Kampus
Anika POV
Aku menatap nanar ke depan. Pemuda itu tengah berada di sana. Aku sudah memantapkan hati untuk tidak berhubungan apa pun lagi dengan pemuda itu. Sejak hari itu, ketika lelaki itu memutuskan segalanya, aku menghindari setiap kontak dengannya, termasuk kontak mata.
Namun tidak kali itu. Prof membagi mahasiswa sekelas menjadi beberapa kelompok, dan Nana kebagian satu kelompok dengan Satya, Callen, Olivia, dan Nadin. Sedangkan Lukas dan Rangga malah satu kelompok, sementara Devan di kelompok lain.
Aku mencoba bersikap tak acuh.
"Satya dari tadi perhatiin kita terus."
Aku menggeleng-geleng saja, tak membalas perkataan Nadin. Kalau aku memedulikan atau membalas tatapan Dio, tembok yang susah-susah aku bangun akan luruh begitu saja.
Aku tak ingin terbuai lagi.
"Ya udah, nanti pulang kuliah kita ke basecampku, lanjutin diskusi," ujar Callen selaku ketua kelompok.
"Mesti pulang kuliah nanti?" tanyaku, tak nyaman berlama-lama sekelompok dengan Satya.
"Iya lah. Kapan lagi?"
Aku manggut-manggut saja, setuju dengan ucapannya. Aku membereskan buku-buku, ingin beranjak ke kursi karena bel pulang segera berbunyi.
"Oh iya, An, kenapa kamu tidak masuk dua hari ini?"
Aku menghentikan langkah saat suara nyaring Callen terdengar begitu keras. Aku menyipit, melihat Satya sedang menatapku juga, sama seperti Callen, menunggu jawabannya. Namun aku hanya menggeleng, membiarkan pertanyaan itu terbenam dalam pikiran masing-masing. Aku tak akan menjawab kepada siapa pun, kecuali…
Aku merutuki diri sendiri. Aku tak boleh mengharapkan Satya, walau hanya sedetik.
***
"An, aku dan Lukas duluan ke basecamp ya." Rangga berpamitan dari arah pintu. Ketika mendapat anggukanku, ketiganya langsung menghilang dari kelas.
Aku menatap sekeliling. Teman sekelasku memang selalu begitu, meninggalkan kelas begitu bel berbunyi. Alhasil, aku yang suka bermalas-malasan membereskan barang-barangnya selalu ketinggalan.
Aku mengerjap saat Devan menepuk pundakku. Pemuda itu tersenyum sambil mengacak rambut belakangku.
"Ada apa?" tanyaku dingin
Devan menggeleng. "Aku duluan ya, Na. Aku mau ketemuan sama temen lama."
Aku menghela napas. "Ya udah, pergi aja," ketusku tanpa berpikir siapa teman lama yang dimaksud Devan.
Devan tertawa. "Jangan merasa kehilangan gitu dong, An. Besok kan kita ketemu lagi."
Iih, GR!
Aku memutar bola mata, menepuk lengan Devan dengan buku-buku yang akan dimasukkan ke loker hingga Devan meringis kesakitan.
Aku melihat Satya dengan ekor mataku sambil berjalan menuju loker di bagian paling belakang kelas, segera memasukkan buku-buku, kemudian mengunci loker dengan satu gerakan cepat.
Hening.
Aku berputar. Tubuhku menegang saat tau Satya masih berada di dalam kelas. Bahkan lelaki itu menatap diriku.
Aku tak bisa mengartikan tatapan itu tajam atau merindu. Aku menunduk, berjalan menuju bangku. Lebih baik aku cepat keluar sehingga tak masuk perangkapnya.
"Aku ingin bicara," ujar Satya lirih.
Aku melirik Satya dan menjawab cepat, "Tidak ada yang mesti dibicarakan."
"An, aku min…"
"SATYA!"
***
Author POV
Satya mengepal keras saat mendengar dengan jelas seruan dari luar kelas. Dio tahu siapa yang memanggilnya. Tina ada di sana. Sendirian. Padahal dia benar-benar ingin meminta maaf kepada Anika. Menjelaskan ketidakbahagiaannya, menjelaskan penyesalan yang datang menyergapnya.
Anika melangkah menuju bangkunya, memilih duduk kembali, menunggu Satya keluar sehingga dia bisa dengan bebas berjalan.
Karena kalau boleh jujur, adanya Satya beberapa meter darinya bisa membuatnya kewalahan, terutama untuk bernapas.
Anika merindukan Satya, tentu saja. Dia selalu merindukan Satya. Tapi hatinya begitu sakit saat melihat Satya memilih gadis lain. Dia membenci Satya yang memilih Tina.
Hatinya berdenyut nyeri.
Anika masih hafal bagaimana Satya memanggilnya, bagaimana Satya menyapukan perhatian lembut dalam hidupnya, kemudian… membuatnya jatuh. Semuanya menyisakan bekas yang amat dalam di hatinya.
Tidak. Sudah cukup rasa sakit itu.
Anika melangkah menuju pintu kelas, tapi berhenti saat suara lantang dari luar kelas memasuki telinganya.
"Kamu tidak pernah mengerti aku!"
Suara Tina.
"Kamu yang tidak pernah ngertiin aku, Tin! Cukup semua ke-childish-an ini! Aku capek berantem mulu."
Tina terdiam di ambang pintu. Dia berniat keluar, tak ingin mendengar percakapan ini. Namun bagaimana?
"Kamu! Kamu selalu bertindak semaumu. Aku pacarmu, Satya! Aku berhak nuntut perhatianmu!" Suara Tina bergetar.
"Udah deh, kurang kasih apa aku sama kamu! Kamu blokade aku dari temen-temen, aku terima. Kamu minta aku nggak usah latihan basket agar bisa nemenin kamu, aku terima. Kamu bilang aku nggak boleh deketin Anika, aku lakuin. Apa lagi yang salah?!" Suara berat Satya terdengar bergetar hebat, menahan amarah.
"Kasih sayangmu! Kasih sayang yang nggak pernah lagi kamu
kasih ke aku!"
Anika menutup mata. Dia seperti maling saja. Mendengar pembicaraan yang tak seharusnya dia dengar. Sungguh, dia merasa tak enak karena jadi terkesan menguping. Padahal mereka yang bertengkar keras-keras, batin Anika.
"Aku bilangin ya, semua berubah, Tina! Dunia aku udah lain."
Tina terisak pelan. "Aku sakit denger kamu ngomong kayak gini, Satya."
Suara Satya meninggi. "Siapa yang lebih egois, aku apa kamu? Mana yang lebih sakit di antara kita? Sekarang ini aku cuma sayang An…"
Suara Satya terhenti karena mendengar bunyi decitan pintu kelas terbuka.
Anika.
"Aku tidak bermaksud menguping," ujar Anika dingin, lalu berjalan
secepat mungkin meninggalkan pasangan yang sedang bertengkar
itu.
Sayup-sayup Anika masih mendengar lontaran Satya pada Tina.
"Puas?"
Anika menghela napas, berusaha tak peduli.
To Be Continued