Wardana's House
Rangga POV
Sesampainya di rumah, Gwen segera keluar dari mobil dan mengurung dirinya semalaman, bahkan ia tidak makan malam dan membuat semua orang menjadi cemas.
Aku sudah berdiri di depan pintu kamarnya sejak sepuluh menit yang lalu, mencoba mengetuk dari luar.
"Gwen, apa kamu tidak makan malam?"
Tapi tidak ada jawaban sama sekali.
"Gwen?" Aku memanggil lebih keras. "Kamu mendengarku?"
Hening, aku menoleh pada Bi Yuni dan tiga asisten lainnya yang juga terlihat cemas, mereka berdiri di belakangku dan menatap lekat pintu kamar Gwen.
"Gwenia!" aku menggedor lebih kuat. "Sayang!"
Tapi tidak ada jawaban.
"Gwen! Buka pintunya!" Aku mencoba memutar kenop, tapi terkunci dari dalam. "Gwen!"
"Tuan muda, bagaimana kalau kita dobrak saja, saya punya firasat buruk terhadap Nyonya muda." Bi Yuni nyaris menangis di tempatnya.
Aku mencoba mendorong pintu dan mendobraknya, butuh berkali-kali dorongan hingga pintu terbuka. Kamarnya gelap gulita.
"Gwen!" Aku menekan sakelar lampu dan Gwen tidak ada di tempat. "Gwen!" Aku berlari ke pintu kamar mandi dan menggedor. "Gwen, buka pintunya!" suara air terdengar dari dalam, tapi tidak ada suara lain selain itu. "Gwen!" Aku menendang pintu beberapa kali hingga terbuka dan aku menyerbu masuk.
Gwen tengah duduk di bawah shower, genangan air berwarna merah membuat jantungku merasa berhenti berdetak.
"GWEN!" aku mematikan shower dan memeluk tubuhnya yang dingin. Aku mengangkatnya keluar dari kamar, dia bahkan masih mengenakan pakaian kuliahnya.
"Nyonya muda!" Bi Yuni tampak kaget melihat Gwen yang hanya diam dalam gendonganku.
Aku mendudukan Gwen di sofa. "Bibi ambilkan handuk." Perintahku sambil menyibak rambut yang menutupi wajah Gwen. Nina berlari meraih handuk yang ada di kamar mandi dan menyerahkannya kepadaku, aku mengelap air yang menetes dari rambut dan tubuh istriku. "Ambilkan pakaian bersih."
Bi Yuni meletakkan pakaian bersih di atas ranjang, lalu ia menarik ketiga asisten lainnya keluar dari kamar dan membiarkanku mengganti pakaian Gwen yang basah.
Gwen hanya diam seperti robot. Ia bahkan membiarkanku membuka pakaiannya yang basah dan menggantinya dengan yang bersih.
Saat itulah aku melihat dua bekas cambukan di punggungnya.
Jantungku terasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Airmata jatuh begitu saja sambil mengganti pakaiannya. Bekas cambukan itu, adalah hasil dari perbuatan kejamku kepada Gwen. Setelah Gwen berganti pakaian, aku memeluknya erat-erat. Gwen hanya diam dan sama sekali tidak membalas pelukanku, bahkan ia seakan tidak menyadari kehadiranku di depannya.
"Maafkan aku." aku berujak serak, memejamkan mata dan memeluknya lebih erat.
"Maafkan aku." Mohonku dalam tangisan.
Gwen tidak bereaksi apa-apa. Wajahnya kosong tanpa ekspresi.
Dua jam kemudian, aku duduk di sisi ranjang, aku mengamati wajahnya yang tertidur. Terlihat dalam dan tenang. Aku terpaksa membangunkan Om Adam, dan Om Adam memberikan suntikan penenang ke tubuh Gwen agar Gwen bisa tertidur. Dia memang tidak histeris, tapi dia butuh istirahat.
Aku menyentuh pipinya yang terasa dingin, mengusapnya, lalu aku membungkuk dan mengecup keningnya. Setelah itu aku keluar dari kamar Gwen menuju ruang kerja Om Adam.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" Om Adam bertanya sambil duduk di ruangannya di lantai dua.
"Sedang beristirahat." Aku mendesah pelan.
"Apa yang harus om lakukan untuk membantumu, nak?"
Aku mendesah. "Aku butuh bantuan Om untuk menghentikan suntikan dana ke Wardana's Corp untuk sementara. Buat ayahku panik dan datang langsung padaku sambil memohon."
"Setelah itu apa yang akan kamu lakukan?"
"Memaksa memberikan semua sahamnya padaku, aku akan membiarkan dia tetap memegang kendali di perusaha untuk sementara waktu, jika dia macam-macam lagi dengan istriku, dia akan kehilangan semuanya."
"Baik," ia menatapku. "Boleh om bertanya?"
"Apa?"
"Kau melakukan semua ini untuk Gwen? Apa karena rasa bersalahmu atau karena dia adalah istrimu?" Selain Satya, aku juga sempat menceritakan kejadian pahit itu pada Om Adam, itu juga karena aku tidak sengaja menceritakannya saat aku tengah gelisah dan putus asa menghadapi Gwen berbulan-bulan yang lalu.
"Karena dia istriku." Jawabku tanpa pikir panjang.
"Kalau begitu segera tegaskan perasanmu, nak" ujarnya sebelum melangkah keluar dari ruangannya, meninggalkanku yang merenungi kata-kata pamanku itu.
Menegaskan perasaanku?
To Be Continued