Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 123 - Kebencian

Chapter 123 - Kebencian

Surabaya

Gwen POV

Apakah salah mencintai seseorang?

Pada satu waktu aku menemukan jawabannya: Tidak, tidak ada yang salah. Bagaimana mungkin afeksi disalahkan? Rasa itu datang tiba-tiba tanpa permisi. Mau seperti apa pun bentuk dan tingkah orang yang telah merebut perhatianmu, jika kamu suka, ya suka. Tidak ada yang salah dari hal itu. Aku pun meyakini dan menemukan jawaban dari pertanyaanku sendiri.

Aku tidak salah mencintai Rangga. Memimpikan hidup bersamanya, tidur di pelukannya, mendengarkan kisahnya, berdua menanti senja setiap hari, bukankah itu yang akan diimpikan setiap orang yang sedang jatuh cinta? Menyongsong hari demi hari bersama orang yang dicinta. Dan ... di sini aku duduk sendiri menatap langit di atas atap rumahku, menunggunya datang.

Kata-kataku tadi hanya sekedar kiasan saja. Tentu dia tidak akan pernah datang.

Wujudnya tidak hilang, dia masih ada. Bahkan lebih sehat dan bahagia dari sebelumnya. Hanya saja, Rangga tak lagi memanggil namaku sebagai kekasihnya. Dia tak akan pernah datang untukku.

Bagian dari diriku sakit ketika berpikir bahwa Rangga begitu dekat, namun terasa sangat jauh, jauh sekali hingga tidak bisa kusentuh.

Bukan hal yang mudah untuk menerima kenyataan, karena kami pernah punya cerita yang sangat indah, dan itu berlangsung tidak lama hingga aku yang mengakhirinya. Iya, akhirnya aku tanpa sadar meninggalkannya. Terdengar aneh, bukan?

Aku yang meninggalkannya, aku juga yang dibalut sedih.

Pepohonan di sampingku, daunnya telah berganti warna. Panjang batangnya bertambah sejak kali terakhir aku ke sini. Banyak burung berkicau, entah apa yang mereka celotehkan. Semua tampak berubah, tempat ini berubah, aku berubah, Rangga berubah, kami berubah.

Aku pernah melihat Rangga menunggangi kuda, menerjang garis horizon. Dia memang pecinta kuda, hewan itu juga tampaknya nyaman berada di dekatnya. Aku tidak pernah menyukai kuda. Kuda tidak pernah nyaman berada di dekatku. Mungkin, jika aku ingin pergi bersamanya menunggangi satu kuda yang sama, kuda itu akan melemparku dan dia akan berlari bersama Rangga. Mungkin, itu pertanya kalau aku tidak akan pernah bisa bersama Rangga.

Aku telah menjawab pertanyaanku sendiri. Tidak ada salahnya mencitai seseorang. Lalu, kenapa aku dan Rangga tidak bisa bersama? Kenapa cerita kami berhenti bahkan sebelum mencapai klimaks? Aku jatuh cinta kepada Rangga Wardana pada hari aku meninggalkannya. Aku bahkan belum sempat mengatakan kata yang seharusnya dia dengar berulang-ulang kali: 'I Love you'. Tidak adil, bukan? Bukankah seharusnya, jika cinta tidak pernah salah, dia akan menyatukan kami sampai waktu berhenti?Apakah ini artinya bahwa cinta bisa salah?

Dadaku terasa sesak.

***

Wardana's House

Anika POV

Sore hari aku memilih bersantai di taman belakang rumah yang ada kolam renang. Aku duduk di tepi kolam sambil mencelupkan kaki. Pikiranku melayang pada kejadian pulang kuliah tadi. Satya dan Tina bertengkar hebat.

Dan sepertinya hubungan mereka tidak dapat dipertahankan lagi.

Anikaaa... kamu mikir apa sih? aku menegur dirinya sendiri.

Tapi kalau beneran mereka putus bagaimana?

Aku menggeleng-geleng, tak boleh terus-terusan memikirkan Satya seperti itu. Memangnya dia bersedia sakit hati lagi? Namun, aku juga tak bisa membohongi diri. 

Duh, enaknya aku bersikap bagaimana sih?

Belum terjawab lamunanku, Om Sultan terlihat terburu-buru berjalan menghampiriku. Begitu sampai di dekatku, dia membisikkan sesuatu. Mataku membulat seketika.

***

Author POV

"Mika?!"

Anika hampir berteriak saat mendapati Mika duduk manis di ruang tamu. Gadis itu terlihat begitu kurus. Mungkin karena tidak makan beberapa hari atau menahan beban, entahlah. Mika tak peduli. Livia mati pun, dia tidak peduli.

"Kenapa ke sini?" sapa Anika ketus, menyilangkan tangan di depan dada, memandang Mika tajam, seolah ingin menikamnya. 

"Berani-beraninya ya kamu masuk ke kandang singa. Ckckck..." Anika mendekati Mika.

Mika menahan napas, memberanikan diri menatap Anika. Dia melihat sorot kebencian yang mendalam di wajah Anika, mengingatkannya pada apa yang dia lakukan setahun lalu.

Mika menunduk sambil memainkan jemari. "Aku… minta maaf, Anika."

"Untuk?"

Mika menarik napas panjang, benar-benar menunduk, tak mau memperlihatkan matanya yang memerah. "Untuk kesalahan Papa, untuk kesalahanku, dan perlakuan buruk keluargaku pada Mama dan Adena. Untuk semuanya."

Anika tertawa seketika. Tawa nyaring yang tak berisi, tawa menyindir. "Maaf kamu bilang?" Emosinya merambat naik.

Om Sultan menyentuh Anika, menahannya agar tidak menyakiti Mika. 

"Kamu pikir semuanya bisa diselesaikan dengan minta maaf?" Bahu Anika naik-turun karena menahan emosi. Hatinya teriris ingat dia dianggap pembawa sial oleh keluarga Hilmar, hatinya merintih pedih saat melihat tubuh Adena yang penuh memar dan mamanya terbaring koma.

Keluarga Hilmar kejam.

"KAMU NGGAK SADAR SEBERAPA BEJAT KELUARGAMU, HAH?" 

Anika hilang kendali hingga melayangkan tamparan keras ke pipi Mika.

Plak…

Om Sultan memejam saat menyaksikan itu.

"Kita pernah bersahabat, Mika," ucap Anika bergetar, "tapi kamu malah menganggap kamu sebagai penyebab kematian papamu."

Anika menarik napas panjang, mendinginkan hati.

"Aku tahu sejak awal Aunty Ria dan Uncle Nicky tidak pernah suka denganku. Aku tahu, dan Mama pasti juga tahu. Tapi aku bertahan, Mika!"

Mika tak bereaksi apa pun.

"Sampai aku tahu penyebab kematian papaku karena papamu melumeri kalium sianida di rokok dan setir mobilnya! Sampai aku tahu tubuh Bunga biru dan mengalami depresi berat! Sampai aku tahu perusahaan Papa diambil alih papamu secara diam-diam!" 

"APA KAMU YAKIN AKU BAKALAN MAAFIN KAMU, HAH?"

Anika kalut. Pandangannya kosong. Kebencian yang begitu dalam membutakannya. Anika mengambil vas di tengah meja, kemudian mengempaskannya dengan kasar ke lantai.

Praaanggg…

Air mata mengalir di pipi Anika. Gejolak emosi berubah menjadi air mata kepedihan yang dia tahan lama. "Sakit, Mika! Coba aja kamu jadi aku," ujar Anika miris. 

Mika berlutut di hadapan Anika, tanpa memedulikan serpihan vas yang mengenai lutut dan kakinya.

Anika masih tak bisa mengendalikan emosi. "Berdiri!" hardiknya keras.

"Maaf, An, aku minta maaf. Tolong, tolong aku, An."

Anika mendorong tubuh Mika. Karena lemas dan tumpuannya tak kuat, Mika jatuh membentur tepian meja. Bagian belakang kepalanya mengeluarkan darah. Mika pingsan.

Anika terkesiap, mundur beberapa langkah. Saat tubuhnya menabrak dinding, tubuh Anika merosot, terduduk di lantai dan menangis.

Menangis karena menahan derita begitu lama.

To Be Continued