Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 134 - Waktu Istiharat

Chapter 134 - Waktu Istiharat

Jakarta

Sultan POV

Malam itu, seandainya aku cukup berani untuk menyatakan perasaanku, aku ingin mengatakan perasaanku di dalam boks bianglala, ketika kami berhenti tepat di puncak ketinggian. Nyatanya, aku membiarkannya pergi begitu saja. Membiarkannya turun lebih dulu dari boks bianglala kami.

Lima menit setelahnya, hujan deras mengguyur kota kami.

Seperti kisah Romeo dan Juliet. Mungkin kisah itu terlihat romantis bagi remaja usia empat belas tahun, atau orang-orang di usia berapa pun, tapi itu benar-benar tidak realistis. Maksudku, aku tidak bisa menganggap akhir kisah ini sebagai akhir yang romantis. Seharusnya kisah cinta ini tidak berakhir dengan cara itu.

***

Serena POV

Ingin kamu bagi ataupun kamu urai. Segala bentuk perasaan pasti membutuhkan pengorbanan. Satu hal saat kamu ingin membaginya pada manusia baru, bahwa itu berarti kamu harus belajar mencintai dari awal lagi. Jika kamu ingin mengurainya pada semesta maka tebarlah bibit bahagia, agar hidupmu tumbuh penuh keharuman dan kebanggaan tanpa terpedaya.

Ketahuilah satu hal, bahwa setelah patah, hatimu memerlukan tempat istirahat yang nyaman versi diri masing-masing. Membagi perasaan setelah patah, sama halnya dengan kamu mengorbankan waktu istirahatmu, masa-masa bahagia, juga tenang dalam kesendirian.

Memang tidak salah, memulai jatuh hati lagi, kembali percaya dan menjalin segalanya dari awal lagi. Tapi, bukankah sendiri itu jauh lebih baik? Terlebih jika luka itu masih terasa sakitnya, dan mengawali kisah dengan yang baru bukanlah cara yang kubenarkan hanya agar kamu terlihat telah baik-baik saja.

Ingat, bahwa hatimu pun perlu untuk berehat dari penatnya terlukai, lelahnya percaya berulang kali, dan mungkin bosan sebab terus-menerus dikhianati. Jadi, pikirkan lagi, benarkah ingin kamu bagi perasaan itu pada yang baru atau mengurainya pada semesta? Keduanya memiliki sisi lain yang harus dikorbankan.

Jika kamu membaginya pada yang baru maka yang kamu korbankan adalah waktu istirahat bagi hatimu yang tengah dalam keterpurukan. Jika kamu mengurainya pada dunia maka mungkin setelah lukamu sembuh, kamu akan merasa kesepian sebab istirahatmu terlalu melenakan.

Kuserahkan padamu yang tengah patah, mana yang ingin kamu jalani. Sebab aku telah melalui dari keduanya. Bisa kukatakan, mengistirahatkan hati jauh lebih nikmat meski harus merasa sepi, ketimbang memulai dengan yang baru hanya untuk menutup luka dari masa lalu. Itu tidaklah menyembuhkan, melainkan menambah lukanya semakin dalam.

***

Rumah kontrakan ini berangsur sunyi ketika semua teman Tina dan Nisya satu per satu mulai bepergian. Kesunyian serasa datang mendadak. Aku memandang Tina yang duduk diam di kursi makan. Ini akan semakin buruk, aku membatin. Aku berdiri, meraih dua koper dan menyeretnya begitu saja ke kamarku. Beberapa menit kemudian Tina berdiri dan ikut menyeret kopernya ke kamar di sebelah kamarku. Pintunya menutup perlahan. Aku mencoba mengingat hal lebih buruk apa yang pernah aku alami.

Tidak ada. Ini yang terburuk,

Aku menghela napas. Setahun itu singkat, aku menghibur diri. Begitu ini semua berakhir aku akan berusaha mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri, pergi sejauh-jauhnya dari negeri ini, membuang jauh-jauh kenangan buruk tentang pernikahan, dan membunuh obsesi bodohku tentang seorang Rangga.

***

Satya POV

Aku menatap langit, nanar. Hampir sebulan aku tak bertemu Anika, bahkan tak dapat menghubunginya di ponsel karena gadis itu mengganti nomornya. Email yang aku kirim tak kunjung dibalas.

Rasanya aku sudah kehilangan Anika. Dia memutuskan pindah ke Bandung setelah ibunya bangun dari koma. Mungkin dia akan pindah kuliah di tempat yang jauh.

Sebetulnya tak masalah dengan jarak, asal hatiku bersama Anika, begitu pikirku. Aku tahu diriku salah, membuat hati gadis itu hancur karena aku memutuskan memilih Tina.

Aku baru merasakan penyesalan sekarang. Dan tentu aku tak menyukai perasaan itu. Tidurku menjadi tidak nyenyak. Hatiku gelisah karena selalu memikirkan Anika.

"Masih galau?"

Aku kaget saat menengok ke belakang melihat Om Sultan. Juga Lukas, Devan, dan Rangga, yang sepertinya datang bersama Om Sultan.

"Aku tidak galau, Om."

Om Sultan terkekeh. "Bagaimana? Dia berhasil mengacak-acak perasaanmu?"

Aku menghela napas. "Bukan itu lagi, hati ini hancur rasanya."

Devan tertawa geli mendengar ucapanku. "Aah, ntar juga kamu move on dengan cepat!"

Aku mendengus. "Maksudmu apa?" jawabku tak terima.

Om Sultan menepuk pundakku. "Sudahlah, dia sudah sangat bahagia dengan ibundanya di sana."

Aku mengangguk pelan. Aku tak suka terlalu diperhatikan seperti ini oleh Om Sultan, Devan, Lukas, maupun Rangga. Namun aku juga tak bisa berbohong, absennya Anika dalam kehidupanku sekarang menimbulkan lubang dingin yang begitu besar dalam hati.

Aku tak merasakan getaran halus itu dari Tina. aku hanya memimpikan Anika setiap malam. Aku ingin Anika kembali.

Aku kaget saat menyadari ponselku bergetar.

Unknown number terlihat jelas di sana. Aku menatap Devan, Om Sultan, Lukas, dan Rangga secara bergantian. Aku mengangkat panggilan itu,

"Halo..."

Diam.

"Halo, ini siapa ya?"

Masih diam.

Aku mulai kesal. "Haloooo, ini siapa sih? Kalau tidak dijawab, aku tutup nih teleponnya."

Aku mengerjap, kemudian memutuskan sambungan telepon, setelah sempat mendengar helaan napas berat di seberang sana

***

Bandung

Anika POV

Aku sudah mengganti nomor ponsel dengan yang baru. Tentu saja belum ada yang tahu. Malam itu aku merasakan rindu yang luar biasa.

Tubuhku bergetar, teramat rindu pada orang yang mewarnai hariku dulu. Aku ingin mendengar suara orang yang pernah mengetuk pintu hatiku itu.

Aku menghela napas, kemudian mengambil ponsel, mencari nomor yang kuhafal dengan cepat, lalu menyentuh tombol Call.

"Halo..."

Jantungku berdegup cepat saat mendengar suara berat yang aku rindukan.

"Halo..."

Aku tak berniat menjawab, menutup mata sambil menikmati apa saja yang Satya katakan.

"Halooo... ini siapa sih? Kalau tidak dijawab, aku tutup nih teleponnya."

Aku mendengar bunyi sambungan terputus sesaat kemudian. Aku menarik napas panjang, tanganku bergetar hebat, ponsel masih menempel di telinga meskipun tahu sambungan sudah terputus. Terputus untuk selamanya. Karena aku berjanji untuk 

meninggalkan semua kenangan bersama pemuda itu di Jakarta.

"Ini aku. Anika," ucapku lirih. Tidak kepada siapa-siapa.

To Be Continued