Surabaya
Gwen POV
"Nia, kenapa buburnya belum dimakan juga?"
Aku yang tengah termenung di atas ranjang menoleh saat Nenek Asri masuk ke dalam kamar.
"Aku tidak lapar, Nek." Ujarku pelan. Duduk bersandar di kepala ranjang, menatap jemariku yang telah kosong, tidak ada lagi sebuah cincin yang biasanya melekat disana.
"Nia..." Nenek Asri duduk di tepi ranjang, mengusap pipiku yang terlihat pucat. "Kamu menangis lagi?"
Aku menggeleng, tapi mataku tak mampu berbohong, cairan bening itu kembali mengalir begitu saja. Aku buru-buru menghapusnya.
"Bagaimana keadaanmu hari ini?"
"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit demam."
Nenek Asri menatapku penuh kasih, tangannya membelai rambutku yang sedikit kusut. "Kamu mungkin tidak mau memberitahu Nenek, tapi Nenek tahu. Apa kamu hamil, ndok?"
"Aku ti..." Aku menarik napas saat isak tangis hendak keluar. Aku menunduk dengan bahu bergetar. "Iya Nek. Aku hamil."
Nenek Asri memelukku dan mengusap bahuku. "Kalau begitu kembalilah pada suamimu, ndok."
Aku menggeleng di dada Nenek Asri. "Aku tidak bisa."
"Dia pasti mencemaskanmu sekarang."
"Kembalikah ke Jakarta." Bujuk Nenek Asri. Tapi aku menggeleng semakin kuat.
"Tidak, Nek." Aku memejamkan mata lebih rapat. "Tuan dan Nyonya Wardana sudah berbaik hati menampungku ibu selama ini di Jakarta, aku harus membalas budi baik mereka terhadap keluarga kita."
"Orang kaya manapun tidak akan ada yang meminta balas budi jika mereka melakukannya dengan ikhlas."
Aku tahu itu. Tapi bagaimanapun, aku memang memiliki hutang budi yang begitu besar kepada keluarga Wardana. Mereka memberikan tempat tinggal yang layak untuk ibuku, makanan yang enak dan hidup yang lebih baik dibandingkan menjadi pengemis di jalanan.
Bukankah memang sudah sepantasnya aku membalas kebaikan mereka?
Lagipula sejak awal aku memang hanya pengganti sementara. Meskipun aku menikmati peran sebagai istri Mas Rangga, tetap saja. Aku hanya pemeran pengganti, bukan pemeran utama.
Sejak awal aku sudah diberitahu bahwa suatu saat posisiku akan tergeser. Aku hanya menempati posisi kosong itu sementara waktu sambil menunggu pemilik aslinya kembali.
Jadi memang inilah takdirku. Sejak kecil aku sudah ditakdirkan seorang diri, dan hal itu tidak akan berubah sampai kapanpun. Aku tetap akan seorang diri.
Tetapi Tuhan berbaik hati memberiku malaikat kecil yang sedang tumbuh di rahimku. Inilah harga yang harus aku bayar. Aku harus menyerahkan Mas Rangga kembali ke pemilik aslinya, dan sebagai ganti, Tuhan memberiku hadiah seorang malaikat kecil yang akan lahir beberapa bulan lagi.
Tuhan memang selalu adil. Aku tahu itu.
***
Bogor
Rangga POV
Aku merusak kanvas yang dihiasi paduan cat indah yang masih basah. Sebenarnya aku sendiri yang memadukan dan menorehkan cat tersebut di atas kanvas, tetapi aku juga yang merusaknya secara brutal. Lukisan yang aku buat tersebut tidak membuatku puas. Hingga pada akhirnya aku merusaknya tanpa berkedip sedikit pun. Ditambah dengan ekspresi dingin yang membuatku tidak mudah untuk didekati.
Aku tidak puas dengan aksi merusak itu, pada akhirnya aku melemparkan kanvas dan alat lukis lainnya ke dalam kolam yang tidak jauh dari diriku berada. Kejadian itu memang terjadi di area taman villa kedialam luas milik keluarga Wardana. Tentu saja, hal tersebut diketahui orang-orang yang sedang merayakan pesta di dalam. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang berani untuk mendekatiku.
Semenjak Gwen pergi dari rumah, aku mengalami masa sulit untuk berkarya. Hal itu membuat diriku menjadi sangat sensitif, hingga pada akhirnya tidak bisa untuk berkarya seperti sebelumnya. Aku mengalami kebuntuan yang begitu parah. Hingga tidak ada satu pun karya yang bisa aku hasilkan.
"Rangga! Tenanglah, apa yang sedang kamu lakukan disini?" tanya Satya sembari berlari kearahku yang tengah tenggelam dalam emosi.
"Tenanglah, membuat keributan seperti ini tidak akan membuat kondisimu membaik, Bang," ucap Lukas.
Namun, apa yang dikatakan oleh adiknya tersebut memancing emosiku. Lalu aku bertanya padanya. "Lalu kau pikir, cara seperti apa yang bisa kugunakan untuk memperbaiki kondisiku?"
Lukas dan Satya terlihat terdiam. Lalu aku pun kembali berkata. "Kalian berdua bahkan belum menikah, kalian tidak pernah berada dalam posisiku saat ini. Tapi kalian berbicara seakan-akan ini adalah hal sepele yang bisa diselesaikan dengan sangat mudah."
Lukas yang mendengar perkataan sang kakak juga tak kalah emosi. "Kau pikir aku tidak bersimpati dan mencemaskan kondisimu? Aku juga pernah mengalami hal sepertimu! Aku tahu seberapa sulitnya kondisimu saat ini, tapi apa kau pikir membuat keribuatan di acara seperti ini adalah cara yang benar?!"
Satya pun segera melerai. "Ayolah, jangan saling menaikkan nada bicara kalian. Kita bisa membicarakan masalah ini baik-baik," ucap Satya.
Namun, aku menolak dan memilih untuk mengatakan sesuatu yang mengejutkan bagi kedua saudaraku. Aku berkata. "Aku mau pulang sekarang."
"Sebenarnya apa yang kau rencakan? Tiba-tiba pulang? Di tengah malam Natal begini? Kau tahu seberapa khawatirnya Om Sultan melihat kondisimu saat ini, bang?" tanya Lukas sembari membulatkan mata.
Aku yang mendengarnya pun segera membalas dengan berkata, "Jika kalian tidak ingin melihatku mati karena merasa frustasi, maka biarkan aku melakukan apapun yang aku inginkan."
To Be Continued