Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 111 - I Miss Them

Chapter 111 - I Miss Them

Arena MMA

"Pukul! Pukul! Rangga! Jangan mau kalah! Ayo, pukul hidungnya!" teriak orang-orang ricuh. Beberapa orang berteriak takut saat melihat kepalan tinju menghujani wajahku.

"KA RANGGA! SUDAH!" Jerit para perempuan yang tak tega melihatku diserang habis-habisan seperti ini. Dua gadis malah benar-benar menangis sambil berusaha menelpon seseorang saat mellihat satu pukulan lagi mendarat di hidungku hingga hidungku mimisan. Namun, bukan Jefri Rangga Wardana namaku bila aku menyerah begitu saja. Dengan sekuat tenaga, kudorong lawanku hingga terjerembap ke tanah. Kubalas tinjunya dengan penuh rasa dendam.

Semua orang di sekitarku berteriak makin kencang dan ramai. Aku merasa begitu bangga saat melancarkan seranganku sampai bentakan itu menghentikan seluruh sorakan orang-orang yang membekukan gerakan tanganku.

"TUAN MUDA RANGGA WARDANA!" bentak seseorang berwajah galak penuh emosi meluap-luap.

***

"Baik, saya mengerti. Saya akan berusaha menjaga Tuan Muda denngan lebih baik lagi," ujar Pak Bima melalui via telepon. Aku duduk diam di samping Pak Bima. Wajahku datar dan tubuhku kaku.

Pak Bima membawaku menuju limosin dengan hati-hati. Dia memandangi wajahku yang penuh luka dengan seksama. "Akan saya panggilkan dokter untuk mengobati luka Tuan Muda." ujarnya pelan setelah melalui pertimbangan yang cukup panjang.

"Tidak sakit," jawabku singkat tanpa memandangnya.

Pak Bima terdiam melihat ekspresi kesal yang terpancar jelas di wajahku. Dia menggelengkan kepalanya pelan. "Dokter akan datang secepatnya," lanjutnya tanpa sekali pun menoleh ke arahku lagi. Aku hanya bisa mendengus dengan kesal di bangku belakang.

***

Wardana's House

Rangga POV

"Apa kau tidak sayang dengan wajah tampanmu ini? kamu rusak dengan luka seperti ini," ujar Om Adam sambil memeriksa lukaku dengan hati-hati. Aku terdiam dengan wajah ditekuk yang sama sekali tak enak dilihat.

"Apa kau ingin selalu membuat ayahmu sedih?"

Aku mengangkat wajahku dan menatap kedua mata Om Adam tanpa ragu sedikit pun. "Dia tidak sedih," jawabku dingin.

Om Adam justru tersenyum, lalu tertawa di depanku. Aku memandanginya kebingungan, tak tahu apa alasannya untuk tertawa. "Kau tidak akan pernah tahu akan kadar kesedihannya."

Mulutku terbungkam. Hingga mendadak suatu kalimat tanya sederhana menggelitiku untuk membuka mulut. "Sebenarnya, aku ini anak Papa atau Om Adam?"

***

Aku memandangi foto berpigura gold itu lekat-lekat. Foto itu tak pernah sekali pun beranjak dari meja di kamarku. Karena hanya benda itu yang dapat sedikit mengisi kekosongan dalam diriku. Foto ibuku. Foto itu satu-satunya tempatku bercerita dan melampiaskan kekesalanku.

Kekesalanku akan kuliah, teman, rumah, papa dan ... kepergian Gwen. Sejak kecil Papa selalu sibuk dan tak pernah punya sedikit pun waktu untuk memperhatikanku. Semua pengasuhan dia serahkan pada Om Sultan dan Om Adam. Hanya Bunda satu-satunya ornag yang mengerti aku. Mengerti yang kusuka dan tak kusuka. Bunda, satu-satunya orang yang menemaniku sebelum Gwen hadir dalam hidupku. Sekarang Bunda dan Gwen yang pergi meninggalkanku. Aku tak akan bisa melihatnya lagi selain lewat sebuah foto.

"Bun, jujur... aku merindukannya. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi Bunda dan Gwen dihatiku, termasuk Mommy Anita dan Serena." ujarku lirih. Berharap bunda dapat mendengarku dari surga.

***

FLASHBACK ON

Aku masih berbaring di tempat tidurku yang besar dan empuk sambil memainkan robot yang dibelikan Papa sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-9. Hadiah itu mungkin memang yang paling murah di antara hadiah lain yang diberikan Papa kepadaku. Robot itu papa beli dipinggir jalan saat mengajakku berjalan-jalan seharian. Hari itu mungkin adalah hari terindah sepanjang hidupku. Setelah Bunda meninggal tiga hari sebelum aku genap berusia delapan tahun. Aku melihat wajahnya yang kusut di pagi hari saat sarapan dan buru-buru pergi bekerja tanpa mengantarku ke sekolah. Dia hanya tersenyum sekilas dan mengucapkan selamat pagi sebelum berlalu dan menghilang dari pandanganku.

Papa baru akan pulang saat aku sudah tertidur lelap, aku hanya akan merasakan kecupan hangan di dahiku dan terbangun dengan selimut yang menyelimuti tubuhku. Setidaknya perhatian kecil Papa saat itu sudah mampu membuatku merasa sedikit tenang, karena aku masih merasa bahwa aku adalah anak Papa. Namun, hari-hari berlalu dan perhatian kecil itu makin lama makin terkikis hingga akhirnya hilang sama sekali. Aku bahkan tak pernah lagi melihat Papa di pagi hari. Setiap hari aku melewatkan sarapan di meja besar dan panjang itu seorang diri, merasa hampa melihat beraneka ragam masakan lezat itu hanya akan dilahap olehku dan Lukas. Hingga aku tak semangat lagi untuk menyentuh makanan favoritku. Papa juga lebih sering bepergian ke luar negeri, membuka cabang restoran hingga ke Eropa. Meninggalkanku sendiri yang tetap merasa kedinginan walaupun selimut telah menutup seluruh tubuhku.

Aku menghela napas panjang. Mungkin hari itu adalah hari bahagia satu-satunya yang kumiliki setelah perhatian Papa menghilang. Dan saat itu perasaan ketakutan membayangiku dengan hebat. Aku menangis kencang di pelukan Papa saat malam mulai menjelang. Aku takut setelah hari itu berlalu aku akan kembali sendirian dan kesepian. Aku takut aku akan kembali kehilangan Papa dan merasakan kekosongan di rumah mewah itu seorang diri. Saat itu Papa hanya tersenyum dan berkata bahwa aku tak perlu khawatir. Namun, ternyata ketakutanku terbukti adanya. Saat itu, aku berusia 10 tahun dan nelum sekalipun berbicara dengan Papa setelah hati bahagia itu berlalu. Aku hanya melihatnya sesekali saat Papa pulang dari luar negeri dengan wajah lelah yang membuatnya terlihat jauh lebih tua dari usianya yang sesungguhnya.

Aku nyaris membanting robot itu saat suara ketukan pintu itu mengalihkan perhatianku. "Masuk," ucapku singkat.

Wajah datar Pak Bima terlihat di balik daun pintu yang terbuka. Aku mendengus kesal dan membuang tatapan malas ke arahku. "Tuan Muda, Tuan Rama ingin tuan muda bersiap-siap untuk makan malam."

Papa pulang? Sedikit rasa gembira terbesit di dadaku. Namun rasa pesimis kembali menyergap dan menenggelamkan rasa senang yang kurasakan. "Untuk apa bersiap-siap?" tanyaku dingin.

"Tuan bilang ada hal yang sangat penting yang akan disampaikan kepada tuan muda Rangga dan Lukas hari ini,," jawabnya.

Aku mengangkat alisku karena heran dan penasaran. "Penting?Ada apa?"

***

Langkah kakiku terhenti saat aku berjalan mendekati meja makan besar itu. Papa tampak begitu rapi dan lebih segar dari biasanya. Dia duduk di ujung meja sambil tersenyum. Senyuman riang yang sudah lama tak kulihat. Dia mengenakan salah satu kemeja terbaiknya. Hampir saja aku berlari untuk memeluknya, kalau saja aku tak melihat wanita itu.

Aku dan Lukas berdiri mematung memandangi wanita seusia Papa yang duduk di sampingnya sambil tersenyum dengan tak kalah lebarnya dengan Papa. Matanya sipit dan teduh. Kulitnya kuning langsat. Namun tak bisa kupungkiri wajahnya tak kalah cantik dan anggung dibanding dengan model yang pernah aku lihat. Dia mengenakan baju pink yang lembut. Aku mengernyit kening dan melangkah dengan ragu. 

"Rangga! Lukas!" seru Papa dengan riang. Aku merasakan ada nada bahagia yang tak biasa kudengar. Atau hanya karena aku sudah terlalu lama tak mendengar suaranya? Namun, entah mengapa sapaan riang Papa padaku justru membuatku makin ragu untuk mendekat.

"Rangga! Lukas!" seru Papa lagi, kali ini sambil berjalan mendekat. Wanita itu mengikutinya dari belakang. "Hari ini Papa punya berita bagus untukmu."

Aku dan Lukas berjalan mundur selangkah. "Apa?" tanyaku pelan.

Papa melirik wanita itu sambil tersenyum penuh arti. Wanita itu juga turut membalas senyum Papa dengan lembut. Aku mulai merasa khawatir dan mendapati perasaan takut dan cemas mulai menghinggapiku.

"Sebentar lagi, kalian tidak akan pernah kesepian lagi," ujar Papa sambil tersenyum lebar dan menggenggam bahu Lukas kuat-kuat. "Ini Anita," ujar Papa sambil menunjuk wanita itu. Wanita itu tersenyum hangat ke arahku dan Lukas. Aku hanya menatapnya dengan pandangan dingin seperti biasanya. "Nona Anita dan Papa akan... menikah."

Aku merasakan ucapan itu seperti pisau yang menikam punggungku. Menikah? Apa maksud Papa dengan semua ini? Apa Papa main-main?

"Nona Anita akan menjadi ibumu," lanjut Papa tanpa memperhatikan reaksiku dan Lukas, sepertinya hal ini bukan suatu permainan. Aku bisa merasakan dari nada bicaranya, Papa serius. Papa tidak main-main, Papa benar-benar serius. Sekarang aku tak tahu lagi harus berbuat apa.

Wanita itu membungkuk sambil menatapku dan Lukas dengan kedua matanya yang teduh. "Rangga, Lukas, salam kenal, sayang," ucapnya lembut sambil mengacungkan tangannya untuk menggapai tanganku. Namun, sebelum tangannya menyentuh kulitku, aku bergerak mundur dengan cepat. Wanita itu terlihat sangat terkejut dengan responku yang sepertinya tidak sesuai harapannya. Papa juga ikut tersentak melihat sikapku.

"Rangga, kamu kenapa?" tanya Papa panik.

"Aku... aku...," ujarku terbata-bata. Aku merasakan emosi kemarahan yang membuncah di dadaku. Namun, aku tak menemukan satu pun kosakata yang bisa mewakilinya. Otakku bagai berhenti bekerja untuk menyusun kalimat dengan baik. Dengan napas memburu dan jantung yang berdegup di luar batas frekuensi normal, aku mencoba membuka mulutku. "Aku... aku tidak butuh ibu baru!" seruku bersamaan dengan tangisanku yang pecah.

Papa, Lukas dan wanita itu mengeluarkan ekspresi yang serupa. Mereka terdiam menatapku dengan mata sendu yang berkaca-kaca. Aku yang merasa kakiku makin lemas, memilih untuk segera berlari dari siuati aneh ini. Aku terus berlari tanpa memperdulikan teriakan Papa, "RANGGA!"

To Be Continued