasih yang sama sekali tidak menyadari bahwa ada yang memerhatikannya karena ia terlalu asik dengan dunianya sendiri.
Kaki pria itu mendekat ragu, mulutnya terbuka, hendak mengatakan sesuatu, tapi kembali tertutup.
Tepat ketika ia berdiri menjulang di depan Nenek, bibirnya yang bergetar memanggil sebuah nama.
"Gwen."
***
Lombok
Karina POV
Biasanya, saat berbicara tentang umur, kebanyakan orang akan mengaitkannya dengan jatah waktu yang ditetapkan Tuhan dari saat lahir ke dunia sampai akhirnya menutup mata. Padahal, umur sebenarnya tidak memiliki arti sesempit itu. Semua hal punya waktunya sendiri. Bukan hanya benda bernyawa, tetapi juga benda mati atau hal yang paling abstrak sekalipun. Batas waktu benda elektronik adalah saat benda itu tidak bisa mendeteksi arus listrik lagi saat dihubungkan. Meja dan kursi yang kehilangan kaki juga dianggap mati karena sudah kehilangan fungsinya.
Dan cinta.
Cinta juga punya waktu karena perasaan itu tidak abadi.
To Be Continued