Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 116 - Revenge

Chapter 116 - Revenge

Kampus

Anika POV

Aku mengalihkan pandangan saat melihat Tina keluar dari kelas. Setiap hari pacaran? Aku mencibir.

Mau tak mau aku masuk ke kelas, dengan santai, sebisa mungkin menutupi luka. Aku membawa buku dan melewati begitu saja bangku Lukas yang menatapku dalam-dalam. Aku duduk di bangku, kemudian membuka buku tersebut dan membaca.

Sebenarnya aku tak membaca buku itu. Aku melamun sambil mataku mengarah pada tulisan-tulisan kecil di lembaran buku itu, seakan isi buku itu akan diuji pada mata kuliah selanjutnya.

***

Aku duduk di taman belakang kampus. Aku ke tempat itu—bersama Satya atau tidak—untuk menenangkan diri. Mengingat Satya, kemampuan berpikirku melemah. Pemuda itu berhasil membuatku seperti itu. 

Aku jadi teringat peristiwa terbongkarnya identitas mantan pacar Mika. Devan. Aku tak tahu alasan pasti kenapa aku juga menjauhi Devan, tapi pandanganku telah berubah kepada Devan saat terbongkarnya rahasia itu.

Devan memang dekat denganku. Bahkan Devan membelaku, tapi sayangnya, Aku tak ingin hubungan kami sedekat itu. Apa pernyataan semacam itu membuktikan aku tak sepenuhnya membenci Mika?

Aku menggeleng. Aku harus bicara dengan Mika, sedikit mengancam gadis itu untuk mengisi kekosongan waktu. Aku mengeluarkan cutter mini yang sering digunakannya untuk bermain.

Mengancam dengan kematian? Huh! Aku ingin tertawa.

Aku tahu Mika selalu mengaktifkan email, sama seperti dirinya. Aku tak tahu nomor ponsel Mika saat itu karena telanjur menghapusnya dengan darah mendidih dan kebencian. Aku tak ingin secuil pun nama keluarga Hilmar di kehidupan barunya.

To: mikaila.hilmar@zmail.com

Taman belakang kampus.

Aku menghela napas saat mengirim email tersebut. Hanya email yang bisa menghubungkanku dengan Mika. Tak lama kemudian emailku dibalas.

From: mikaila.hilmar@zmail.com

What?

Aku ingin sekali membanting ponsel kalau tak ingat misiku. Aku benci berhubungan dengan Mika lewat apa pun. Dia terlalu membenci keluarga Hilmar.

"Kenapa lagi sih?"

Aku terperanjat, mengalihkan wajah, dan mendapati Devan berada di sampingku. Duduk di sebelahku.

"Maksudmu?" tanyaku judes.

Devan menatapku lemah. "Sudah lebih dari seminggu kamu jauhin kami. Kamu nggak pernah ngumpul lagi sama kami."

Aku bungkam. Benar. Aku memang sengaja tak berhubungan dengan mereka. Tragisnya, aku tak tahu mengapa harus menjauh.

"Semuanya… terasa berat." Suaraku bergetar. Aku tak ingat lagi pada Mika saat pikiranku tertancap pada satu nama lain.

"An, kamu tidak bisa terus-terusan stuck di sakit hatimu."

Aku tersenyum tipis. "Gue tidak stuck."

"Oh ya?"

"Dia… ninggalin aku seenaknya. Dia mengumbar sayang, tetapi tidak menegaskan kami ada hubungan. Setelah Tina memintanya, dia kembali ke perempuan itu. Bagaimana bisa akku maafin? Bagaimana bisa aku terlihat seolah tidak terjadi apa-apa?" ucapku memuntahkan kepedihan. 

Devan manggut-manggut. Aku terpuruk dan itu karena Satya, temanku sendiri. Sepenting itukah kehadiran Satya di kehidupanku?

"Masih banyak orang yang sayang sama kamu, An. Kami peduli sama kamu. Aku sangat peduli sama kamu!" ucap Devan tegas. 

Aku mendengarnya, tapi tak bisa mencerna. Aku memilih memandang rumput. Melamun begitu saja. Makanya aku begitu kaget saat Devan memelukku erat. Namun aku tak merasakan apa-apa, berbeda dengan Satya. Tak ada getaran halus, tak ada perasaan membuncah, dan tak ada hawa panas yang mengalir di dalam diriku.

Pelukan Devan sangat dingin. Aku tak merasakan hatinya terbang. Aku terdiam. Benar, aku mengharapkan orang lain berada di sampingku. Orang yang begitu saja menjauhiku.

"Kamu harus belajar menghargai orang-orang yang sayang sama kamu," ujar Devan lembut.

Kenyataannya hanya satu orang yang mampu memperlakukannya seperti itu.

Aku benci saat diriku diperlakukan tidak adil. Oleh Satya, oleh keluarga Hilmar, oleh siapa pun.

Hilmar?

Aku mengerjap, tersadar saat melihat Mika berjalan mendekatiku. 

Aku tersenyum sinis dan membalas pelukan Devan. Cutter mini yang digenggamnya kini mata pisaunya diarahkan ke pundak Devan hingga berjarak beberapa senti saja.

Aku menatap Mika tajam. Tubuh Mika terdiam kaku.

To Be Continued