Flashback On
Bandung
Hara POV
Aku berjalan ke luar, sekarang berdiri di beranda wartel. Menekuni keramaian jalanan pasar. Wartel ayah menghadap ke utara, berseberangan denngan hamparan sawah penduduk.
Angin dingin bertiup cukup kencang, aku melipat kedua tangan di dada, masih memegang buku Hujan Bulan Juni. Tiba-tiba gerimis datang, satu dua air tumpah. Tanganku reflek melipat ujung lengan kemeja, lalu menadah butirannya yang jatuh dengan telapak tangan. Buku cream aku gapit di ketiak. Aku tersenyum, suka sekali dengan gerimis dan hujan.
"Hara?" seseorang menyapa.
Saat menoleh, aku mendapati Teh Sarah, pemilik Pustaka Sarah berdiri di ujung beranda kiosnya, di bawah plang besar bertuliskan 'Pustaka Sarah'. Beberapa kalil bertemu saat aku datang ke wartel membuat kami tahu satu sama lain, meskipun hanya kenal untuk say hello.
Aku menarik tangan dari titik air, mengeringkan dengan mengibas-ngibasnya. Mengulas senyum lalu berjalan menuju kios Teh Sarah.
"Dari kemarin aku melihatmu, tapi tak sempat menyapa. Bagaimana kondisi ayahmu?" tanyanya.
"Baik, Teh."
"Ohiya Teh, aku mau mengembalikan ini." Aku menunjukkan buku bersampul cream di tanganku.
Teh Sarah mengajakku masuk. Kios itu seluas sembilan meter, rak-rak ditata, buku-buku bersegel tersusun rapi, dipojok ruangan ada dua kursi memanjang dan buku bertumpuk-tumpuk di lantai sebelahnya. Menyisakan satu rak yang masih kosong.
"Maaf berantakan, aku belum sempat membereskannya." Teh Sarah menuju sebuah meja kecil dan mengambil sebuah catatan. "Kapan kamu meminjamnya?" Sadar bahwa ini pertama kalinya aku mengunjungi kios. Bersamaan dengan beberapa remaja masuk, masuk mencari komik Conan. Teh Sarah menunjukkan tumpukan buku-buku bekas. Lalu kembali membolak-balik catatan di depannya.
"Eh, bukan akku, teh, yang pinjam."
Teh Sarah mengangguk. "Semua buku yang keluar pasti tercatat. Hujan Dibulan Juni." Lisannya mengeja catatannya. "Oiya, Sultan yang meminjamnya. Kamu mengenal Sultan?"
"Sultan?" Aku mencoba setenang mungkin, padahal hatiku bergemuruh saat mengetahui nama pemuda yang datang kemarin bernama Sultan.
"Iya, Sultan yang meminjamnya kemarin. Pelanggan setia buku-buku di sini setiap akhir pekan. Biasanya dia akan mengembalikannya seminggu kemudian. Tapi memang tumben kemarin dia buru-buru dan hanya meminjam satu buku setelah mengembalikan tiga buku yang ia pinjam seminggu lalu." Teh Sarah menjelaskan.
"Oh iya, dia, meminjamkannya padaku." Aku menyerahkan buku itu pada Teh Sarah. Lalu beringsut menuju rak buku, melihat-lihat buku bersegel, majalah-majalah, berakhir ditumpukkan buku bekas. "Ini, buku-buku bekas, Teh?" Aku memastikan. Menimang satu dua buku, membuka lembar demi lembar.
"Iya, yang tidak bersegel itu bekas. Disini memang meminjamkan buku-buku bekas tapi ori, itu lebih baik dari pada buku bajakan, iya, kan?" Wanita itu meminta persetujuan.
Aku mengangguk setuju, sambil menyaksikan dua remaja seusiaku menyerahkan kartu pelajar pada Teh Sarah setelah menemukan komik yang mereka cari.
"Hatur nuwun, teh." lalu mereka pamit, meninggalkan kartu pelajar.
Aku lalu meraba buku-buku di rak lagi. Menemukan novel Harry Potter dan mengambilnya. "Ini harganya berapa, teh?"
Teh Sarah menyebutkan nominal sekian. "Tapi aku belum bawa uang," aku mengeluh. Tadinya aku ingin meminjam satu dua di antara buku-buku yang bertumpuk di pojok ruangan, tapi melihat dua remaja tadi menyerahkan kartu pelajar, aku mengurungkan, aku tak membawanya. Sama saja, mau belli baru, aku tak membawa uang juga.
"Bawa saja dulu, Hara. Kamu bisa membayarnya kapan saja." Teh Sarah menawarkan.
Aku tersenyum lebar, agak sungkan, tapi sepertinya aku memang butuh bacaan selama menjaga wartel, dan seri pertama Harry Potter menarik perhatianku.
"Ini!" Teh Sarah menyerahkan sesuatu.
"Apa itu?" aku mendekat. Menerima sebuah kartu pelajar.
"Milik Sultan, kan, sudah mengembalikan bukunya."
'Sultan Wardana' aku mengeja dalam hati. Siswa SMAS Alloysius 1. Salah satu SMA elit di daerahku. Potret pemuda itu ada di sisi kanan kartu."tidak bisa di sini aja, teh? biar diambil pemiliknya." aku merasa canggung, aku tadi tak bilang kalau secara harfiah tidak mengenal pemilik kartu pelajar ini.
Akan tetappi Teh Sarah bilang khawatir kartu itu hilang, jadi memaksa aku membawanya. Akupun tak memiliki alasan untuk menolak.
Di luar hujan semakin deras saat aku kembali ke wartel. Aku menarik napas panjang menyaksikan gemuruh butir-butir air yang jatuh melalui jendela kaca besar di sampingku. Aku suka hujan. Tanpa sadar sedari tadi tanganku terus menimang-nimang kartu pelajar berwarna putih dipadu biru itu. Sudut hatiku dengan jujur berbisik, ini adalah kabar baik.
***
Jakarta
Ruby POV
"Can i call you? I miss your voice."
Pesan itu mampir di aplikasi tak berdosa, Whatsapp. Setelah sebulan berlalu, akhirnya laki-laki itu menghubungiku lagi. Pada tengah malam, seperti biasanya. Entah mengapa aku tidak mengiyakan atau menolak permintaannya. Langsung saja aku hubungi dia, seperti biasa pula dia menyapaku dengan santai, "Hai?" Aku pun menjawab seolah sebulan lalu tidak pernah terjadi apa-apa. "Halo? Kamu apa kabar?"
Kemudian sapaan itu berlanjut menjadi obrolan panjang penuh canda tawa. Menyingkirkan segala beban, sesal, kesal, marah, salah juga kecewa yang tercipta. Hingga pagi menyapa, itu berarti obrolan kami harus terhenti saat itu juga. Ucapan terima kasih, permintaan maaf dan kalimat yang sempat aku rindukan darinya, "aku akan merindukan kamu," aku hanya terkekeh lesu mendengarnya.
Berpikir kembali, mengapa semudah itu dia ucapkan rindu saat hendak pergi? Sedangkan aku tidak memiliki keberanian mengatakan rindu bahkan ketika kami dibalut tawa pada obrolan tengah malam buta. Sekiranya itu saja yang bisa aku katakan hari ini, hari yang aneh, di mana aku harus kembali tertawa bersama pemilik suara yang membuatku menangis dengan tak terkendali.
***
Bandung
Anika POV
Aku mengerjap. Kenapa akhir-akhir ini aku bolak-balik berhubungan dengan rumah sakit? Baru saja keluar dari rumah sakit menunggui Mika, sekarang aku ke rumah sakit kembali untuk menemani Bunda.
Aku membuka pintu kamar Bunda. Bunda terbaring lemah dengan mata terbuka. Beberapa saat lalu, saat aku baru sampai di Bandung, Bunda masih menutup mata dan alat-alat medis tersambung
di badannya. Tapi sekarang Bunda sudah lebih baik.
Bunda menengok, tersenyum menyambut kedatanganku.
Aku berjalan setengah berlari, mendekati, lalu memeluknya.
Air mataku mengalir begitu saja. Aku bahagia karena Bunda sudah sadarkan diri dan kembali menemani hari-hariku. Aku tak peduli lagi dengan hal-hal lain. Yang aku tahu, Bunda sudah sadar dan
akan hidup bahagia dengannya.
"Aku seneng Bunda udah bangun," ucapku lirih, terisak.
Bunda menatapku, lalu mengerjap. Tertidur terlalu lama membuat sarafnya belum mampu bekerja normal sehingga yang bisa dilakukan hanya membuka mulut, mengerjap, mendengar, dan menggerak-gerakkan jari kaki maupun tangan.
Aku kaget saat pintu terbuka. Nenek masuk dengan beberapa suster dan dokter. Aku berdiri, memandang dokter dengan penuh harap.
"Waktunya terapi," ucap Nenek.
Aku mengangguk saja.
Selama terapi yang berjalan dua jam, aku menemani Bunda. Bunda diminta menggerakkan tangan. Aku yakin rasanya sakit.
Sekarang Bunda diminta berdiri sambil berpegangan pada tepi ranjang. Aku membantu Bunda berdiri. Nenek berada di sisi lain, turut membantu anaknya berdiri. Beberapa kali Bunda berjalan mengelilingi ranjang sambil terus berpegangan. Napas Bunda terengah-engah.
"Cukup terapi hari ini," ucap sang terapis sambil meminta Bunda duduk di kursi roda.
Aku mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, aku mendorong kursi roda Bunda dan membawanya ke taman rumah sakit.
Walaupun tak seluas rumah sakit di Jakarta, aku yakin pengobatan di sini yang terbaik. Aku belum mau kembali ke Jakarta, meskipun beberapa waktu lagi akan menjalani ujian semester ganjil.
Aku berlutut di depan bunda sambil menggenggam tangannya kuat. Menyalurkan energi positif untuk Bunda agar bisa sembuh secepat mungkin.
"Aku kangen Bunda," ucapku lirih.
Bunda hanya mengerjap, lalu berusaha mengangkat tangan untuk mengusap pelan kepalaku yang menunduk menahan tangis.
Aku menegakkan kepala. "Kenapa Bunda nggak pernah cerita bahwa penyebab kematian Papa adalah Om Arya?"
Bunda mengerjap sekali.
"Semuanya sudah selesai, Bun, aku sudah memberi balasan setimpal pada mereka."
Bunda kembali berusaha mengusap kepalaku.
"Adena udah ninggalin kita, bun. Bunda nggak pernah cerita bahwa keluarga itu membuat Adena depresi berat sampai akhirnya..."
Aku menerawang. "Akhirnya aku tahu alasan aku dikirim ke Hamburg. Om Arya pengin aku jauh dari Bunda dan Adena supaya bisa bertindak seenaknya pada Bunda, kan?"
Aku menghela napas. "Kenapa Bunda nggak bilang sama aku bahwa perusahaan Papa yang tiba-tiba menghilang itu diganti nama menjadi Hilmar Group?"
Aku menatap Bunda yang mengeluarkan air mata. Ia terpana, kemudian mengusapnya lembut. "Bunda nggak usah nangis."
"Aku sedih saat Bunda setuju aku dikirim ke Hamburg. Aku merasa dibuang," ucapku menumpahkan perasaannya yang terpendam lama.
"Tapi melihat bunda seperti ini aku menyesal menyalahkan bunda. Bunda lebih menderita daripada aku."
Aku tersedu di pelukannya.
Bunda mengusap air mataku.
Aku masih terisak. "Bunda harus sembuh. Jangan sia-siain perjuanganku."
To Be Continued