Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 117 - Permainan dan Permintaan

Chapter 117 - Permainan dan Permintaan

Kampus

Author POV

Mika terdiam menyaksikan itu semua. Anika dan Devan berpelukan di depan matanya. Hatinya terasa teriris. Dia masih menyayangi Devan hingga sekarang.

Tubuh Mika mematung saat Anika mengarahkan cutter ke pundak Devan. Mika menganga, tak percaya. Nana kembali mengancamnya, mengancam lewat Devan. Tak puaskah Anika menghancurkan semuanya?

Mika melangkah mundur. Hatinya sakit, sadar bahwa Devan jatuh ke tangan Anika. Dan sekarang Anika malah mempermainkannya dengan kematian.

Anika begitu tahu Mika tak ingin melihat Devan terluka, dan itu benar-benar dimanfaatkannya.

Air mata Mika jatuh, kecewa dan takut.

***

Anika tersenyum sinis mengingat kejadian tadi. Selepas kepergian Mika, dia melepas pelukan Devan, melipat cutter, kemudian menggenggamnya erat. Dia hanya ingin sedikit bermain-main dengan Mika. Lagi pula, mana mungkin cutter tumpul itu bisa menembus kulit Devan?

Devan mengajak Anika pulang bersama.

Anika menggeleng. Menolak. Dia ada urusan dengan Om Sultan setelah pulang kuliah. Dan dia memutuskan pergi ke kantor sendirian.

***

Restoran

Serena POV

Aku meremas tali selempang dengan kuat. Langkahku berhenti tepat di pintu masuk restoran. Aku menggigit bibir bawah seraya menimbang perlu tidaknya menemui seseorang yang sedang menunggu di dalam restoran. Menghela napas perlahan dan menutup kelopak mata, sambil menguatkan diri agar nanti kuat mendengarkan apa yang ingin dibicarakan sosok di dalam sana.

Aku memanjangkan leher. Mataku celingukan melihat ke sekeliling restoran. Pada satu titik, mataku menangkap lambaian tangan seorang pria. Aku berjalan perlahan mendekati pria tersebut.

"Akhirnya kamu datang," sapa pria itu.

"Sorry terlambat. Apa yang mau dibicarakan?"

Pria bernama Rangga itu menghela napas pelan. "Apa Mommy Anita sudah bicara padamu?" tanyanya pelan, terkesan hati-hati.

Dahiku berkerut mendengar pertanyaan Rangga. Hatiku mulai menerka, jika apa yang akan dibicarakan pria ini tentang permintaan Tante Anita kemarin.

"Tentang apa?" Aku mencoba berkelit. Sungguh hatiku mulai merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan Rangga.

"Mommy memintaku menikah denganmu."

Begitu ringan Rangga mengucapakan kalimat itu, seolah apa yang dia katakan adalah hal yang biasa, membuatku hanya menatap tak berkedip pada pria berkulit putih itu.

"A-aku tidak mengerti apa maksudmu." lirihku setelah sadar dari keterkejutanku.

Rangga pun mengangguk. "Aku juga tidak mengerti apa yang dipikirkan ibu tiriku itu. Dia berkata mungkin dengan menikah lagi, aku bisa memberikan cucu pada keluarga Wardana. Dia bilang kamu orang yang cocok untuk menjadi istriku."

"Maaf, Aku tidak bisa" tolakku lirih.

Dahi Rangga berkerut. "Aku juga tidak menyetujuinya. Itu adalah ide tergila yang pernah kudengar. Apalagi aku dirumah tak pernah membahas soal anak." tutur Rangga blak-blakan.

"Lalu, apa maksudmu ingin bertemu denganku?" tanyaku tak mengerti.

"Begini." Rangga menegakkan punggungnya. "aku ingin kamu menolak ide gila itu. Aku tidak peduli seberapa keras dia meminta, yang jelas aku tidak akan pernah menduakan istriku."

"Harusnya kamu yang mengatakan itu sama ibu tirimu."

Rangga mengusap kasar wajahnya. "Kamu tahu kan? selicik apa wanita itu. Kalau dia ingin sesuatu pasti akan dia lakukan. Jadi, sekarang kuncinya ada padamu. Kamu harus tolak ide gila itu."

Aku mengangguk. "Aku sudah menolaknya. Tapi, Tante Anita terus mendesak."

Rangga terdiam dengan dahi berkerut. "Apa wanita itu mengatakan alasan lain padamu?"

Aku diam sejenak. "Tante Anita hanya mengatakan tak ingin melihat kamu terus-terusan bersedih karena Gwen, dan melihatmu terus bertengakar dengan Om Rama."

"Apa itu benar?" Rangga mencoba meyakinkan dirinya dengan bertanya kembali.

"Kalau memang seperti itu, sebaiknya kamu turuti saja keinginannya," putus Rangga setelah berpikir cukup lama.

"Apa kamu sadar dengan ucapanmu?" suaraku sedikit bergetar mendengar kalimat yang meluncur dari bibirnya.

Rangga menjawab dengan cepat. "Aku sangat sadar."

"Tapi, bukankah tadi kamu sendiri yang menolak, lalu bagaimana dengan Gwen? Kamu tega menduakannya?" kali ini suaraku terdengar sedikit meninggi. Untung saja Rangga memilih tempat duduk di pojok restoran, dekat dengan jendela. Jarak yang sedikit jauh dari meja-meja lain, membuat kami tidak menjadi perhatian publik karena suara kerasku.

"Kedua orangtuaku yang mengusulkan agar aku menikah denganmu. Mereka bilang, kamu adalah calon yang pas untuk menjadi menantu keluarga Wardana." Rangga berdalih. "Lagipula, ini bukan pernikahan yang seperti kamu pikirkan. Hanya agar posisi menantu dalam keluargaku tidak kosong. Aku juga tidak suka setiap kali orangtuku terus menyalahkan Gwen karena masalah ini."

"Dan kamu memilih mengorbankanku?!" sengitku. Sungguh aku tidak mengerti apa yang dipikirkan pria ini.

"Aku harus bagaimana? Aku muak setiap pertemuan keluarga besar orangtuaku terus saja membicarakan kepergian Gwen, aku selalu sabar mendengar cercaan mereka, tapi yang aku tahu, aku harus melindungi nama baik istriku. Jika dengan menikah lagi akan membuat mereka tenang, maka aku akan melakukannya."

"Maaf, Rangga... aku benar-benar tidak bisa." Aku menundukkan pandangan saat mengucapkan penolakan itu.

Terdengar hembusan napas berat di depannya. "Pikirkan lagi, Ren, ini demi Gwen. Orangtuaku hanya mempercayai kamu sebagai menantu mereka."

"Lalu bagaimana selanjutnya setelah aku setuju dengan ide ini? Apa aku akan benar-benar mendapatkan hakku sebagai seorang istri?" tanyaku lugas sekaligus penasaran. "Meski orangtuamu mengizinkan, tapi aku tau, tak satu pun wanita di dunia ini yang rela berbagi, apalagi suami."

Rangga menatap cangkir kopi yang sudah mendingin. Hening sejenak mengambil tempat di antara keduanya sesaat. Lalu, pandangannya naik ke arahku, lekat dan lama.

"Aku akan melakukan apapun agar aku tidak kehilangan Gwen. Wanita iblis itu mengancam akan mencelakai Gwen jika aku menolak ide ini," ujar Rangga akhirnya dengan nada lemah.

Aku tertegun mendengar penjelasan Rangga. Ada denyut nyeri kala mengingat seseorang. Andai, sosok itu juga mencintai diriku sebesar Rangga mencintai Gwen, tentu aku akan menjadi wanita paling bahagia di dunia.

"Aku tidak mau menjadi tameng. Mungkkin kamu dan orangtuamu perlu bicara dari hati ke hati bukan ikut menyeretku dalam pusaran masalah kalian," tolakku tegas. Aku tidak ingin mengorbankan diri hanya untuk sebuah pernikahan sandiwara. Lagipula aku juga takut terkena dampak di masa depan karena mempermainkan hubungan sakral ini.

"Aku akan membayar untuk itu."

Kalimat pendek yang diucapkan Rangga seperti anak panah yang membidik dan meluncur tepat di jantungku. Aku berdiri dengan cepat, hingga kursi bergeser ke belakang dan menimbulkan suara gesekan yang cukup keras.

"Aku tahu, kamu dan keluargamu sudah membuat keluargaku bangkrut dan jatuh miskin, tetapi bukan berarti kamu bebas merendahkanku. Sebaiknya kamu cari saja wanita lain yang mau menuruti ide gilamu!"

Setelah memuntahkan ketersinggunganku, aku bergegas meninggalkan restoran itu diiringi tatapan penuh tanya dari pengunjung. Aku tidak mengira, Rangga yang aku kenal dulu adalah pria yang bijak, mampu berpikir sepicik itu. Ternyata, tak cukup menilai seseorang dari luarnya saja.

"Serena, tunggu!"

Aku menoleh, aku tidak mengira Rangga mengekori langkahku keluar restoran. Pria itu menarik lenganku yang kemudian ditepis kasar olehku.

"Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Kurasa ini jalan terbaik untuk menyelamatkan rumah tanggaku dari rongrongan keluargaku. Percayalah, aku tidak akan menyentuhmu. Setidaknya, sampai Gwen mau pulang ke rumah. Setelah dia pulang, kita akan bercerai."

Aku tertegun mendengar ucapan Rangga. Entah mengapa ada sedikit iri bercokol pada diriku.

"Apa Gwen tau ide gila ini?"

Rangga menggeleng lemah. "Dia pasti akan membenciku. Baginya pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Aku tak pernah berniat menduakannya, tetapi jika dengan menikah denganmu bisa mendamaikan keluargaku, maka akan kulakukan, meski dengan cara seperti ini. Tenang saja, aku akan membayarmu sangat tinggi dan menjamin masa depan keluargamu," tutur Rangga tanpa ada keraguan di nada suaranya.

Aku diam sejenak. Aku mengalihkan mata menatap jalanan. Gerimis telah turun perlahan, orang-orang yang berlalu lalang mulai mempercepat langkah untuk menghindari rinai yang menetes dari mega mendung. Ada yang menancap di relung hatiku, sesuatu yang membuat dadaku perih. Rangga begitu mencintai Gwen, hingga kini dia menyetujui pernikahan yang demi nama baik istrinya, lalu tanpa basa-basi mengutarakan ide gila tadi dan mengimingkan dengan lembaran rupiah. Aku tersenyum miris menyadari besarnya cinta mantanku ini pada Gwen, membuat setan mengembuskan dengki ke hatiku. Setelah lama terdiam dan bergelut dengan ego, aku kembali menatapnya.

"Aku wanita biasa. Memiliki cemburu dan iri di dalam hati. Jika, kamu ingin menikahiku, maka aku ingin menjadi satu-satunya. Ceraikan Gwen," pintaku tegas.

Rangga hanya mampu menatapku dengan sorot terkejut. Dia mungkin tidak mengira aku akan mengajukan syarat yang tidak dia duga sebelumnya. Sepi segera menyelimuti, bersama dingin yang membelai tubuh kami, lalu rinai berubah menjadi hujan.

To Be Continued