Bali
Ruby POV
Aku melirik jam tangan. Sudah hampir jam satu pagi dan acara ini masih berlangsung. Nisya yang pertama kali menghilang. Lalu Tina yang pergi ketika melihat Satya dan tak kembali lagi. Mbak Nia pergi ke kamarnya begitu suaminya melemparkan kode dari kejauhan. Hanya Prima yang bertahan agak lama, namun lima menit yang lalu rasa kantuk itu datang, akhirnya dia menyerah dan kembali ke kamar.
Apa yang dikatakan Mbak Nia membuatku berpikir keras. Mungkin memang seharusnya aku menunjukkan perasaanku yang sesungguhnya pada Lukas bahwa aku sudah mulai membuka hatiku untuk laki-laki itu. Sudah waktunya kami berbicara dari hati ke hati dan mungkin aku yang harus memulai. Terlebih Lukas juga tidak mempunyai pengalaman untuk urusan percintaan serius seperti ini.
Dengan yakin, aku berdiri, melayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Lounge yang memiliki banyak ruang-ruang VIP dan agak temaram itu membuatku harus berjalan berkeliling mencari keberadaan Lukas. Aku baru menyadari ini adalah pertama kali aku yang mencari Lukas.
Beberapa saat yang lalu Lukas melenggang di hadapannya dengan model-model yang terlihat akrab dengannya. Senyumku muncul seketika mengingat hal itu. Aku merasa geli mengingat betapa kesal aku dengan ulahnya.
"Kali ini aku akan katakan aku kesal melihatnya bersama wanita lain," gumamku pada diri sendiri.
Aku menghampiri meja bar. Hanya ada Devan di sana. Berdiri menghadap bartender dengan sebuah gelas di hadapannya. Aku belum banyak bicara dengannya semenjak saat itu. Namun, hanya Devan yang mungkin tahu tempat Lukas berada.
"Hei!" Aku menepuk pundaknya sekilas. Aku sedikit menaikkan suara karena beberapa relasi ibunya Lukas ramai bergurau.
Wajah Devan yang bersemu merah sedikit mengagetkanku. Namun, laki-laki itu masih tampak sadar untuk menjawab pertanyaanku.
"Berapa gelas yang kamu minum?" Dahiku mengernyit. Bau alkohol yang kuat menguat. Mungkin karena aku di depan bar.
Aku memperhatikan Devan yang sedikit mengangkat gelas dan tersenyum kecil padaku. Telunjuk Devan mengetuk meja, bartender di hadapan mereka mengangguk, kemudian mengambil gelas kosong itu.
"Lukas mencarimu sepanjang malam." Devan menghiraukan pertanyaanku, lalu berbalik menatapku.
Aku memalingkan pandangan. Berpura-pura melihat orang-orang di sekitar mereka. "Dia hanya memamerkan kedekatannya dengan model-model saat muncul di hadapanku.
Suara tawa Devan membuatku kembali menatap laki-laki itu.
"Dia bertingkah seperti anak kecil kali ini."
Aku dan Devan sama-sama tersenyum kecil. Aku mengerti maksud Devan. Bartender yang tadi mengambil gelas Devan meletakkan kembali gelas yang sudah berisi alkohol.
"Kamu sudah minum cukup banyak aku rasa," ucapku sebelum Devan kembali menenggak isi gelas itu. "Aku mencari Lukas. Tahukah kamu di mana dia sekarang?"
Devan mengangkat bahu. "Mungkin sebentar lagi dia akan muncul. Aku juga tidak tahu apa lagi yang ia rencanakan untuk membuatmu memperhatikannya."
Senyumku melebar. "Aku ingin berbicara dengannya. Mungkin dia juga kesal karena aku berpura-pura cuek."
Deban menggeleng. Ia berbalik untuk menggapai gelas minumannya lagi. Namun, ia membatalkannya, lalu berbalik menatapku.
"Aku sekamar dengannya. Mungkin dia sudah di kamar. Aku masih ingin di sini, kamu bisa mengeceknya." Devan memasukkan tangannya ke balik jas yang ia kenakan, mengeluarkan sebuah kartu yang terselip di dalam amplop kecil bertuliskan nomor kamar. Aku menerima kartu kunci kamar Devan itu.
Ia masih terdiam memikirkan apa yang nanti akan ia katakan saat menemui Lukas di kamarnya.
"Kamu bisa menitipkan kartu itu ke meja resepsionis. Aku akan mengambilnya di sana. Atau..." Devan terdiam sejenak. Terlihat memikirkan sesuatu.
"Aku tidak berencana menginap di kamarmu." sambungku mengerti maksud pikiran Devan. Devan langsung tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Pardon me! Aku benar-benar tidak berpikiran seperti itu." Devan mengangkat kedua tanganku yang masih menggenggam erat kartu kamarnya. Satu tangannya menepuk bahuku dengan geli. "Aku hanya ingin mengatakan Lukas bertingkah lain dari biasanya. Meski ia senang mengejar wanita, namun baru kali ini ia benar-benar kehilangan akal, semenjak mengenalmu."
Aku mengulum senyum. Devan melepaskan tanganku perlahan, kemudian meraih gelas minumannya lagi. "Aku mengenal Lukas sangat baik. Aku tahu apa yang dirasakannya saat ini." Devan tersenyum lalu menyesap minumannya, kemudian melambaikan tangan. "Sudah sana. Mungkina dia ada di kamar, sibuk merencanakan apa yang akan dia lakukan besok untukmu."
"Lalu kamu?" Aku mengangkat amplop berisi kartu yang ia pegang ke depan Devan.
"Aku masih ingin menikmati grand opening ini. Aku harus berterima kasih pada keluarga Wardana. Aku jadi bisa minum sebanyak yang aku mau." guraunya sambil menggoyangkan gelas di depanku.
Aku berdecak sinis. Aku mengayun-ayunkan kartu itu sambil memikirkan sesautu.
"Jangan minum terlalu banyak," ucapku perhatian. "Kamu terlihat seperti sedang patah hati."
Devan menunduk menatap gelasnya. "Aku sedang jatuh cinta. Hanya saja heartbreaker-ku itu datang bersama kekasihnya di saat yang tidak aku harapkan malam ini."
***
"Kisah patah hati?" gumamku sambil memandang diriku di cermin lift yang membawaku ke lantai tempat kamar Lukas dan Devan.
"Apa tadi dia bertemu Dara di sini?" Pikiranku berusaha keras mengingat adiknya Satya yang mungkin bernama Dara. Selama ini aku tidak benar-benar memperhatikan adiknya Ka Satya.
Jika memang Devan bertemu dengan wanita yang sudah membuatnya mabuk, apakah mungkin Lukas juga bertemu wanita itu? Apakah Lukas menghilang selama beberapa saat ini karena bertemu wanita itu?
Suara dentingan lift menyadarkanku bahwa aku sudah sampai di lantai yang aku tuju. Sebenarnya kamar yang aku tempati juga berada di lantai yang sama. Hanya sepertinya kamar kami berada di ujung yang berbeda. Aku memandang amplop kecil yang bertuliskan W Resort Bali.
Setelah memastikan nomor yang tertulis di amplop itu, aku melihat sign di dinding depan lift, yang menunjuk ke lorong kiri berlawanan arah dengan kamarnya, yang seperti dugaanku. Aku mengamati tiap kamar yang aku lewati. Menghiraukan pasangan yang berdiri jauh di ujung lorong. Pasangan yang tampak tidak sabar menunggu pintu kamar mereka terbuka itu berciuman dengan liar. Aku hanya tersenyum kecil. Aku mengingat ciuman terakhirku dengan Lukas.
Mataku masih terpaku pada pasangan itu. Wanita yang rambutnya berpotongan mullet itu memiliki tinggi yang hampir sama denganku. Balutan gaun merah yang dikenakan wanita itu mengingatkanku akan sesuatu. Seketika aku berhenti melangkah, berdiri mematung sementara isi kepalaku berputar. Aku meyakinkan ingatanku. Gaun yang dikenakan wanita itu terlihat familiar. Sosok di kejauhan itu seperti pernah aku kenali.
Wanita yang aku amati lekat-lekat itu terlihat mengalungkan kedua tangan ke leher pasangannya. Tangan laki-laki itu memegang sebuah amplop yang sama seperti milikku, sementara tangannya yang lain berada di pantat wanita itu. Gerakan kepala mereka membuatku makin yakin pasangan itu sangat menikmati ciuman mereka.
Mataku memandang pintu kamar di kanan-kiri. Hitungan matematika sederhana muncul dalam kepalaku. Logika "jika nomor sekian di sebelah sini dan nomor sekian di sebelah sana." mulai terbayang. Jantungku berdetaj lebih cepat beribu kali. Hati kecilku mengatakan jangan sampai apa yang aku bayangkan benar-benar terjadi di hadapan mataku.
Namun, kedua kakiku melangkah tanpa sadar. Dan baru berhenti saat aku berada beberapa meter dari laki-laki itu dan wanita yang aku kenali sebagai adiknya Tina baru-baru ini. Sekarang aku melihat dengan jelas bagaimana kedua mata Lukas terpejam. Telingaku mendengar dengan jelas desahan berat mereka. Aku tidak dapat mendeskripsikan apa yang aku rasakan saat ini, yang aku tahu hanya mematung. Jantungku yang tadi berdetak kencang sekarang terasa mati. Seperti ada tusukan-tusukan di sana.
Amplop yang aku pegang terjatuh tanpa aku sadari. Saat aku mendapatkan napas kembali, aku membalikkan badan. Mengambil napas panjang perlahan sambil melangkah meninggalkan Lukas dan wanita yang aku kenal bernama Nisya. Setelah beberapa langkah aku ingin mendengar Lukas memanggilku. Namun, tidak ada suara yang aku kenali itu. Kedua mataku memanas. Langkah kaki membawaku menuju kamar yang aku tempati, aku menutup kedua mata perlahan. Kemudian membukanya hanya untuk membiarkan setetes air mata yang tutun. Lalu disusul dengan beberapa tetes berikutnya yang semakin deras.
To Be Continued