Kampus
Anika POV
Devan mengetuk pelan kepalaku. Sejak tadi pemuda itu mengekoriku. Entah apa modusnya. Yang aku tahu aku risi diikuti Devan.
"Apa sih?" ucapku mulai kesal.
Devan tertawa, senang aku sudah kembali seperti pertama kali kami bertemu di bandara.
"Ingat, dulu kamu juga ketus gitu sama aku pas pertama kali kenalan?"
Benar juga. Aku sadar banyak perubahan yang aku lalui. "Ya, terus?" ucapku akhirnya. Aku melambai kepada penjaga kantin yang mengantar pesanan kami. "Makasih ya, Mbak," ucapku.
Mbak penjaga kantin itu tersenyum. Wajah ayu khas Jawa yang dimiliki si Mbak mengingatkanku pada mamanya.
Aku mengikuti garis wajah Papa. Tidak terlalu lembut, tetapi juga tidak terlalu keras.
"Kamu ngapain aja sih dua hari ini?"
Aku memilih memasukkan bakso bulat-bulat ke mulut.
Setelah selesai menelan, baru aku menjawab pertanyaannya.
"Liburan," ujarku asal.
Aku memandang Devan yang tengah memikirkan sesuatu, tahu pemuda itu tak percaya jawabanku. "Aku bohong, hehehe..."
Lagi-lagi Devan terkesiap.
"Aku bantuin Om Sultan supaya kasusnya cepat kelar," terangku, lalu menyeruput jus jeruk.
Devan sama sekali tak menyentuh bakso. Dia sibuk berpikir. Kalau tidak menatap kosong ke depan, dia asyik memainkan bakso dengan sendok tanpa memakannya.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
Devan menatapku yang memandangnya bingung, kepalanya digelengkan beberapa kali, menjelaskan dia tak memikirkan apa-apa. Tapi Devan tak bisa berbohong.
"Kamu lagi mikirin seseorang?" tebakku. Siapa lagi kalau bukan saudara tirinya itu? Sejak tahu Devan pernah pacaran dengan Mika, diam-diam aku jadi sering memperhatikan Devan. Aku penasaran, bagaimana Mika bisa bertekuk lutut pada pemuda itu?
"Kalau Satya datang lagi ke hidupmu, kamu terima nggak?"
Kenapa Devan harus merusak selera makannya dengan menyebut nama lelaki itu sih?
"Maksudmu apa?"
Devan menggeleng. "Aku hanya bertanya, An. Berandai-andai aja."
Aku mengangkat bahu "Aku tidak peduli."
"Cinta pertama mu…?" Aku baru saja mau menyebut nama Mika, tapi keburu sadar bahwa Devan akan banyak bertanya bagaimana aku bisa tahu hal tersebut.
Devan mengangguk pelan. "Padahal aku suka sama kamu."
Aku memutar bola mata. "Kita sedang bicarain kamu, Dev."
Devan mengangguk-angguk. "Oke, back to topik."
Aku mengembuskan napas kesal, kemudian menyikut perutnya. "Menyebalkan." Lalu menghambur ke luar dari kantin.
***
Serena POV
"Maaf, aku menyusahkanmu..."
Lirih suara Tante Anita mengucapkan kalimat pendek itu. Aku hanya mengangguk, lidahku kelu. Bahagia membuncah di dadaku. Aku tidak mengira bisa mendengar suara itu lagi, meski masih terlihat lemah, setidaknya dokter meyakinkan jika Tante Anita mampu bertahan. Siang ini Tante Anita telah dipindahkan ke kamar VVIP sesuai permintaan Om Rama via telepon. Setelah aku mengabarkan kondisi sang istri.
Haru menyelimuti hatiku. Tak dipungkiri pikiran buruk berkali-kali melintas dibenakku. Namun, selalu aku tepis dan menumbuhkan keyakinan jika Tante Anita pasti akan baik-baik saja.
"Tante harus sembuh. Aku tidak mau lihat Tante sakit seperti ini."
"Aku juga tidak mau, Ren, tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian," aku menggenggam tangannya yang dipasangi infus, "dokter bilang, sudah enam bulan Tante tidak pernah kemo lagi."
Tante Anita terdiam mendengar aku menyela kalimatnya. Memang tidak ada yang bisa ditutupi lagi. Mungkin Tante Anita ingat Om Rama. Pasti Om Rama Shock mendengar penyakit yang mati-matian Tante Anita sembunyikan.
"Apa, Mas Rama..."
"Iya. Om Rama sangat terpukul, Tan. Apalagi dia tahu bukan dari mulut Tante sendiri, seperti yang kubilang."
Ingin rasanya aku mengadukan tindakan kasar Om Rama terhadap Rangga, tetapi aku menelan lidah. Tante Anita baru saja siuman, aku tak mau menambah beban pikiran Tante Anita.
"Di mana, Mas Rama?"
"Dia..."
"Anita!"
Atensi kami teralihkan ketika mendengar pintu dibuka tergesa dan menampilkan sosok Om Rama dengan raut cemas. Pria itu menyongsong Tante Anita yang menatap sang suami dengan mata berkabut. Pun sang pria, dia menghambur memeluk tubuh sang istri, dia mendekap erat seolah takut wanita itu menghilang.
"Jangan seperti ini lagi, An. Aku mohon..." lirih Om Rama di telinga Tante Anita, berkali-kali mengecup puncak kepala sang istri dengan cinta yang membuncah.
Terdengar isakan kecil dari bibir Tante Anita, membuat suasana mengharu-biru. Siapa saja yang melihat adegan itu pasti akan meneteskan air mata. Pun aku, aku diam-diam keluar dari kamar rawatnya. Membiarkan kedua orang yang saling mencintai melepaskan ketakutan masing-masing.
To Be Continued