Flashback On
Bandung
Sultan POV
Perihal mencintai, setiap kali ditanya, aku selalu menjawab, mencintai itu ibarat sepasang kekasih yang mengantre untuk menaiki bianglala. Saat kosongnya tepat berada di giliran kita, yang perlu diperhatikan adalah, masing-masing di antara kita harus mengenggam tangan salah seorang yang lain, memastikan keduanya siap berada di dalam yang sama, tanpa ada keraguan. Tanpa ada orang ketiga di dalamnya selama bianglala berputar. Sehingga, selama menaiki bianglala, kita dapat merasakan hal sama bersama-sama: rasa takut akan ketinggian ketika bianglala berada di batas puncak ketinggian, rasa deg-degan ketika bianglala berputar ke bawah, dan di antara kedua rasa tersebut, kita harus mengeratkan genggaman dan saling menyakinkan: aku akan selalu ada untuk kamu, dan kamu akan selalu ada untuk aku.
Sesederhana itulah mencintai. Dan, merasakan cinta pertama berarti merasakan untuk kali pertama pengalaman naik bianglala. Tentang rasa pertama akan kehangatan sebuah genggaman tangan; saat berada di sebuah tempat yang sama, berdua. Bianglala pertama kulalui ketika SMA, tepatnya di sebuah pasar malam. Yang tidak pernah kusadari sebelumnya, bahkan cinta itu sendiri tidak pernah datang dengan diduga, sebab saat kita menduga akan menaiki bianglala sendirian, cinta itu datang dari antrean di belakangmu, pintanya, "Mau... menemani aku naik bianglala?"
Flashback Off
***
Jakarta
Ruby POV
Aku terbangun di dini hari yang memaksaku merindukanmu lebih dari biasanya. Tak banyak yang bisa aku lakukan. Hanya berulang kali menatap layar ponsel, melihat foto profil wa milikmu, tanpa berani untuk mengirim pesan singkat atau menelponmu.
Ya, selalu begitu. Setelah kita menjadi begitu asing, aku tidak memiliki keberanian untuk menyapamu lagi. Aku terlalu takut mengganggumu, membuatmu kembali mengingat pertengkaran kita, dan mengacaukan hari-hari bahagiamu kini. Aku takut semua itu terjadi.
***
Mika POV
Aku terbangun karena mendengar decitan pintu. Suster masuk membawa sarapan. Selalu seperti itu. Setiap hari suster mengantarkan makanan sambil tersenyum.
Aku membalas senyuman itu dengan canggung. "Makasih ya, Sus," ucapnya ramah.
Suster itu mengangguk dan memberesi tempat tidurku.
"Lelaki yang tiap hari datang ke sini, pacarmu?"
Wajahku memerah seketika. Devan memang setiap hari datang menemaniku, sejak pulang kuliah sampai aku tidur, bahkan hari Minggu Devan sudah ada di sini sebelum aku bangun.
Terkadang Devan mengajak teman-teman, seperti Rangga, Lukas, dan Ruby. Satya yang kukenal sebagai pacar Tina juga turut menemani.
Sudah jam sebelas siang. Aku ingin segera pulang. Pulang?
Aku menggigit bibir. Pulang ke mana? Aku kan tak punya rumah lagi. Harta pun sudah disita bank. Aku benar-benar jadi gelandangan sekarang.
Aku menikmati sarapan dengan lahap. Aku tak punya uang, tinggal beberapa ratus ribu yang tersisa di dompet. Ah, aku punya akal. Uang segitu masih bisa untuk mencari tempat kos sementara.
Aku harus bekerja. Keningku berkerut saat mendengar decitan pintu terbuka.
Om Sultan datang dan tersenyum cerah padaku. Aku membalasnya canggung. Itu pertama kalinya aku bertemu Om Sultan minus Anika, membuatku canggung bercampur takut.
Aku mengenal Om Sultan dari Aunty Ria, saat kami tahu orang yang mendukung di belakang Anika adalah paman yang dulu sahabat mendiang ayahnya Anika. Kami langsung mencari tahu seluk-beluk Om Sultan dan kekuatannya.
Lelaki tampan itu tersenyum padaku, meletakkan sekantong plastik—entah apa isinya, aku tidak tahu—di meja sampingku.
"Bagaimana? Kamu sudah baikan?"
Aku mengangguk. Deg-degan karena takut terjadi sesuatu padaku.
Om Sultan berdeham pelan, tahu aku gelisah berhadapan dengannya. "Jangan takut. Saya cukup akrab dengan Devan, Rangga, Lukas, dan Satya."
Aku mengangguk. "Ada apa... mmm... Om ke sini?"
Om Sultan tertawa dan memperlihatkan garis-garis halus di seputar bibirnya. "Saya hanya ingin menjengukmu."
Aku menunduk.
"Besok sudah boleh pulang?"
Aku menggeleng, tak tahu kapan diperbolehkan pulang. Dokter hanya mengatakan beberapa hari lalu bahwa aku bisa cepat pulang bila kondisiku baik-baik saja.
"Lho? Kata dokter tadi sudah bisa pulang," ucap Om Sultan bingung. "Ah sudahlah, barang-barangmu di mana?"
Aku menatap Om Sultan takut-takut. "Di apartemen sepupuku, Om."
Om Sultan tersenyum. "Saya ingin memberitahu, kamu kan... mmm... tidak punya tempat tinggal. Kamu boleh menumpang di paviliun keluarga om sampai kamu menemukan tempat tinggal yang cocok."
Aku terperangah. "Nggak usah, Om. Setelah keluar dari rumah sakit, saya mau cari kos."
Om Sultan mengernyit, tidak mengerti. "Baiklah. Kalau begitu, sampai kamu menemukan tempat kos," ucapnya mantap.
"Om..."
Om Sultan melirik.
"Maaf ya, Om"
To Be Continued