Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 85 - Keluarga Hilmar

Chapter 85 - Keluarga Hilmar

Bali

Anika POV

Sore itu juga kami niatkan mengambil tas kesayangan Mina yang diduga meninggalkan jejak kejahatan keluarga Hilmar.

Aku meremas perut yang terasa nyeri. Aku belum makan sejak tadi, sejak kemarin malah. Aku melirik Om Sultan yang masih terlelap di taksi. Aku tak akan menyusahkan Om Sultan.

Lebih baik aku memejamkan mata juga. Aku tak akan menyerah hanya karena sakit perut. Mereka sudah hampir sampai di rumah itu dan aku malah kesakitan? Oh, tidak!

Tiba-tiba Om Sultan bangun lalu meminta pak sopir menghentikan mobil di depan minimarket. Aku kebingungan, terus meremas perut yang semakin nyeri. 

Tak berapa lama Om Sultan kembali menuju mobil sambil menenteng kantong plastik putih. Lelaki itu masuk ke mobil, memberikan kantong tersebut kepadaku.

"Sebentar lagi kita ketemu keluarga Hilmar. Masa kamu tampil dalam 

keadaan sakit perut begitu?"

Aku tersenyum lega, mensyukuri hari itu Om Sultan tetap berlaku 

sebagai peramal, tahu kebutuhan perutku yang memang menjerit nyaring. 

Dengan lahap aku memakan roti dan meneguk minuman kaleng bernutrisi untuk mengisi perut. Jantungku berdebar keras saat terang lampu jalanan Bali terasa memantulkan kenangan yang tak bisa aku singkirkan.

Tubuhku menegang saat taksi memasuki kompleks perumahan yang terlalu aku kenal. Kediaman Hilmar. Kediaman keluarga yang pernah menendangku.

Aku menahan napas.

Taksi berhenti sejajar pagar kediaman Hilmar. 

"Kamu bisa melakukannya?"

Aku mengangguk. Om Sultan memang tak boleh terlihat sekarang. Aku harus menghadapi keluarga Hilmar sendirian. Aku menggigit bibir bawah, kegamangan muncul lebih cepat daripada keberanianku.

Aku memperhatikan mobil yang memasuki kediaman tersebut. 

Om Henry dan Tante Luna. Mereka baru pulang kantor. Aku menarik napas panjang, lalu turun dari mobil tanpa  mengatakan apa pun. Aku berjalan mantap, bahkan pandanganku mengeras saat satpam rumah Hilmar terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba.

Aku mengamati Om Henry dan Tante Luna yang tengah keluar dari mobil. Aku masuk dengan wajah dingin, menyusul mantan paman dan bibiku tersebut.

Tante Luna mundur beberapa langkah saat menyadari ada aku di belakangnya. Tubuhnya membeku seketika.

"Pergi kamu, anak sial! Rumahku akan kotor jika diinjakmu!" bentak Tante Luna spontan. Tangannya terangkat, bersiap menamparku.

Aku tersenyum sinis. "Aku hanya butuh barang-barang Mina 

yang ketinggalan setahun lalu."

Tante Luna tak dapat menahan guncangan dalam dirinya, langsung menamparku dengan sekali gerakan, membuatku tersungkur. Jejak merah membekas pipiku. Aku sulit menjaga keseimbangan emosi. Traumaku juga mencuat kembali. Tidak! 

Aku tak akan selemah itu.

"Pergi kamu, gembel!"

Aku mengangkat sudut bibir, tersenyum sinis. Aku berdiri dengan sisa-sia kemampuanku, menantang Tante Luna. "Cepat kembalikan barang-barang Mina!" Aku memutar badan, bergegas memasuki rumah, langsung ke loteng, ke kamar Mina.

Jantungku berdetak kencang saat melewati kamarku dan kamar Elisa. Aku pernah menjadi bagian rumah itu. Masih sama. Hanya saja kamar itu tak terawat.

Aku memberanikan diri mengambil tas dan baju-baju Mina. Juga perlengkapan sekolahnya dan segala sesuatu yang bisa dijadikan bukti. Ada rol besi yang tergeletak di bawah tempat tidur, dengan cepat aku mengambilnya, dan… terbelalak saat melihat bercak seperti darah di tengah rol tersebut. Amarahku memuncak, tapi aku mati-matian berusaha meredamnya. Seperti apa Mina disiksa di dalam rumah mewah berhawa neraka itu? 

Aku bergidik.

Aku berbalik. Tante Luna, Om Henry, dan para pembantu di rumah itu tengah memandangku jijik. Aku tak peduli. Cepat atau lambat semua kejahatan akan terbukti dan efeknya berbalik, menerkam keluarga itu.

Aku membawa barang-barang tersebut dengan tas besar milik Mina. "Aku akan balik lagi mengambil sisa-sisa barang Mina. Jadi aku harap kalian bisa membereskannya dengan baik." 

Tante Luna maju, menamparnya sekali lagi. "Cepat keluar!"

Aku tersenyum sinis, berlari secepat mungkin, keluar dari kediaman Hilmar.

***

Aku mengusap sudut bibirnya. Berdarah. 

"Sebelum mereka menyadari sesuatu, sebaiknya kita ngebut dan ambil jalan memutar, jangan lewat jalan biasa," ucapku terengah-engah dan sulit karena bibirku perih. Aku memandang ke arah spion.

Aku mengalihkan pandangan dari kaca spion, memperhatikan barang-barang Mina yang sekarang ada di pangkuannya. Rasanya aku ingin menangis, saat sadar diriku tak punya saudara kandung lagi.

"Anika."

Aku melihat ke spion. "Dua mobil di belakang kita adalah suruhan keluarga Hilmar."

Om Sultan terkejut, menengok kaca spion. Benar. Dua mobil itu mengikuti mereka. 

Aku menahan napas. "Mereka sudah tahu aku mau membalas semuanya."

Om Sultan melirikku beberapa saat.

"Kalau ketangkap, kita mati!" ucapku. Aku menatap Om Sultan. 

"Orang pertama yang harus disingkirkan adalah Tante Luna, otak semua ini," tegasku.

Aku masih memperhatikan kaca spion dengan tajam. "Om selidiki penyelewengan dana yang ada di Bandung agar kita tidak 

kalah sama mereka."

Om Sultan menatapku tak percaya. "Tapi, Anika…"

"Karena aku punya firasat. Yang membuat Mina depresi adalah Tante Luna, bukan Farhan Hilmar."

Aku menutup mata sejenak. Setelah sekian lama, baru kali itu aku berani menyebut nama papa tiriku.

Aku bersumpah sekali lagi, akan membalas semua ini.

To Be Continued