Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 133 - Cerita lama

Chapter 133 - Cerita lama

Jakarta

Sultan POV

Setiap kali melihat pasar, entah di kota mana pun berada, setiap kali itu pula, serasa ada sebentuk kunci yang menjelma, perlahan membuka pintu besar, menjadi setengah membuka setengah menutup. Seakan enggan mempersilakan siapa pun masuk ke dalamnya, kecuali untuk seseorang tertentu, yang di dalamnya terdapat potret dirinya.

Juga sebuah amplop merah muda, yang di dalamnya terdapat tujuh belas lembar fotonya. Selamanya, foto itu akan tersimpan rapat bersama potret tersebut.

***

Dara POV

Apa pun itu, jika tentang dirimu, rasaku berubah menjadi lagu-lagu rindu yang tak berkesudahan mendayu. Perlahan dalam benak cemburu dan yakin kamu masih rindukan aku. Padahal semesta menolak pesanku yang tertuju padamu. Kata Tuhan, laki-laki baik itu bukan kamu. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Jika segala kata yang kutulis masih sama, bercerita tentang senja di purnama. Tentangmu, laki-laki bumi yang berhasil menghancurkan hatiku sekali lagi.

Ini mungkin berlebihan, tetapi apa-apa yang kutuliskan adalah sebuah kebenaran. Meskipun kamu pergi dengan jutaan kesalahan yang sengaja kamu lakukan. Meski, kamu hilang dengan ratusan kesal karena rasa cemburu yang berlebihan. Bagiku, kamu masihlah seorang yang baik di ingatan. Bagiku, tidak hanya senja saja yang terasa sejuk serta hangat, tetapi kamu juga.

Karena sebelum kamu pergi membawa banyak marah, membuat banyak salah, dan menuai banyak resah. Kamu adalah laki-laki yang selalu kutunggu kabar baiknya. Laki-laki yang kurindukan suara serta tawa juga ceritanya. Laki-laki yang setiap sore hingga pagi menemaniku berbincang mengenai sastra tulis juga kasih sayang.

Karena sebelum kamu menjadi begitu asing bagiku. Kamu adalah sosok yang berhasil membuatku cemburu, menahan rindu, dan memelodikan puisiku dengan syahdu. Sayangnya, kini tak bisa lagi begitu. Karena Tuhan sudah berkata, laki-laki baik itu bukan kamu. Kemudian, setiap pesan yang kukirim untukmu, tampaknya hanya berupa pesan yang terbang tanpa pernah tahu arah ke mana sebenarnya ia harus pulang.

Padamu, laki-laki bumi yang kuanggap baik, meski Tuhan tak setuju denganku, kuucapkan terima kasih sebab kamu telah menghancurkan hatiku, sekali lagi. Terima kasih sebab telah menjadikanku pihak ketiga di dalam hubunganmu, kemudian kamu tinggalkan tanpa kata.

Jika kamu bertanya, mengapa aku masih menulis tentangmu, itu karena kamu pantas abadi di dalam karyaku. Jika nanti kamu membaca ini, tolong maafkan aku yang masih merindukanmu. Padahal aku tahu, rindu itu hanya akan menuai luka baru di hatiku, tetapi tetap kulakukan sebab aku tahu kamu tetaplah laki-laki baik itu.

Tetaplah menjadi senja yang sejuk serta menghangatkan. Kamu sudah gagal menjadi senja untukku maka cobalah untuk menyejukkan serta menghangatkan manusia lain yang lebih membutuhkan. Telah kumaafkan segala salahmu, dan izinkan aku di sini tetap merindukanmu.

***

Author POV

Mika merasa matanya lelah dan berat. Mungkin karena menangis berjam-jam tadi pagi. Setelah itu Mika memutuskan tidur. Dia tak ingat apa-apa lagi. Pulas.

"Kamu udah bangun?" 

Mika kaget mendengar ucapan itu. Suara Devan. 

Devan duduk di sofa sambil memainkan ponsel

Mika menghela napas, lega menemukan sosok yang dulu hadir dalam mimpinya.

Devan memang baik, menemaninya, membuatnya tertawa dengan cerita-cerita lucu yang berbeda setiap hari. Devan tak pernah menyinggung soal hubungan mereka, atau membiarkan Mika minta 

maaf atas perlakuannya dulu. Maksudnya, apa yang papanya katakan pada Devan.

Mika masih ingat jelas kejadian itu. Papanya tak membolehkan dia pacaran sehingga memaki-maki dan mengancam Devan. Lelaki itu menghilang dan tak pernah lagi menemui Mika.

Devan pasti sakit hati, pikir Mika kala itu. Namun hatinya tetap memikirkan Devan, bahkan berharap Devan kembali padanya. Mika tak pernah jatuh cinta lagi setelah itu, meskipun banyak lelaki yang menyatakan perasaan padanya.

"Matamu sembap, pasti tadi nangis lagi."

Devan selalu memperhatikan Mika, memberi rasa nyaman, dan itu membuat Mika sedikit bersemangat. Namun dia tahu Devan tak mau 

berhubungan secara khusus dengannya. 

"Sudahlah, Mik, jangan ada lagi yang disesali," ucap Devan menenangkan. "Biarkan semua berlalu," sambungnya.

Selimut penyesalan tebal membuat Mika tak bisa mendengar apa-apa, selain hati kecilnya. "Bahkan setelah aku menjahati keluarganya, Anika masih mikirin tempat tinggalku nanti," ucap Mika di sela isakan.

Devan berdiri dari sofa, berjalan menghampiri Mika, merengkuh gadis itu, membiarkannya menangis lepas dalam pelukannya, yang ternyata membuat getaran halus itu kembali terasa.

"Kamu tahu kan, Anika orangnya baik."

Mika mengangguk. "Rasanya aku pengin mati aja, Dev," ucap Mika lemah.

Devan menelan ludah. "Dulu... saat kamu belum sekolah di Jakarta, Anika pernah hampir mati karena bunuh diri."

Mika menganga. Anika pernah bunuh diri? Yang benar saja!

"Saat itu kami bingung. Om Sultan nggak mau kasih tahu masalah Anika. Sikap Anika yang pendiam semakin membuat kami bingung," 

Devan berhenti untuk menarik napas, "tapi setelah tahu semuanya, aku mengerti kenapa sikapnya kayak gitu."

Devan menepuk punggung Mika. "Aku nggak bermaksud ikut campur, tapi kamu tahu, Mik, keluargamu salah. Sekarang seharusnya 

kamu tahu siapa keluargamu yang sebenarnya, siapa yang benar-benar care sama kamu."

Mika mengangguk. Devan masih tetap baik padanya, padahal... Ah, sudahlah. Memikirkan semua itu semakin membuat dia ingin 

mengakhiri hidupnya saja.

"Dev," panggil Mika lemah.

"Ya?"

"Boleh aku minta tolong?"

***

Bandung

Anika POV

Aku duduk selonjor, baru saja pulang dari rumah sakit mengantar Bunda terapi jalan. Bunda mulai bisa bicara, tapi masih susah bergerak.

Aku bangkit. Langit tampak jingga bercampur merah, menandakan matahari mencapai tempat peristirahatannya.

Aku memandang ke barat, berharap segera ada bintang yang berkerlap-kerlip di sana. Angin yang sepoi membuatnya tertidur.

Saat mataku menutup, bayangan tentang kejadian di Jakarta muncul di pikirannya. Mulai sejak saat bertemu Devan, Rangga, dan Lukas di bandara, bertemu Satya di kampus, bunuh diri, dan... aku membuka mata. Bayangan itu menghilang seketika. Aku tak mau mengingatnya lagi. Semua sudah usai dan aku ingin menikmati hidup baru di Bandung.

Aku sudah memutuskan.

Drrrttt... drrrttt...

Aku merogoh ponsel, melihat nama di layar.

Satya.

Aku menggeleng pelan, melepas SIM Card dengan cepat dan membuangnya entah ke mana. Aku ingin membuang kepahitan masa lalunya, mengganti dengan kebahagiaan.

"Anikaa..."

Panggilan Nenek menyadarkanku dari lamunan.

"Iya, Nek."

Nenek menunjuk setumpuk bungkusan.

"Ada apa, Nenek?" tanyaku.

"Itu ada kiriman dari Jakarta."

Barang serta surat kepindahannya ke Bandung dikirim Om Sultan beberapa hari lalu.

Di kamar, aku duduk di ranjang sambil menatap kiriman itu. 

Itu jelas dari Om Sultan, tapi entah kenapa hatiku tak yakin. Aku terdiam beberapa lama, menimbang-nimbang. Tapi alamatku di Bandung hanya diketahui Om Sultan. 

Saat membuka paket itu, aku kaget. Ada album foto dengan sampul biru tua. Di depannya tertulis jelas:

To Anika.

Aku membuka album tersebut, mengerutkan dahi saat melihat foto masa kecilku di halaman pertama. Rahangku mengeras. Itu bukan dari Om Sultan, tapi dari seseorang yang meminta Om Sultan mengirimkannya kepadaku. Aku menghela napas saat membuka halaman selanjutnya.

Aku mengusap wajah kecilku di foto, yang terlihat ceria bersama keluargaku yang bahagia. Bunda, Ayah, dan Adena. Adena masih bayi.

Aku tersenyum miris saat mendapati di halaman selanjutnya, foto-foto diriku bersama Mika bertebaran. Aku menutup album foto tersebut dengan kasar.

Mmm... aku tahu siapa yang mengirimi benda tak penting itu.

Di dalam hati, aku masih menyimpan benci pada orang yang di tubuhnya mengalir darah Hilmar, walaupun tak sebenci dulu.

To Be Continued