Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 118 - Karma

Chapter 118 - Karma

Wardana's Corp

Anika POV

Saat aku tiba, Om Sultan baru masuk ruangannya. Lelaki itu baru saja selesai meeting.

"Mood kamu sedang baik?"

Aku mengangguk semangat. Tentu saja, aku baru mendapatkan kepuasan dari kekecewaan Mika. Aku memandang bingung pada laporan yang dibawa Om Sultan. Aku mengambil dengan cepat laporan berbentuk buku tersebut, membukanya hati-hati dan perlahan.

Juni 2007

Mahes Group mengalami kebangkrutan dan menghilang dari dunia bisnis. Selepas meninggalnya Direktur Utama.....

Aku menahan napas saat membacanya. Hatinya menyesak, mengentak-entak, seperti ingin segera diberi penawar. Aku membaca artikel selanjutnya

November 2007

Hilmar Group, perusahaan yang baru saja didirikan pebisnis muda, berhasil mendapatkan keuntungan besar dalam proyek...

"Nicky Hilmar yang pernah bekerja sebagai manajer di Group Mahes…" Aku membaca perlahan kalimat tersebut, kemudian menatap Om Sultan yang tersenyum lebar.

Om Sultan mengusap rambutku. "Bukti yang berhasil Om kumpulkan beberapa waktu ini. Lengkap sudah bukti pengambil alih secara sepihak Mahes yang diganti nama dengan Hilmar."

Aku mengambil berkas yang Om Sultan berikan dan membacanya sambil tersenyum semringah. Bukti bahwa paman Mika menggelapkan uang perusahaan serta black market yang dimainkan perusahaan Hilmar dan anak-anaknya beberapa tahun itu.

Aku spontan memeluk Om Sultan erat. Kebahagiaanku membuncah. 

"Om hampir menyerah saat kasus itu menghilang begitu saja. Pro dan kontranya nyaris tak terdengar lagi."

"Kenapa Om bersikukuh melakukan semua penyelidikan itu?"

Om Sultan menerawang. "Pertama kali bertemu Nicky, Om sadar 

bahwa dia bukan orang baik. Kasus ini segera diproses di pengadilan. Tadi Om dengar Ria dan Nicky sudah ke kantor polisi untuk diinterogasi. Bukti 

visum penganiayaan Adena yang waktu itu diberikan ke pihak kepolisian sudah diproses secara hukum," Om Sultan tersenyum lega, "dan juga penyelewengan dana yang kamu katakan, sudah terbukti. Mereka bersalah."

Aku tersenyum manis. "Mereka memang pantas mendapatkan 

ganjaran itu, Om."

Papa, Adena… semuanya berjalan lancar, ucapku dalam hati.

***

Serena POV

Aku membuka jendela kamar Mama. Percikan semburat mentari mulai terbit di ufuk timur, menampilkan cahaya merah jambu bergradasi dengan langit yang masih mendung, meski hujan telah teduh beberapa saat yang lalu. Sepertinya sang surya telah bangun dari lelapnya dan bersiap naik ke singgasana.

"Ren, adikmu Nisya kenapa tidak pulang semalam?"

Pertanyaan Mama membuat dahiku berkerut. "Masa sih? Aku tadi ketuk kamarnya mau bangunin dia. Memang tidak ada jawaban. Kupikir dia masih tidur."

"Coba kamu lihat. Biasanya, semalam apapun dia pulang, pasti selalu ke kamar Mama. Semalaman perasaan Mama tidak enak, entah apa yang terjadi."

"Iya, aku lihat ke kamar, Nisya dulu," ujarku segera beranjak ke luar kamar Mama.

Belum sampai di pintu kamar Nisya, ponselku yang diletakkan di atas meja, berdering. Aku mengernyit melihat nomor asing yang tertera di layar. Ingin aku mengacuhkan, tetapi jariku malah menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.

"Halo?"

"Halo. Bisa bicara dengan keluarga Sonya Nisya Hilmar?"

Aku meraba dadaku yang mulai berdebar. Sebuah firasat buruk segera bertanding ke hatiku.

"Iya, saya kakak Nisya, ada apa?"

"Kami dari kepolisian. Adik anda mengalami kecelakaan tunggal di jalan raya tadi malam. Sekarang beliau ada di rumah sakit. Silahkan datang melihat keadaannya."

Satu tanganku gemetar memegang ponsel, sementara tangan yang lain membekap mulutku menahan tangis agar tidak pecah dan didengar Mama. Aku tak ingin menambah beban pikirannya. Aku mendengarkan dengan seksama alamat di mana Nisya dirawat.

***

Aku mencoba tetap tenang di hadapan Mama, meski pikiranku tengah melayang memikirkan keadaan Nisya.

"Mam, aku keluar sebentar. Ada yang mau aku urus," pamitku 

"Kemana? Lalu, Nisya sudah pulang?"

Aku meneguk ludah pelan. "Sudah, tapi dia pergi lagi. Ada janji sama temannya."

***

Langkahku gegas menyusuri lorong rumah sakit mencari keberadaan Nisya. Setelah bertanya pada bagian informasi tentang korban kecelakaan semalam, aku diarahkan ke ruang ICU, di mana Nisya sedang ditangani oleh dokter.

"Apa yang terjadi, Pak? Di mana adik saya?" Beruntun pertanyaan itu aku ajukan pada dua orang yang berseragam polisi yang berdiri tepat di depan kamar ICU.

Salah seorang polisi yang sedikit berumur menatapku. "Anda, kakak Sonya Nisya Hilmar?"

Aku mengangguk. "Bagaimana keadaan adik saya?"

"Adik anda sepertinya ceroboh dalam berkendara. Dia mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, hingga menabrak pohon. Selain itu dia juga menyebabkan kecelakaan beruntun yang menewaskan seorang pengemis yang sedang tidur di emperan toko dan seorang pejalan kaki," jelas polisi tersebut.

Seketika tubuhku lemas, seolah kehilangan kekuatannya, hingga harus ditopang satu orang polisi yang lebih muda. Dia mendudukkanku di kursi yang ada di depan ruang ICU.

"Adik saya... bagaimana?" lirihku dengan suara bergetar.

Polisi yang lebih tua menghela napas perlahan. "Saat ini dia dalam keadaan tak sadarkan diri. Jika diperlukan, dokter menyarankan untuk melakukan operasi secepatnya."

Aku membekap wajah kuat. Dari mana aku mendapatkan biaya operasi, sedangkan bisnis keluargaku sudah bangkrut.

To Be Continued