Bogor
Satya POV
Setelah debat panjang dengan Rangga dan Lukas, aku kembali masuk ke dalam villa. Aku melirik Anika yang terlihat asyik menonton Om Sultan dan Devan bermain Play Station. Rasa bersalah dan rindu muncul saat aku menatap gadis itu. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku, merasa sulit memilih dan terus tersakiti.
Tina kembali datang dan menyuguhkan rasa yang sama kepadaku. Aku memang merindukan gadis itu, merindukan segala perhatian yang pernah Tina berikan, merindukan saat-saat kami bersama. Aku membutuhkan Tina, sekaligus menginginkan Anika.
Pertengkaranku dengan Devan tempo hari tak membuka mataku, Aku tetap tak bisa menentukan, siapa pemilik hatiku yang sebenarnya.
Tina memanggilku dari arah belakang. Aku masih memperhatikan Anika, meskipun tampaknya yang diperhatikan tak tahu.
Dengan enggan aku mengikuti Tina yang membawaku ke kolam renang. Kami berdiri berhadapan.
"Ada apa sih, Tina?" ucapku. Sebenarnya aku malas menyudahi keasyikannya menatap Anika tadi. Dia terlalu rindu sehingga lupa bahwa aku menyakiti dua gadis sekaligus.
"Kamu berubah," ucap Tina dengan nada bergetar.
Aku terbelalak mendapati Tina menangis di depannya. Aku panik karena Tina tak suka menangis di depan orang. Tina yang aku kenal adalah gadis yang sabar dan tangguh. Lalu kenapa gadis itu mendadak menangis?
"Berubah apanya?" tanyaku, mencoba sedikit lebih manis.
Tina berdecak. "Kamu berubah, Sat! Kamu nggak kayak dulu lagi!" ucap Tina terisak.
Aku seperti kehilangan akal. Aku tak ingin Tina menangis karena diriku, apalagi membiarkan gadis itu terluka karenaku.
"Tina... jangan nangis dong. Aku jadi bingung," pintaku sambil menyentuh bahu gadis itu.
Tina tetap menangis. "Kamu berubah sejak ada Anika, Sat," ucap Tina telak.
Jantungku berdegup cepat saat nama itu disebut. Menyadarkanku betapa penting kehadiran Anika, dulu... saat Tina tak bersamaku.
Dulu?
Aku bergeming, tak tahu harus berbuat apa. Juga tak tahu aku harus melakukan apa supaya Tina berhenti menangis.
"Aku harus ngapain supaya kamu berhenti nangis, Tina?" ucapku lirih, seolah tahu rasanya disakiti.
"Jauhi Anika!"
Aku terdiam mendengar permintaan tersebut. Menjauh? Dari gadis yang sudah hampir memiliki seluruh hatiku?
Tina kembali terisak, membuatku ingin lari saja.
"Tina... iya, Tina. Aku bakalan ninggalin Anika demi kamu," ucapku akhirnya.
Tina menatapku dalam. "Kamu janji? Kamu nggak akan ingkar janji kayak dulu lagi, kan?"
Entah apa yang membuat kesadaranku menghilang, aku mengangguk setuju.
***
Anika POV
Aku masih menyaksikan Om Sultan dan Devan asyik bermain PS. Apa mereka tak sadar umur? pikirku. Aku menengok ke Ruby, Lukas, dan Dara, yang turut memperhatikan permainan mereka berdua. Situasinya membuatku bosan.
"Mau ke mana, An?" Suara Ruby terdengar saatku berdiri.
"Bentar lagi mau makan malam lho," lanjutnya.
Aku mengangguk, kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman. Tenggorokanku kering. Setelah menutup pintu kulkas, aku melihat dari jendela kaca, Tina dan Satya sedang bercengkrama di dekat kolam renang.
Mereka tak menghiraukan angin malam yang menyusup, berdiri berdekatan.
Pelan-pelan aku berjalan mendekat, mencoba mencuri dengar pembicaraan pasangan itu. Aku tahu itu bukan urusanku, tapi... entahlah! Aku seakan tak tahu perbuatanku bakal membawaku pada luka yang mendalam. Menuju jurang yang mungkin tak bisa aku panjat kembali.
"Tina... iya, Tina. Aku bakalan ninggalin Anika demi kamu."
Suara berat Satya terdengar begitu nyaring di telingaku. Aku menahan napas. Hatiku pelan-pelan hancur.
Otakku tetap bekerja. Memori bersama Satya tergambar jelas seperti film. Kata-kata yang pernah dilontarkan pemuda itu langsung terngiang-ngiang di telingaku.
Aku sayang kamu, An...
Kasih aku kesempatan.
Kapan sih, An, kamu anggap kehadiranku?
Aku cemburu.
Kamu bisa ngerti, kan
Kamu juga merasakan yang sama, kan?
Apa itu ilusi belaka? Ilusi permainan Satya yang begitu lincah membuatku melambung dan melemparkanku jatuh seketika. Kata-kata sakral yang membuatku mengubah keputusan sehingga bangkit untuk terus menikmati hidup yang sudah disia-siakannya. Untuk menjemput kebahagiaanku yang telah hilang.
Dan kini, semua yang aku cita-citakan hancur seketika.
Aku nggak butuh mendungmu.
Kalau mendungmu cuma bikin hujan dalam hari-hariku, aku nggak butuh.
Aku melangkah menjauhi dua orang yang tengah berpelukan itu. Pelukan yang pernah mewarnai hari-harinya. Pelukan yang pernah membawaku terbang, dan pelukan yang kini membuat pertahananku hancur.
Cinta tak pernah memilih dengan siapa dia akan tinggal dan menetap. Entah orang itu punya hati atau tidak. Entah orang itu ceria atau pemurung. Cinta tak pernah memilih dengan siapa dia harus bertuan.
Aku menutup mata, membiarkan tetesan air matanya turun, seiring luruhnya tembok hati yang disakiti.
To Be Continued